Kamis, 07 Februari 2008

AGAMA DAN KEMERDEKAAN PAPUA

PERAN AGAMA BAGI KEBEBASAN DAN KEBENARAN

Jangan saudara-saudara banyak berharap lagi pada pemeluk agama, tapi percayalah pada agama, kalau mau, tapi kalau bisa sesungguhnya peran agama adalah hanya, -sekali lagi hanya, hiburan atas kekalahan. Hiburan itu yang karena ketidakmampuan kita, kita katakan sebagai ada "tangan-tangan tak kelihatan akan menolong", itulah isi sesungguhnya pesan agama yang kita alami.

Bagi yang percaya akan adanya kebenaran peran agama untuk kemerdekaan Papua silahkan, tapi ingat saya katakan jasa langsung dari Tuhan atau peranan manusia atas nama seagama itu tidak ada sama sekali, sungguh itu utopia psikologi dan terapi bagi orang kalah.

Bagi kita agama hanya sebagai spirit bagi kemantapan mental dalam berjuang kalau bukan hanya sekedar hiburan. Alloh sekalipun tidak perduli akan nasib orang Papua. Semua hanya perasaan pemeluk agama belaka, atas ketidak berdayaan dan karena kalah.

Semua manusia mengatakan Tuhan akan menolong tapi kenyataannya sesungguhnya tidak pernah terbukti, namun semua keberhasilan atas jerih-payah itu oleh manusia sendiri tanpa bekerja secara fisik bersama apa yang dinamakan Tuhan kecuali hasil akhir kerja manusia sebagai karunia Tuhan atau berkat Tuhan.

Padahal manusia hanya ada rasa solidaritas, namun dalam konteks yang dibicarakan kawan-kawan Papua diatas adalah adanya suatu harapan yang karena rasa solidaritas itu muncul dari bibir yang jujur karena percaya pada satu Tuhan, Yakni Yesus Kristus, namun kenyataannya telah banyak terbukti bahwa semua itu adalah jauh dari harapan itu, malah sebaliknya bertolak belakang dari yang kita harapkan sebelum ini.

Banyak pejabat baik milter maupun non militer seagama dengan kita, namun kelakuan tidak sesuai harapan sebagimana harapan kita karena satu iman dan agama, malah karena satu iman ia yang kita percayai berbuat baik pada kita itu, berbuat baik untuk demi jabatan, demi uang, dan demi nasionalismenya NKRI, bukan atas nama Yesus Kristus yang membawa pesan kedamaian untuk umat manusia.

Semua pejabat mengatasnamakan Agama kita berharap dapat berpihak kepada kita, justeru kebalikannya terbukti Amir Sembirng telah banyak membantai masyarakat Pulau Biak dalam tahun 1999, Albert Dien di Wamena 1977, Sudomo yang datang ke Papua merebutnya tahun 1862, dan LB Murdani yang datang berperang dengan Belanda untuk merebut Papua, dan banyak kasus lain lagi yang melibatkan para pejabat Indonesia beragama dengan agama kita umumnya orang Papua yakni beragama Kristiani lakukan itu.

Kita sekarang Orang Papua jangan percaya pada mereka yang membunuh, merampok, mencuri, dan menindas hak-hak atas tanah air kita atas nama Yesus ata apapun, sebab mereka semua omong kosong belaka. Mereka-mereka para Amber ini yang seagama dengan Agama kita Orang Papua telah memainkan kekuasaan atas nama Tuhan demi kepentingan urusan perut dan iblis NKRI, sekali lagi Tuhan Mereka Bukan Tuhan Yesus Kristus lagi namun Tuhan mereka Tuhan Nasionalisme NKR, Jabatan/naik pangkat dan Uang.

MANUSIA BERBEDA DENGAN TUHAN DAN AGAMA

Kesimpulannya kita kecewa, karena manusia yang seagama dengan kita yang sebelumnya yang kita harapkan dapat menolong malah sebaliknya membunuh kita. Adalah suatu kesimpulan cara berfikir kita yang sudah salah sebelumnya, karena sesungguhnya agama tidaklah sama dengan manusia yang menganut agama, manusia berbeda dengan agama. Demikian sama halnya dengan Tuhan, sebab Tuhan juga sangat lain, Tuhan sesungguhnya adalah damai, kebenaran, keadilan kebebasan, karena itu Tuhan kita adalah Tuhan Papua, titik. Karena itu kebenaran kesimpulan kebenaran logika demikian adalah bahwa yang akan membebaskan manusia Papua adalah oleh Papua sendiri, bukan siapa-siapa. Terimakasih atas perhatiannya.

Senin, 04 Februari 2008

BAHAYA DICHOTOMI

Kita hanya membuang waktu saja melakukan perdebatan, yang sesungguhnya hanya membuang waktu, apalagi thema perdebatannya dichotomi antara gunung-pesisir/pulau disatu pihak dan senior dan yunior dilain pihak. Energi dan pikiran seharusnya, kita kerahkan untuk bagaimana, bukan lagi cara mana, dan jalan mana, dipertanyakan kembali disini, tapi bagaimana gerak menuju persatuan dan kesatuan nasionalisme Papua, yang sudah ada tinggal hanya, apa yang harus dilakukan sesegera mungkin dan itu harus sekarang juga kebutuhannya. Tapi kenyataanya sesuatu yang sudah lewat kembali dipertanyakan sampai akhirnya kita saling membela diri atau mempertahankan kebenaran argumentasi sebagai benar dengan menyalahkan yang lain, adalah suatu kesia-sian yang merugikan gerakan kita sendiri.

Karena itu saya terus terang, menganggap saya sendiri (Ismail Asso) dan HW orang yang "mabuk" dan masuk dunia maya (internet dalam keadaan "meter". Sebab dalam komunikasi sesama anak bangsa, tidak menggunakan otak dengan logika pikiran yang benar, tapi kacau, persis orang "mabuk". Ketika kita bicara dengan Tuan Octovianus Mote, yang diangkat adalah soal Gunung dan Pesisir, memperhadapkan- hadapkan, demikian juga yang dilakukannya dengan Tuan Andy Ayamiseba sebelumnya. Padahal Tuan Octo, jelas maksudkan dalam konteks nasehat pada Yunior, Ismail Asso atau juga pada HW, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba.

Lalu saya merasa kurang mantap, jadi seharusnya jangan ada, misalnya pemimpin muda tinggal diluar negeri dan Jawa, dalam rantauan, masih ada yang berfikir pesisir-gunung macam itu sangat meragukan tapi juga merugikan gerakan dan persatuan kita, sehingga akhirnya kita memalukan dihadapan diri sendiri, rakyat papua, pada penjajah dan juga internasional. Lebih parahnya dan ini fatal akibatnya, mengaku berjuang untuk Papua M, tapi masih berfikir distingtif, dichothomis, partial, seakan negara Papua Barat itu ada dua, atau sehingga akhirnya, kita diperhadapkan pada mau berjuang yang mana; Pesisir atau Gunung. Itu absurd, tidak masuk akal.

Kita selaku pemimpin Muda Papua jangan lagi berfikir distingtif dengan mempertanyakan ulang apalagi bawa-bawa simbol dichotomi antara sesama element anak bangsa sebagai dari mana tempat lahir, dan itu dihinggapi pada kita-kita yang diharap menjadi pejuang dan merebut wilayah kalau boleh sebagaimana gagasan Thomas Wanggai meliputi semua wilayah Melanesia dari Timor, Maluku, sampai Kepulauan Fasifik Ras Melanesia itu baru saya angkat topi buat anda para pemimpin muda. Demikian juga penghargaan bisa kita berikan dan diharap atau diakui sebagai hebat kalau sekualiatas dengan Arnold AP, budayawan dan atropolog, yang secara sistematis menciptakan lagu Membesak, menembus batas wilayah PB yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961.

Tapi kita yang muda-muda malah ditambah lagi mengaku pejuang Bangsa West Papua membuat wacana dichotomis yang tidak produktif, atau malah mundur kebelakang. Karena rakyat Papua yang dikampungpun tahu bahwa bicara soal Papua apalagi masalah M, adalah semua orang Papua, atau malah lebih maju lagi, seluruh penduduk PB hari ini, tanpa dichotomi. Tapi kalau masih ada pikiran distingtif, nanti ada pertanyaan begini, Papua yang mana? Kalau begitu Papua yang mana mau anda perjuangkan, sebagai pemimpin muda itu penduduk Papua yang mana? Kalau bicara Papua itu ya, satu, bangsa West Papua. Pertanyaan khusus bisa dimunculkan disini misalnya Ismail Asso atau maksud HW, dengan Pesisir atau Pantai itu, maksudnya Negara West Papua yang mana yang mau anda perjuangkan?

Dulu sa deng teman-teman (komen) di Jawa ada banyak kejadian begini. Sa deng teman-teman, komen semua Papua, dimana asal dan darimanapun kami lahir dan besar (pesisr/pulo/ gunung), juga orang tua amber kelahiran Papua, semua orang Jawa menganggap kami orang Papua sama saja. Kami dianggap satu, sama dan selesai. Lalu ada berita gambar dalam tayangan di TV, ada gambar orang Papua pake koteka, atau lain-lain keterbelakangan. Siapapun kami, ko mo dari pesisir ato puloka, anak orang Bugis, Buton, Jawa, dan Melayu, orang lain (Jawa, Indonesia) dong tra anggap siapa ko, dong pukul rata habis. Dong pikir sama saja, padahal sa tau, sa pu teman ada yang tra merasa koteka, tapi itu ko pu mau, ko pu pikiran, tapi dorang? Orang lain (Australia atau Indonesia), dong tra mo tau, koteka, gunung-pesisir/ pulo itu semua termasuk ko, sa atau siapun kita hanyalah Papua satu dan sama.

Contoh kecil kemarin Persipura dong main bola disenayan, Jack Mania menunjukkan sikap perang pada semua pendukung persipura tanpa ampun. Pendukung persipura sendiri terdiri dari anak-anak besar lahir di Papua, siapapun mereka, dari ayah-ibu dari mana lahir, tapi saya amati semangat nasionalisme ditunjukkan disana adalah anak-anak Papua, ada yang dari Ambon, Timor, Buton, Bugis, Makassar, Menado atau orang tua Melayu atau Jawa sekalipun mereka menyatu dalam panji nasionalisme dan heroisme nasional Papua. Hasilnya dong bunuh anak jack mania satu, dan semua barang-barang tata kota Jakarta habis di rusak oleh anak-anak Papua dalam semangat nasionalisme Papua. Saya intip dan dan saya amati secara intelektual dangkal saya, hasilnya saya berkesimpulan bahwa, anak-anak itu menunjukkan sikap nasionalisme Papua, tanpa membedakan, ayah dan mama siap, gunung-pulau, pesisir, keturunan atau apapun simbol dochotomi, tenggelam begitu saja dihadapan nasionalisme Papua.

Semua itu Ko ato Sa, singkatnya; Sa deng Ko, yang ada hanya Komen, Pesisir atau Gunung, --juga mama Jawa (Asia) papak Dani, Ekari (orang gunung), (mohon dimengerti banyak anak koteka gunung di Jawa sebagai mahasiswa banyak maitua Jawa dan anaknya, tapi bukan kura-kura ninja), --itulah cita-cita negara West Papua yang diproklamirkan 1 Desember 1961, tanpa ada antara sa deng ko, tapi ko ato sa, yang ada hanya sa, West Papua. Demikian deng pandangan orang luar dan cita-cita kemerdekaan Papua Barat, satu dan sama. Kita, komen semua, tetap satu dan sama, juga tetap koteka, jubi, gunung, pulo, pesisir, tetap satu, Bangsa West Papua.

Tapi kalau di Jayapura, kita mengalami sebagaimana alam pikiran, seperti saya atau mungkin Saudara HW dan memang terbukti kalau kita ada di Jayapura era tahun 70-an dan 1980-an, (sekarang juga masih ada)-- ada banyak pola penduduk, dua pola budaya pesisir-gunung-pulau, atau antara amber atau Papua. Maka jika anak-anak Papua terlihat kontras yaitu konteks pikiran sempit sebagaimana saya dan HW, itu memang ada, dan itulah proyek devide et impera yang kami dua tidak menyadarinya. Masih adakah pikiran demikian ini sekarang dalam konteks Bangsa Papua mau merdeka? Apalagi dihinggapi tokoh-tokoh muda Papua dan tinggalnya di Jawa dan diluar negeri lagi? Demikiankah pikiran harapan pemimpin muda Papua? Tapi sayangnya masih ada, orang itu saya dan HW, mengelikan! Coba baca kutipannya berikut ini :


"Papua Barat pasti merdeka, lambat atau cepat! Karena
Saudara Radongkir, Saudara Wainggai dan kita semua
kerja sama-sama dengan strategi kita masing-masing."


Membaca kutipan diatas kita semua mungkin, dan saya secara pribadi memang merasa heran, menapa kami terlibat sejauh itu, dengan mudah membagi kerja perjuangan dengan strategi sendiri? Saya dan semua lain yang muda juga dengan kata-kata HW ini: "trategi kita masing-masing". Berarti kita seperti juga HW adalah tipe pemimpin muda yang indisipliner, yang tidak taat asas, prinsip dan dasar-dasar perjuangan organisasi. Hal demikian terlihat juga dalam diskusi dengan senior, seperti dengan Tuan Andy Ayamiseba beberapa waktu lalu dan selanjutnya dengan Octo Mote, menunjukkan hal ini. Menurut saya gaya kita semua yang muda juga HW selain indisipliner, tidak taat asas-asas perjuangan OPM yang berbahaya bagi organisasi perjuangan bersama. Konklusinya benar apa yang dikatakan oleh Sdr Daniel Radongkir bahwa :


"jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR".


Kesimpulannya saya menganggap bisa benar bahwa HW dan kita yang lain semua dapat dikatakan punya agenda sendiri yang terselubung, suatu tuduhan yang sebenarnya tanpa dasar tapi bisa terbenarkan, berdasarkan fakta-fakta argumentasi diatas, sehingga kita juga HW, terjebak pada tuduhan bahwa; bukan berjuang untuk Bangsa West Papua, diluar negeri (Australia) atau di Jawa sana, tapi destructor, tapi juga lebih mungkin mencari popularitas. Hal ini posisi kita semua bersama HW, bisa dianggap benar sebagaimana oleh Sdr Daniel Radongkir katakan sebagaimana kutipan, sebagai "saran dan nasehat" kepada kita semua, agar waspada terhadap hal seperti ini, lengkapnya kutipan itu sbb :


"Kepada seluruh rekan seperjuangan, jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuangan dengan gaya ekslusif-manipulati f, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR".


Akhirnya kita patut menyayangkan progresifitas anak-anak pejuang muda Papua dan Saudara HW yang over, sehingga terkesan tidak sopan atau tidak taat asas-asas pada organisasi perjuangan dalam agenda perjuangan bersama dalam membebaskan diri dalam kungkungan penjajahan NKRI. Kita akhirnya terus di jajah NKRI, pemikiran dikhotomi bahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa Papua Barat.

Minggu, 03 Februari 2008

DAMAILAH NEGERIKU : "NAI HAWOLOK"

A. PENDAHULUAN

Sebelum ini saya sering menulis "keras", misalnya artikel yang berjudul: "Indonesia Pencuri dan Pembunuh". Karena itu wajar kalau kemudian saya dikelompokkan dalam kelompok "garis keras". Kelompok "garis keras" adalah julukan umum kelompok perjuangan bersenjata TPN dan OPM di Papua yang umumnya terdapat di hutan-hutan (rimba raya) sepanjang Penungan-dan Pesisir Papua. Kelompok ini dikenal umum sebagai OPM "garis keras". OPM dan TPN di Rimba Raya, yang sering ditakuti TNI/POLRI, dibawahnya ada kelompok DEMMAK (Dewan Masyarakat Koteka). Seperti diduga dari namanya, umumnya para anggota DEMMAK adalah masyarakat "Koteka", Pegunungan Tengah Papua (PTP).

Bagi OPM dan TPN di Rimba Raya, perjuangan dan perlawanan kemerdekaan dan pembebasan Papua untuk berdaulat penuh, harus ditempuh dengan peperangan untuk mengusir penjajah. Demikian juga dengan pendirian penulis selama ini menunjukkan hal ini. Sebab yang demikian itu lebih dekat pada nilai adat dan budaya yang melekat pada diri kami yang adat-budayanya itu memang perang sebagai sendi dari kehidupan dan keagamaan. Secara cultural, penulis tidak terpisahkan dari kelompok masyarakat ini. Sehingga ekspresi yang kemudian terlihat dalam tulisan saya selalu masuk dalam kategori kelompok "garis keras".

Kenapa demikian ? Karena apa yang dirasakan mereka sebagai luka, juga luka bagi saya. Apa yang dirasakan sebagai kesedihan, juga kesedihan saya, apa yang dirasakan kekalahan dan terusir dari tanah dan kampung halaman, juga dirasakan oleh saya sebagai pengghinaan oleh penjajah. Semua kesenangan, kegembiraan juga kesenangan kegembiraan bagi saya. Sebagai suatu unit suku dan marga saya tidak dapat terpisahkan dari semua apa yang dialami. Secara emosional kami diikat oleh satu semangat, yaitu semnagat Kaneke atau Adat-Budaya. Kami disatukan oleh semangat orang gunung, masyarakat koteka dan berbagai stigma lainnya yang bersifat negatif maupun yang bermakna positif.

Lalu mengapa kini ada perubahan sikap saya? Malahan saya seakan bersikap melunak (moderat) yang sesungguhnya bukan karaktek kami, orang Papua, orang gunung, masyarakat koteka, yang indentik dengan kelompok "garis keras" ? Bahkan saya sekarang seakan sudah tidak ada gigi untuk menulis "keras", malah sebaliknya lebih akomodatif dan moderat dalam pemikiran? Apalagi diperhatikan artikel terakhir, saya bisa dikatakan oleh kaum saya, "kaum koteka" di PTP: 'Kau sudah tidak seperti yang dulu lagi', untuk meminjam judul lagu nostalgia, Pance Pondaag.

Mungkin ada rasa penasaran para pembaca yang budiman, bahwa saya sudah melunak terhadap penjajah, entah siapun penjajah dimaksud disini. Hal ini jika diamati dari tulisan saya yang lebih menekankan pentingnya aspek domokrasi dan HAM dalam perjuangan OPM. Saya malah bisa di tuduh asal main tabrak, tanpa ada peringatan lampu kuning dan langsung saya menulis arti pentingnya demokratisasi gerakan perjuangan OPM. Bahkan memasukkan kelompok lain yang selama ini "dianggap" secara nyata-nyata sebagai bagian tak perpisahkan dari kekacauan; pembunuhan, perampasan, penindasan, penjajahan dan penghinaan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua untuk turut ambil bagian dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka.

Kepada mereka, (Amber dan muslim), saya dan masyarakat suku saya, "masyarakat koteka", saya anjurkan untuk bersikap moderat. Hal ini misalnya terlihat dari tulisan terakhir berjudul : "Membangun Konsep Baru Perjuangan Papua Kedepan". Bahkan lebih jauh saya seakan-anak mau menarik gerbong kereta yang isinya amber lagi muslim dan membawa masuk dalam perjuangan kemerdekaan perjuangan OPM. Dengan demikian kelompok Muslim pendatang (amber), untuk ikut serta ambil bagian dalam apa yang dinamakan perjuangan Papua Merdeka.

Atas semua pertanyaaan atau lebih tepatnya rasa penasaran semua ini, maka perlu diklarifikasi disini bahwa saya sama sekali tidak berubah, saya tetaplah saya, sebagai yang "garis keras", orang gunung, masyarakat koteka dalam kesatuan wilayah PTP. idealisme saya tetap bahwa apapun dan bagaimanapun Papua Merdeka adalah yang utama dan yang terutama. Demikian juga dengan sikap dan prinsip saya bahwa tidak sedikitpun dalam diri ini ada yang berubah. Bagi saya bahwa musuh utama yang menjadi prioritas untuk kita usir dari Tanah Air Papua Barat adalah penjajah Indonesia.

Juga bagi saya Indonesia dengan konsep NKRI-nya adalah musuh dan penjajah yang menjajah kita Bangsa Papua Barat. Maka kita, orang Papua semua wajib melawannya, apapun perlawanan itu termasuk dengan perlawanan bersenjata. Jadi pertanyaannya adalah, Kamung Orang Papua, takutka... sama Penjajah Indonesia ? Ah, Indonesia saja mo...bukan negara besar atau modern, dorang negara terbelakang juga, sama deng kitong juga secara peradaban sciance dan tekhnologi. Masalahnya tinggal bagaimana kita mengusirnya dari Tanah Air kita Papua Barat, itu saja yang kita belum bersepakat bersama dan saat ini kita terus mencari persamaan persepsi menuju mengarah kesana.

Indonesia yang datang menjajah Bangsa Papua Barat yang dialami kita semua adalah usaha orang Papua bersama bagaimana mengusir Indonesia bersama kapitalismenya yang menghina kita sebagai sebuah Bangsa dan Negara Papua Barat yang berdaulat adalah pemikiran dan perhatian kita bersama. Disamping itu diatas sudah disinggung bahwa, kenyataan, bahwa saya baik secara cultural dan emosional tetaplah orang Papua.

Secara primordial (pembawaan sejak lahir) kita satu dan sama dalam perasaan ikatan primordialisme, kita sebagai masyarakat dalam satu kebudayaan, kebudayaan PTP dan akhirnya juga kebudayaan Papua. Karena itulah yang mengikat kita bersama nasib dan semangat perjuangan membebaskan diri secara bermartabat, dan bahwa kita membenci musuh-musuh, penjajah Indonesia yang datang menaklukkan negeri kita Papua Barat, menyebabkan kita terhina diatas tanah air kita sendiri yang kaya raya dimata bangsa lain.

ISSU ISLAMISASI

Saudara-Sauraku kaum Kristiani sangat menderita oleh akibat "islamisasi" yang sangat meresahkan, menghawatirkan dan momok menyakitkan, bagi mayoritas penduduk Papua yang sebelumnya sudah menerima Injil dan menganut agama moyoritas Kristiani. Kelompok muslim dengan dukungan pusat, dari pemerintahan penjajah membangun sekian ribu masjid, bahkan hal itu di pemukiman mayoritas Saudara-Saudaraku kaum Kristiani. Demikian itu terbaca dalam buku misalnya dalam buku Dr. Benny Giay, (Gembalakanlah Umatku, 1997), dan terakhir dalam buku Sadius Wonda yang berjudul ; ("Tenggelamnya Ras Melanesia").

Proyek pusat dengan kedok agama, sebagai bentuk lain penjajahan budaya dan adat Papua begitu menghebat. Bahkan proyek "islamisasi" dalam era Otonomi Khusus sangat menggila dan merajalela. Demikian agaknya dirasakan hal tersebut menggejala di seluruh pelosok Papua, terutama di wilayah PTP, sebagai daerah basis "Gembalaan" Saudara-Sauraku Kaum Kristiani sebelum ini. Sehingga hal ini harus dilakukan pembelaan oleh kaum intelektual Papua.

Untuk itu tidak kurang dari Tuan Dr. Sofyan Nyoman, Sadius Wonda dan Sem Karoba, seorang Mahasiswa Program Doktor Universitas Oxford Inggris pun harus "turun gunung" ikut ambil bagian dalam kesempatan ini, dengan menerjemahkan suatu artikel hasil perkiraan konferensi yang dilakukan di Australia. Sebagaimana kekhawatiran itu terlihat dari opini yang ditulis oleh seorang pengamat dari Autralia; Elizabeth Kendal berikut ini :

”Jika kecederungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akan menjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun 2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akan turun menjadi 15 persen minoritas pada 2030. Demikian prakiraan dalam sebuah konferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. Jim Elsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS)”.

Walapun selalu dan dimana-mana perkiraan tanpa penelitian lapangan vadilitas akurasi kebenaran selalu tentatif, namun penting diperhatikan disini, bahwa benar ada suatu kejadian yang itu sebagai momok yang sangat menghawatirkan Saudara-Saudaraku, para pemuka masyarakat, terutama pejuang Papua adalah kepentingan dan tujuan penulisan ertikel disini untuk mengklarifikasinya. Disamping itu oleh akibat sekunder lainnya kita tidak selamanya dapat mempertahankan diri akan genuisitas diri. Kita selalu merasa tidak pernah siap, kalau-kalau terlebur (konversi) kedalam kelainan yang lain. Kita banyak berjumpa dengan yang lain dan baru, pada saat sama kita ingin membiarkan keunikan diri sebagai Yang Maha Unik, sebagai diri, orang Papua.

Tapi benar sedemikian mengkhatirkankah fakta sesugguhnya dilapangan? Bagi penulis yang tidak ikutan khawatir dengan tegaknya Adat dan demokrasi, sebagai tonggak baru perjuangan OPM mengganggap bahwa kedepan pasti tetap terjadi perubahan, apapaun perubahan itu. Pasalnya, dimanapun kita selalu tidak steril terhadap transformasi nilai-nilai baru. Peleburan nilai baru kedalam nilai lama (akulturasi-inkulturasi) selalu dan dimana-mana selamanya dimaksud dengan kebudayaan. Demikian juga dengan Papua, transformasi nilai-nilai baru kedalam nilai lama budaya Papua akan terus menghegemoni era dunia informasi modern ini. Tapi catatan saya nilai yang akan menghegemoni dunia nanti yang terus berubah tidak sebagaimana yang diprediksikan dalam perkiraan konferensi di Australia itu. Hegemoni nilai yang akan mendominasi di Papua Barat adalah secularisme dan nilai Amerikanisme. Walau apakah nilai baru tersebut positif atau negatif, akan menjadi mendominasi di Papua Barat kedepan.

Mengapa Americanisme? Untuk saat ini negara manapun, (Presiden Prancis, pernah mengeluh soal ini di forum negara-negara Eropa), bahwa hegemoni budaya Americanisme begitu menghegemoni dunia manapun tanpa batas sebagai akibat kemudahan tekhnologi informasi dewasa ini. Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia mengimpor tidak saja produk tekhnologi industrinya tetapi juga ideologi liberalisme berbungkus HAM dan demokrasi kesemua negara-negara dunia ketiga, sebagai syarat agar mendapatkan kucuran bantuan ekonomi dari IMF yang dikontrolnya. Austaralia, Inggris dan negara sekutu Amerika lainnya ada dibelakang, mendukung semua kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya adalah modal utama Amerika sebagai negara super power tak tertandinggi oleh ideologi manapun saat ini masih berjalan. Ada beberapa tokoh dari negara Amerika Latin, Cina dan Iran dibawah kepemimpinan Ahmadi Nejad memcoba melakukan perlawanan, namun Amerika tetap lebih masuk akal mendominasi peradaban dunia abad 21 ini.

Soal issu agama saya rasa bukan faktor utama masalah Papua, dan oleh Papua untuk Papua. Semua agama sesungguhnya di tanah Papua datang setelah kita semua orang Papua sudah ada. Semua agama diimport ke Papua mau dibiarkan menggeregoti adat dan budaya atau mencegahnya, sehingga jangan masuk adalah suatu hal yang akhirnya; ah bisakah? Sebab watak agama besar yang bersumber Abrahamic religian (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah universal dan dapat diterima dimanapun dan pada suku bangsa manapun. Atau orang menganutnya, tatakala agama itu datang dimana saja tempatnya. Papua tidak mungkin steril dari agama besar dunia manapun. Kita hanya waspadai dampak negatif Agama adalah yang terpenting menurut saya.

Sebenarnya agama apapun kalau boleh jangan merusak tatananan adat dan budaya Papua. Tapi kalau mau diterima semuanya, sebenarnya semuanya sudah masuk dan telah berperan merusak tatanan adat dan budaya Papua itu pada saat sekarang ini. Tinggal bagaimana kita kembangkan sikap siap menghadapinya (perubahan itu), dan sikap itu alatnya hemat saya adalah sikap demokrasi dan penegakan HAM adalah lebih penting dari pada mempersoalkan sesuatu yang sesungguhnya bukan asli produk (Made In Papua) membuat kita akhirnya terpolarisasi. Kita Rakyat Papua akhirnya hanya percuma membuang energi menetapkan ini dan membuang yang itu, adalah suatu usaha kesia-siaan saja.

Tujuan utama kita sekarang adalah bagaimana mengusir penjajah bukan urus kepercayaan agama. Agenda terpenting perjuangan OPM adalah bagaimana bebas dari: Penghinaan, perbudakan, penjajahan, Kebodohan, ketakutan, dari semua hegemoni budaya asing, termasuk budaya Asia dan agama yang merusak tatanan adat dan budaya kita. Perjuangkan OPM kedepan tidak hanya perjuangan melawan penjajah tapi semua bentuk hegemoni budaya luar asing yang merusak tatanan adat budaya (Honai Kaneke), itu kalau kita mau konsisten terhadap diri sendiri dan perjuangan OPM. Perjuangan OPM juga menyangkut memahami kekurangan dalam diri sendiri dan mengembangkan potensi. Hal-hal yang bersifat feriveral harusnya bukan tema utama Perjuangan Papua merdeka seperti misalnya soal agama, sebaiknya tidak di kedepankan dulu disini, tapi kita ambil manfaat kebaikan agama.

B. PERJUANGAN OPM PENDEKATAN INTELEKTUAL

Dewasa ini perjuangan tidak sebagaimana para pejuang OPM "garis keras", para generasi muda koteka lebih sering dan cenderung menempuh perjuangan dengan pendekatan intelektual. Diantara para pejuang dengan pendekatan intelektual (moderat) itu adalah Sadius Wonda yang bukunya yang berjudul; "Tenggelamnya Ras Melanesia", yang kemudian disita oleh pihak Kejaksanaan Negeri penjajah RI di Jayapura beberapa minggu yang lalu.

Pergeseran ini tiada lain, sebagai akibat banyaknya generasi muda Koteka mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Lewat tulisan-tulisannya, Sem Karoba dkk AMP; juga misalnya, pernah menerbitkan buku dengan judul "PAPUA MENGGUGAT" dalam beberapa edisi yang kini masih tersebar di berbagai tokoh buku gramedia dan ikut "nongkrong" di pajang di lantai dasar gedung Parlemen Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta.

Perjuangan intelektual demikian sudah dilakukan sudah sejak lama, sebelum PDP berkongres yang kedua pada tahun 2000 di GOR Jayapura. Benny Giay, Doktor (Phd-nya) diraih di Universitas Negeri Leiden Belanda, telah lama menulis dan melakukan perlawanan dengan gaya tulisan revolusioner. Karena itu beberapa bukunya pernah dilarang terbit di Indonesia dan ditarik dari peredaran di pasar buku. Kemudian menyusul Dr. Sofyan Nyoman dari Suku Dani. Buku pertamanya tentang: "New York Agreeman", sukses dan kini terbit lagi bukunya yang (mungkin) kedua, dengan judul "Genosida Papua Barat".

Dari kalangan mahasiswa yang produktif dan sangat amat membanggakan adalah buku Saudara Natalis Pigay; "Evolusi Politik Nasionalisme Papua Barat". Dengan kelengkapan data dan informasi baru dalam buku ini kualitas sudah menunjukkan disini. Sehingga buku ini menurut hemat saya, pertama dan terakhir tentang informasi perkembangan segala tetek-bengek tentang Perjuangan Kemerdekaan Papua. Buku ini diberi yang pengantar oleh Dr. Castle, dosen tamu UGM dari Australia, semakin menambah bobot karya buku anak muda inteletual Papua ini.

Disamping itu teman-teman Koteka Suku Moni (Mee), cukup produktif, semasa masih berstatus mahasiswa, sudah mampu menulis buku dalam 4 bahasa, hal ini dibuktikan oleh Victor Yeimo. Demikian juga yang saya amati dari Saudara Yacobus F Dumupa, semasa menjadi mahasiswa STPDN sudah sanggup menulis buku dan artikel yang cukup produktif, sebagaimana juga pernah dilakukan Natalis Pigay. Mengikuti jejak Pigay, anak-anak Paniai lebih berprestasi dan produktif dalam menulis. Sebagai anak Koteka dari Moni mereka lebih berani menulis dan ini sudah di buktikan oleh Yacobus F Dumupa dan Viktor Yeimo dalam beberapa karya bukunya yang dapat dijumpai di semua tokoh buku Gramedia Indonesia.

Lalu bagaimana dengan anak-anak Papua lainnya? Kita masih punya penulis berpotensi intelektual bagus dan masih muda dari Muyu, misalnya Nace Natalia dan lain-lain. Dari Ayamaru sering kedengaran nama Arkalius Baho, (komandan Front PEPERA). Kaum intelektual muda dari Muyu banyak tidak disebut disini. Tapi guna menjawab pertanyaan diatas, penyebutan kaum muda progressif intelektual Papua diakhiri disini. Jadi selain disebut diatas anak-anak Papua belum ada yang berani mencoba menulis. Padahal menulis sudah seharusnya di coba sejak dini mahasiswa.

Untuk kedepan daerah-daerah lain yang tidak tersebut diatas harus berani mencoba menulis, misalnya anak-anak Suku Dani Lembah Balim, yang miskin kader intelektual progressif pasca Nico Lokobal, Agus Alue ALue dan Tadius Mulac. Anak-anak muda (mahasiswa) Wamena tidak nampak progresifitas intelektualnya, padahal jumlah mahasiswa mereka yang terbanyak, tersebar dari Uncen, Unipa Manukwari, Menado, Surabaya, Jogja sampai Jakarta. Suku Dani Lembah Balim termasuk paling miskin kader intelektual bebas di bandingkan dengan saudara-saudara mereka sesama anak-anak koteka dari Moni, Ekari, Mee, Ayamaru dan Muyu.

Dengan demikian diharapkan wacana intelektual yang dominan dapat menemukan format idealisme perjuangan Papua menjadi satu persepsi guna menghindari ketidak-akuran idealisme sebagai penyebab utama kelemahan utama trategi perjuangan Papua Merdeka hari ini. Hal ini kedepan dapat berdampak pada penyiapan sosok kepemimpinan Papua yang kuat, baik secara intelektual maupun secara mentalitas, yang dirasakan krisis. Sehingga dapat menyiapkan Pemimpin Kuat Papua yang dirasakan krisis dapat tertanggulanggi nantinya. Proses pencerahan sangat berpengaruh pada idealisme pembebasan, bukan saja secara fisikal tetapi pemikiran secara metafisikal. Sebab persepsi lebih dipengaruhi oleh konsepsi. Jika secara konsepsional memadai maka persepsional mempengaruhi dan itu turut mempercepat pembebasan Papua sesungguhnya, kalau kita menyadarinya.

C. NIHILISME DAN AGAMA

Para ahli ilmu sosial, terutama ahli antropologi, mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak "betah", hidup lama-lama didunia ini, jika manusia tanpa mempunyai harapan atau tujuan hidup yang dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mythos. Tujuan tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. Manusia dengan demikian tidak akan bahagia hidup tanpa tujuan. Karena itu menurut Frans Magnis, manusia butuh alamat, untuk mengarahkan tujuan hidupnya (Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar, 1997).

Manusia tidak mungkin hidup tanpa ada tujuan, pegangan dan landasan kepercayaan sebagai mitologi, betapapun palsunya mitos itu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya. Manusia untuk itu butuh simbol, tanda, agar bisa menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup didunia. Dalam filsafat Yunani pengertian myhtos sendiri, hanya ceritera khayalan, ceritera rekaan yang belum pasti benar pernah terjadi. (Nurcholis Madjid, 2000, h.176).

Pada saat sekarang, era sciance dan tekhnology, para ahli ilmu sosial dan antropologi Barat umumnya menyebut hal demikian sebagai mitologi. Dalam agama, Islam misalnya tidak luput dari unsur kepercayaan ceritera mythos. Banyak kisah dalam agama seperti naik haji (atau, mengunjungi baitullah), adalah dari kisah Nabi Ibrahim AS (Abraham) sebagai contoh mythos dalam agama. Kisah Nabi Ibrahim AS yang kemudian dilaksanakan kaum muslimin seluruh dunia setiap tahun itu, menurut Nurcholis Majid (Cak-Nur) dapat dikategorikan sebagai pengulangan dari ceritera mythos atau mitology dari Nabi Ibrahim AS dalam agama Islam.

Kebalikan dari tidak percaya adalah atheisme atau nihilisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada ketiadapercayaan. Nihilisme dan atau atheisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih. Setiap yang tidak dilihat-buktikan bagi para rasionalis secular adalah mitos. (Cak-Nur, 2000, h. 121).

Tokoh Nihilisme misalnya Albert Camus, atau Friedrich Nietzsche, tidak percaya pada Tuhan. Bahkan Nietzsche dalam pengumamannya bahwa, 'Tuhan telah mati'. Kita hidup bebas (tanpa Tuhan). Bahkan bagi Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga. Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang, tanpa kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka karena sepenuhnya dia tidak percaya akan eksistensi tempat itu. Dia kemudian mati bunuh diri, karena baginya sama saja mati nanti atau sekarang. (Frans Magnis, 13 Tokoh Etika, h. 135).

Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya secularisme (paham hanya percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. Malahan modernisme sebagai piranti atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum. Mereka lebih banyak menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan, adalah problema tersendiri di Barat (Cak-Nur, 2000, h. 14-15).

Berbeda dengan agama samawi (langit), abramic religion, yang sepenuhnya percaya pada adanya Tuhan. Agama dan religi atau agama alam, seperti Honai Kaneke, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu selain Tuhan sebagai Tuhan. Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan?

Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang memberi makna hidup, bagi kehidupan manusia. (Jalaluddin Rahmat, 2005). Maka dengan demikian, Adat atau Kaneke (Papua), dapat juga memberi arti dan makna hidup. Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat para pasukan Unisoviet akan ideologi komunis dan rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis yang mengaku percaya Tuhannya agama formal (Cak-Nur, 2000).

D. PERAN NEGATIF AGAMA

Betapa tidak sedikit oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, peperangan (pembunuhan manusia) atas nama kebenaran agama telah menjadi banyak bukti terjadi dimuka bumi. Andaikan gunung, bukit, batu, tanah, pohon, hewan dan lain dapat berbicara, ia dapat bercerita bahwa; oleh akibat fanatisme pemeluk agama, ribuan nyawa anak manusia menjadi korban sia-sia kebiadaban manusia. Agama penyebab utama manusia dibunuh. Agama menyebabkan telah banyak korban nyawa manusia menjadi sia-sia. Demikianlah contoh di Ambon, agar kita tidak jauh-jauh menyebut Bosnia atau Perang Salib pada masa silam.

Demikian baikkah agama sesungguhnya? Pasti ada yang membela agama, dengan mengatakan bahwa yang salah bukan agama tapi manusia sebagai pemeluk agamanya. Herankah kita oleh ulah agama, ratusan bahkan ribuan angka yang diberikan oleh Dewan Gereja Indonesia, pembakaran Gereja oleh kaum pemeluk fanatik Islam yang melakukan pembakaran, menjelang Hari Raya agama Nasrani; Natal dan Paskah? Bahkan Pendetanya mendapatkan nasib sial sejak zaman Soeharto berkuasa?

Hal demikian di Indonesia (negara yang membanggakan diri sebagai negara demokratis), masih berlangsung, sampai dengan pemerintahan yang berkuasa sekarang, perlindungan terhadap rakyat pemeluk agama dianggap buruk. Kurangnya perlindungan oleh pemerintah, menjadi alasan benar kekerasan, oleh akibat kepemelukan agama yang fanatik buta. Semua ini menjadi contoh keburukan agama atau oleh akibat kepemelukan fanatik buta agama.

Kalau begitu kenapa kita mau mempercayai agama? Hanya agama sajakah yang membawa kita pada kebaikan, harapan dan tujuan hidup? Tidak ! Adat betapapun dianggap palsu dan rendah oleh agama dapat membawa kebaikan, tujuan dan harapan. Adat dapat dipedomani sebagai penuntun arah, tujuan, alamat, signal, menuju pada obyek kepercayaan untuk mencapai hidup bahagia, agar hidup ada makna, hidup ada arti, akhirnya sebagai semangat pemersatu dalam persatuan dan kesatuan kemanusiaan manusia.

Sebab agama sesungguhnya kepercayaan pada obyek transendental, diluar dari kenyataan disini. Agama adalah kepercayaan pada hal-hal yang bersifat eskatologi (Sorga, Neraka, Tuhan, Maikat, Setan dan juga Iblis) yang tidak dapat dibuktikan oleh siapapun manusia di dunia. Kita dianjurkan oleh agama mempercayai begitu saja, tanpa pernah merasa benar, atau sudah merasakan bagaimana sorga, atau panasnya api neraka itu.

Karena itu agama sesungguhnya juga adalah idealisme, idealisme yang memproses terus untuk memberi janji, janji hidup manis sorga dengan para bidadari dan ketakutan akan api neraka, tanpa pernah kita tahu persis benar ada atau tidak tempat itu. Bahkan dimana letak tempat-tempat itu beserta Sang Pembuat dan Pemilik Tempat itu (Tuhan).

Siapa saja manusia tidak tahu, kecuali kembali kepada mitos (percaya). Agama adalah suatu sistem kepercayaan tanpa pernah kita mengalami benar-benar kebenaran ceritera semua itu. Dogma kepercayaan agama terus ditanamkan (indogtrinasi) , oleh para ulama, pendeta dan pastor dari sejak kita belum lahir sampai kita mati, ceritera (mitos) terus akan begitu.

E. ADAT DAN AGAMA DI TANAH PAPUA

Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan nilai-nilai lokal yang utama atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. Adat yang dimaksudkan disini adalah ciri khas daerah yang mengikat rasa persatuan dan persaudaraan manusia. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama mau merajelela. Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya masyarakat Papua. Kalaupun ada usaha membunuh Kaneke (simbol, manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan.

1. Adat dan Keistemewaannya

Dalam kesempatan manapun, kaum pria, para prajurit dan orang-orang berpengalaman, dalam upacara perang di Lembah Balim, Papua selalu menyatakan dengan semangat menyala-nyala. Mereka sering mengucapkan kata-kata seperti ini : Nai hawolok...Nai Hawolok...Nai Hawolok. Artinya : "Damailah negeriku...Damailah tanahku... atau Tentramlah alamku...".

Sebenarnya diperhatiakan arti dari ucapan kata-kata ini, dalam adat dan budaya Papua di Lembah Balim, sudah ada konsep damai. Hanya maksudnya dan tujuan kedamaian disini berbeda dengan konsep agama. Ucapan kata-kata ini penulis ingat persis sampai sekarang. Ungkapan ini penulis dengar pada usia 13 tahun (21 tahun yang lalu), saat penulis kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Merasugun Asso Walesi, tatkala orang-orang Woma yang dibantu oleh orang-orang Tiom, (Elesiwagha, Wamena Barat) yang tinggal bermukim sekitar Kota Wamena datang membakar rumah-rumah orang Walesi dan mau membunuh kami, orang-orang Walesi, dalam perang Suku Antar Konfederasi Suku Mukoko dan Walesi pada tahun 1988 lalu.

Saat itu ada seorang tokoh Tua yang pada masa mudanya adalah seorang prajurit perang yang berani, namun kala itu orang Tua ini sudah berumur sekitar 80 tahun. Orang Tua itu namanya Yahelega Asso. Dia tidak takut, walau musuh yang datang usianya muda-muda dan ditangannya menghunus kampak, parang, tombak, panah siap menebas leher siapapun dihadapannya. Yahelega Asso tidak lari karena takut, malahan dia lari bolak-balik, kesana-kemari persis seperti upacara menyambut tamu dalam adat Lembah Balim Wamena.

Sambil berlari kesana-kemari tanpa memperdulikan musuh hanya beberapa meter,(mungkin 20 meter), dari mulutnya keluar kata-kata : Nai Hawolok... Nai Hawolok...Nai Hawolok.. dan seterusnya. Saya kala itu disana tapi saya lari disemak-semak, itupun di kastau ibu guru orang Bugis agar saya tidak dibunuh musuh. Saya anak baru usia 13 tahun, tapi mendengar ucapan kata-kata orang itu, tiada rasa takut sedikitpun dalam jiwa ini saya rasakan, sungguh luar biasa !

2. Rahasia Nai Hawolok

Kata-kata demikian selalu dan dimana-mana di Lembah Balim, dalam peperangan, diucapkan oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba oleh musuh dalam perang antar konfederasi suku di Wamena. Seseorang tokoh, kepala suku, atau Ap Tugi Metek (kepala suku perang), akan ucapakan kata-kata ini, pada saat dihadapannya penyerangan musuh, orang-orang yang haus darah, untuk membunuh datang dihadapannya, dia akan berlari kesana-kemari (persis yang dilakukan Yahelega Asso), sambil bersumpah dengan ucapan kata-kata, Nai Hawolok... berulang-ulang.

Makna di balik kata-kata ini sesungguhnya, mengundang tidak saja para arwah leluhur, Tuhan dalam konsepsi dia, kepada manusia hidup tapi semua alam untuk turut membela mempertahankan diri dari penaklukan daerahnya oleh musuh. Nai Hawolok, mengundang semua makhluk agar segera hadir turut ambil bagian dalam mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaan. Nai Hawolok lebih dimaksudkan agar semua makhluk selalu tenang dan waspada penuh siaga, jangan kocar-kacir bila musuh datang menyerang, tapi bersiagalah dan diam ditempat untuk menghadapinya dengan berani.

Nai Hawolok oleh seorang kepala perang pertanda awal membunyikan genderang perang. Kepala perang memanggil semua manusia dan alam, turut ambil bagian dalam menghadapi musuh. Semua di undang tidak hanya manusia, tapi semua, rerumputan, pepohonan, baik didalam tanah maupun diatas tanah, turut hadir menghadapi musuh. Nai Hawolok, ungkapan oleh kepala perang untuk menenangkan warganya agar tidak panik menghadapi musuh didepan mata.

Ada hal yang menarik adalah kesatuan atau penyatuan (unity) antara manusia dan alam yang unik, ketika Ap Tugi Metek, mengucapakan kata-kata Nai Hawolok, dia sudah extace, dia sudah masuk alam lain, dalam alam penyatuan wujud kehidupan lain, alam perang. Dia sudah tidak menyadari lagi, dari pintu mana dia masuk dan dunia darimana dia tadi pergi. Dia dialam dunia lain, yang dialam itu menjadi kehidupan dunia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia tadi.

Dalam situasi extace tiada rasa takut, yang ada hanya tawa, permainan, permainan perang suku kedua belah pihak. Tapi begitu perang usai dengan korban dan luka masing-masing pihak baru ada kesadaran, oh... saya dimana tadi... saya dalam alam extace. Dalam alam Nai Hawolok, yang ada hanya berani, menertawan musuh yang lari terbirit-birit karena takut, mengejar dan di kejar, sepenuhnya alam permainan. Kita baru menyadari, setelah kembali...kembali ke alam dunia pertama. Tapi perang itu sendiri, adalah dunia lain, dunia permainan, yang tanpa rasa takut akan mati dan luka. Dunia alam perang memalingkan dari mana saya datang, dan dimana kini saya berada, yang ada hanya dunia perang. Kepada sebanyak berapapun pasukan musuh akan dihadapi dengan berani, dunia "sana" tidak mengingatkanya takut akan kematian, yang ada permainan, permainan perang.

Tetapi yang menarik, apabila sapaan dan undangannya sampai baik kepada semua makluk wilayah georafi teritorialnya yang disapa dengan kata : Nai Hawolok, agar ikut serta ambil bagian dalam membela wilayah kekuasaan. Seakan semua alam beserta semua isinya, telah mendengar, datang hadir ikut serta membela daerah kekuasaannya. Kalau keadaan bahaya, Sang Kehadiran, akan menolong menghindarkannya dan atau dapat mempertahankan wilayah kekuasaanya adalah keistimewaan dalam perang adat di Lembah Balum Papua. Semangat Nai hawolok semua makhluk turut di undang baik yang ada dibawah tanah ataupun diatas tanah.

Banyak saksi dan para ahli ilmu psikologi sosial mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak "betah", hidup lama-lama didunia ini, jika manusia tanpa mempunyai harapan atau tujuan hidup yang dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mitologi atau agama. Tujuan itu sendiri tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. Manusia tidak akan pernah bisa bahagia, kalau hidup tanpa ada tujuan hidup, pegangan dan landasan, mitologi, betapapun palsunya mitos itu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya. Manusia untuk itu butuh simbol, untuk menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup didunia.

Kebalikan dari tidak percaya adalah atheisme atau nihilisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada ketiadapercayaan. Nihilisme dan atau atheisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih. Setiap yang tidak dilihat-buktikan bagi para rasionalis secular adalah mitos. Tokoh Nihilisme misalnya Albert Camus, atau Friedrich Nietzsche, tidak percaya Tuhan. Bahkan Nietzsche dalam pengumumannya bahwa, 'Tuhan telah mati'. Kita hidup bebas (tanpa Tuhan). Bahkan bagi Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga. Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang, tanpa kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka karena sepenuhnya dia tidak percaya akan eksistensi tempat itu. Dia kemudian mati bunuh diri, karena baginya sama saja mati nanti atau sekarang.

Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya secularisme (paham hanya percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. Malahan modernisme sebagai piranti atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum. Mereka lebih banyak menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan, adalah problema tersendiri di Barat. Berbeda dengan agama samawi (langit), abramic religion, yang sepenuhnya percaya pada adanya Tuhan. Agama dan religi atau agama alam, seperti Honai Kaneke, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu selain Tuhan sebagai Tuhan.

Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang memberi makna hidup, bagi kehidupan manusia. Adat atau Kaneke, dapat juga memberi arti dan makna hidup. Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat para pasukan Unisoviet akan ideologi komunis dan rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis yang mengaku percaya Tuhannya agama formal.

Oleh sebab itu Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. Adat yang dimaksudkan adalah bahasa, warna kulit, bentuk rambut, marga, kepercayaan adat, pekerjaan, mata pencaharian, tempat tinggal atau singkatnya semua yang mengikat persamaan dan persatuan sebagai simbol persaudaraan orang Papua. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama juga terus mau merajelela. Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya.

Kalaupun ada usaha dominasi suatu agama dengan membunuh Kaneke (jati diri manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. Islam misalnya tidak boleh memaksakan diri dengan memasarkan kebenaran keyakinannya pada para pemeluk agama di Papua yang sudah beragama. Jika itu terjadi maka harus di hadapi oleh Adat bukan oleh agama. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan. Islam juga misalnya mau mengharamkan babi adalah sesuatu yang memaksakan atau akan menghilangkan adat, walau baik menurut islam tapi tidak dapat diterima oleh adat meskipun sekunder posisinya dalam adat. Oleh sebab itu setiap kecenderungan membasmi adat dan budaya oleh agama harus di cegah. Tapi kalau itu menyangkut hal yang primer dan prinsip bukan yang sekunder.

MEMBANGUN KONSEP BARU PERJUANGAN PAPUA MERDEKA KEDEPAN

A. POSISI OPM DITENGAH KEMAJEMUKAN RAKYAT PAPUA

OPM adalah salah satu gerakan politik perjuangan dan perlawanan diantara kelompok-kelompok perlawanan dan perjuangan yang tergabung dalam berbagai segmen masyarakat perlawanan Papua. Segmen perjuangan memiliki beberapa level. Level paling rendah perjuangan secara umum dapat dipahami oleh seluruh rakyat Papua. Namun level tertinggi merupakan segmentasi khusus yang hanya di ajarkan aktivis OPM dalam struktur organisasi.

Sebagai gerakan perjuangan dan perlawanan, OPM mengacu pada pada pemaknaan secara langsung dari kenyataan penindasan dan penistaan yang dialami oleh rakyat Papua Barat, tanpa mengacu pada gerakan-gerakan primordialis, seperti kesukuan, ras, warna kulit, agama dan rambut.

Sebagai gerakan, OPM dan elemen perjuangan dibawahnya, menolak segala bentuk gagasan politik yang berasal dari luar budaya (nilai-nilai Papua) dan nilai primordial- sektarian dari dalam budaya Papua sendiri- tetapi murni sebagaimana yang diajarkan oleh pemikiran demokrasi modern -baik nilai-nilai asli yang mengarah pada distingsi antara gunung dan pantai bagi penduduk.

Tapi sebagai gerakan modern, OPM baru, harus menolak segala bentuk gagasan sosial politik yang berasal sistem kolonial- tetapi murni disemangati kenyataan lapangan, penindasan dan penghinaan. Landasan baru OPM, sebagaimana diajarkan oleh nilai-nilai demokrasi asli para generasi pejuang dulu -bukan nilai-nilai Papua primordial yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM tapi konsep modern dari Barat, dan nilai baik asli Papua, sebagai dasar ideologis dari perubahan.

Aspek isme (paham) Papua dari gerakan ini bisa dipahami bersama oleh seluruh rakyat Papua. Kecuali, kaki tangan kolonialis. Aspek isme Papua dari gerakan ini diikuti oleh seluruh rakyat Papua. Namun tidak oleh rakyat yang mengikuti isme primordial sempit dan rasialistik demikian juga antek-antek dan kaki tangan kolonialis. Aspek gerakan isme Papua dan perubahan dari gerakan ini dilakukan secara simultan oleh seluruh gerakan OPM dan sub-OPM namun tidak oleh kalangan anti politis dan pro status quo dari penduduk Papua asli.

Diatas empat level (kemanusian, keadilan, kebenaran, kebersamaan), ada satu seruan khas yang melekat pada perjuangan isme OPM, yaitu seruan pembebasan/kemerdekaan, yang menjadi level tertinggi diantara berbagai level perjuangan sebelumnya yang selalu terjebak pada dichotomisasi primordial. Level seruan pembebasan dan kemerdekaan ini merupakan inti dari doktrin perjuangan. Setiap level dibangun berdasarkan level yang ada dibawahnya, contoh : Agar menjadi pejuang OPM seseorang harus memahami makna keadilan, kemanusiaan, kebersamaan dan lain-lain, agar paham makna kemanusiaan, keadilan, seseorang ikut menyaksikan ketidak adilan dan merasakan penghinaan diatas tanah Papua, untuk itu mereka terlebih dulu diberikan pelatihan advokasi, seminar, dan lain-lain. Mereka harus menerima isme-isme perjuangan OPM, ajaran OPM, kemudian ideologi OPM.

Namun demikian, doktrin kemerdekaan/pembebasan- pandangan yang melekat erat pada pandangan OPM dan merupakan inti dari pandangan ini -tidak diperuntukkan terbatas hanya pada kaum Papua asli saja, namun juga untuk mereka yang ada pada level yang lain yang bersimpati pada perjuangan OPM.

B. KONSEP PERJUANGAN OPM

Berikut ini rangkuman konsep OPM dalam pemahaman OPM baru, yaitu :

1. OPM adalah satu-satunya sistem politik perjuangan Papua yang sah

2. OPM adalah organisasi perjuangan yang berdasarkan hukum dan di jalankan melalui kepemimpinan yang dipilih oleh rakyat Papua

3. Hanya ada satu OPM yang berdiri diseluruh level perjuangan tertinggi

4. Perjuangan OPM adalah kewajiban seluruh rakyat Papua

5. Cara untuk memperjuangkan OPM adalah dengan memberikan pemahaman tentang konsep ini kepada mereka yang berkuasa dan memeberikan wewenang kepadanya untuk menjalankan (pemerintahan) perjuangan, ketika seluruh wilayah rakyat Papua telah berubah menjadi NKRI dan seluruh peninggalan budaya sedang dimusnahkan penjajah.

Menurut pendapat saya, konsep ini bisa dipahami bersama, bahkan oleh seluruh lapisan masyarakat Papua. Sebab konsep perjuangan OPM tidak bertentangan dengan konsep perjuangan dari sub-OPM. Hanya saja, doktrin OPM tidak secara exksplisit atau hanya secara implisit saja mengemukakan sistem ini.

C. NILAI UNIVERSAL KONSEP OPM

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa konsep OPM memiliki 5 level, yaitu (kemanusiaan, keadilan, kebenaran dan kebersamaan), namun konsep ini memiliki level lain yang dapat kita kenali dengan sebutan konsep nilai Papua asli dan peradaban modern termasuk didalamnya nilai yang diajarkan oleh agama.

Nilai Papua asli adalah ajaran yang dianut oleh penduduk asli diseluruh daratan dan pulau/pesisir Papua serta pegunungan Papua. Nilai baru modern dan agama, adalah pemahaman yang dianut oleh seluruh umat manusia didunia ini yang percaya pada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebebasan, kebenaran dan keadilan.

Dewasa ini, pergerakan OPM, mendapat sorotan baik di tingkat internasional, dan kecaman sebagai separatis oleh kolonial dan kapitalis sebagai penghina kemanusiaan manusia Papua. Karena OPM, perjuangannya untuk menegakkan kedaulatan wilayah Papua sebagai perwujudan nilai kemanusiaan dan keadilan tertinggi. Propaganda anti seperatisme yang menggambarkan perjuangan OPM anti kemanusiaan atau kekerasan lebih tepatnya, tuduhan gerakannya lebih belakangan sebagai teroris yang mengancam keutuhan NKRI. Maka persaingan antara dunia penegakan HAM dan demokrasi di dalam tubuh organisasi OPM menjadi tak terelakkan.

Walaupun demikian, prinsip dari konsep perjuangan OPM, dalam hal ini perjuangan kemerdekaan, berkaitan dengan nilai papua asli (penegakkan hak penduduk asli) dan nilai peradaban modern. Karenanya, konsep ini sebenarnya dapat diterima bukan hanya oleh kalangan penduduk asli Papua; bahkan oleh mereka yang amber, karena mereka dinegeri asalnya ternistakan dan mengalami nasib ter-marginal-kan dan datang ke tanah Papua untuk menetap dengan kemuliaan hidup sebagai manusia. Karena itu perjuangan konsep kemanusiaan OPM tidak hanya diterima dan dimengerti internasional, tapi dapat di mengerti kolonialis sekalipun, selama perjuangan/konsep ini dibahasakan dengan cara mudah dimengerti oleh mereka.

Dalam hal ini, mereka yang menerima konsep perjuangan OPM tidak serta-merta membuat mereka wajib berkomitmen secara penuh ataupun menyetujui seluruh argumentasi prinsip perjuangan- Papua merdeka -terpisah dari NKRI. Karena itu, argumentasi perjuangan Papua merdeka sepatutnya hanyalah ditujukan kepada generasi muda lahir besar di tanah Papua yang ikut serta mengalami, menyaksikan atas semua penderitaan ketidakadilan dan kekasaran politik yang menghinakan kemanusiaan manusia Papua.

Lebih lanjut, pendapat saya, bahwa "konsep perjuangan OPM baru, bisa diterima oleh semua penduduk Papua majemuk dalam- tanpa membedakan rambut, kulit, suku, agama, termasuk didalamnya kaum militer NKRI dari Papua asli -pemerintahan". Berarti bahwa ideologi negara Papua Barat, adalah negara demokrasi modern yang masuk akal, dapat digambarkan dan diterima bahkan oleh kalangan amber yang hidup di wilayah hukum negara Papua Barat (karena mereka hampir tidak akan menemui kesulitan). Mereka bisa memilih sikap pasif perjuangan OPM- dalam hal ini tidak perlu berkomitmen pada konsep yang mendasari dan jadi tujuan pendirian negara Papua Barat itu sendiri.

D. KEUNIKAN PERJUANGAN OPM

Sayangnya, kecuali perjuangan OPM, ditengah-tengah rakyat perjuangan Papua Merdeka sendiri tidak ada gerakan lain dari cerminan kemajemukan yang berdimensi universal dan internasional sejati yang menentang secara terang-terangan sistem despotisme dan tirani kolonialis NKRI, untuk membela kewajiban membiarkan Papua Merdeka sebagai satu bangsa berdaulat penuh. Jangankan kaum muslim amber Papua, para mahasiswa besar-kelahiran dikota-kota Papua, kerap tidak peduli dengan perjuangan Papua Merdeka, beserta peran penting mendasarinya dalam membebaskan kemanusiaan Papua, mereka umumnya diam, apakah karena mereka terpengaruh dan disesatkan oleh doktrin NKRI yang keliru, atau mereka takut akan tekanan penguasa kolonial zalim sebagai negara asal usul mereka sendiri, yang sedang mempertahankan statusnya sebagai ekspasionis Papua sebagai wilayah koloni.

Mereka berfikir bahwa mereka akan memperoleh simpati ataupun pengakuan dari kolonial jika mereka melakukannya. Namun perlu dipahami bahwa semua itu ternyata hanyalah ilusi belaka, faktanya, mereka akan kehilangan dukungan moral dari para penduduk asli dan dunia internasional sebagai penghianat. Dan kehilangan dukungan dari para nasionalis dan pemikir ajaran demokrasi dan HAM modern yang telah memahami karakter exploitatif penindas dan anti kemanusiaan dari sistem negara bangsa dengan teritorialnya tersebut. Jika hal ini terus berlangsung, mereka tidak hanya menghianati tujuan mulia dari perjuangan OPM, tapi bagi manusia dan kamanusiaan dirinya, terhadap panggilan universalnya kepada para pemeluk agama sejati serta mereka yang menghayati hal itu.

Karena itu, menurut hemat saya, dalam konteks perjuangan kemerdekaan Papua kontemporer, hanya perjuangan OPM yang bisa dikatakan sebagai wadah "Gerakan Perjuangan Politik Kemerdekaan Papua" yang memperjuangkan terealisasinya kedaulatan negara Bangsa Papua-yang merupakan panggilan universal (nilai kultural asli Papua dan demokrasi modern); tidak hanya untuk penduduk asli Papua tetapi untuk seluruh rakyat dan umat manusia demi kemanusiaan Papua.

Karena itu, peran dari perjuangan OPM menjadi bersifat ganda yaitu :

1. Mencerahkan penduduk asli (khususnya para pejuang di rimba raya) akan kewajiban
mereka dalam memperjuangkan, "perjuangan OPM" sesuai dengan HAM dan demokrasi modern.

2. Menjelaskan misi perjuangan OPM-Universal yang menegakkan keadilan, kebenaran, kemanusiaan, dari sistem dikcotomis primordial sebelumnya, kepada dunia dan seluruh rakyat negeri jajahan dengan sudut pandang ilmu sosial modern.

E. PERAN PERJUANGAN OPM DI PAPUA

Kecuali luar Papua, kebebasan experesi dan beraktivitas politik-berserikat dan berkumpul -ditanah Papua, jauh dari harapan. Karena itu, gerakan perjuangan OPM, diluar negeri dan mahasiswa seluruh kota study diluar Papua, memiliki posisi terbaik dalam mewujudkan harapan ini, pergerakan perjuangan sub-OPM oleh mahasiswa telah banyak berhasil mengangkat issu Papua dengan aksi turun kejalan, karya intelektual, dalam menerjemahkan perjuangan OPM, namun juga telah menghasilkan berbagai artikel berita langsung dalam situs internet. Lebih lanjut, mereka juga berhasil melakukan peregenerasiaan anggotanya melalui berbagai kegiatan sosial-budaya.

Namun perlu digaris bawahi, karakter yang sangat mencolok dari perjuangan OPM, dilevel mahasiswa adalah keberhasilannya dalam membangun jaringan kerja diantara berbagai organisasi seluruh kota study.

Jaringan kerja, diantara kelompok perjuangan sub-OPM dikelola oleh mahasiswa diluar Papua ini adalah sesuatu yang belum terealisasi seluruh organ-organ sub-OPM di Papua dan perjuangan OPM masa lalu, terutama dirimba raya. Karena adanya tekanan dan ancaman pembunuhan atau penculikan dari militer yang mengawasi dan mengintai setiap saat orang Papua bergerak, dan setiap jengkal tanah pemukiman penduduk Papua.

Luar negeri (Vanuatu, Australia dan Selandia Baru) dan bukan tanah air Papua Timur, adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk membangun kembali gerakan perjuangan OPM, karena diluar Papua, selain cukup tersedia sarana komunikasi bebas, aman, dilihat dari segi keamanannya tidak sebagaimana ketat dan gawat di Tanah Papua Barat.

Terdapat harapan, bahwa sub-OPM (mahasiswa) akan berhasil dalam memperjuangkan perjuangan OPM, melalui sarana internet, kebebasan dan utamanya aksi turun kejalan. Sebab, selain ada kebebasan ruang gerak, ada sorotan media massa mempengaruhi opini internasional.

F. KESIMPULAN

Perjuangan pergerakan OPM, tidak hanya dapat diterima oleh komunitas asli Papua, namun juga sangat diinginkan oleh mereka yang percaya pada kesetaraan, keadilan, kebebasan, kebenaran dan kemanusiaan. Pasalnya sistem perjuangan OPM memiliki tujuan, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan HAM didunia lain, diluar claiman domokratis para kolonialis. Perjuangan OPM baru, menjamin secara sungguh-sungguh otonomi komunitas beragama, ras, kulit, bahasa, dalam konteks sosial yang sangat beragam. Perjuangan OPM baru, juga sebagai seruan pembebasan untuk mengentaskan kemiskinan dari sistem negara bangsa yang exploitatif merendahkan martabat kemanusiaan manusia.

OPM adalah satu-satunya gerakan perjuangan kemerdekaan Papua yang memperjuangkan tegaknya konsep HAM dan demokrasi serta menentang secara terang-terangan penjajahan dan campur tangan internasional yang kapitalistik dan exploitatif atas sumber kekayaan alam Papua yang kaya raya. Karena itu OPM baru, memiliki kewajiban ganda :

1. Mencerahkan semua penduduk secara bolak-balik (penduduk asli dan amber) dan utamanya OPM garis keras non kooperatif di rimba raya, akan keharusan dalam perjuangan menegakkan HAM dan demokrasi modern dan juga nilai asli untuk di hargai warga amber.

2. Menjelaskan misi perjuangan baru, dari sistem perjuangan OPM dalam mempromosikan sistem perjuangan modern dalam dunia yang terasa terus mengglobal-menyempit. Dan Prinsip kemanusiaan dan nilai kebenaran sejati yang universal dalam perannya sebagai pembebas dari sistem negara bangsa yang exploitatif- yang memenjarakan manusia dalam kerangka negara bangsa dengan claim teritorialnya - kepada dunia dan sudut pandang nilai asli Papua dengan meminjam ilmu sosial Barat.

Internet, dan diluar Papua adalah tempat terbaik untuk menjalankan gerakan perjuangan OPM, karena jaminan keamanan relatif baik, terexpos dan kebebasan aktivitas politik, berserikat, berkumpul, seperti ini tidak didapatkan di tanah jajahan (Papua Barat). Mahasiswa Papua diluar kota study Papua, memanfaatkan kebebasan turun kejalan dan internet sebagai sarana agitasi dan pembangunan opini internasional atas penghinaan dan penistaan kemanusiaan manusia Papua .

IDEALISME PAPUA MERDEKA

A. PENDAHULUAN

Terimakasih Saudaraku, Bung Husaini Daud (mohon maaf sapaan ini jika kurang berkenan). Insya Allah idealisme saya belum pernah mau luntur. Saya tetap idealis. Tulisan Saudara Husaini Daud (atau Bung, m nadzar), karena bagus dan berbobot saya kirim ke redaksi kabar papua dan sudah dipublikasikan. Sebelumnya oleh redaksi menyebut saya sebagai penulisnya. Maka saya klarifikasi dan sudah dikoreksi dengan menyebut Saudara sebagai penulis. Saya sampaikan kepada kawan redaksi agar menjaga hak intelektual penulis sesungguhnya. Dan A-Hamdulillah tulisan ini bertengger di situs :www.kabarpapua. com.

B. IDEALISME PAPUA

Saya karena apa, entah, tapi tetap mencintai diri sebagai Muslim Papua, walau kadang saya keluar dari dogmatisme ajaran islam misalnya kepercayaan setelah mati dan rukun iman lainnya (astaghfirullah, mungkin saya, murtad dan sudah kafir). Karena itu bila saya menulis disini sebelumnya, kepada semua pemeluk Agama, bahwa saya menulis tidak sebagai seorang pemeluk agama, agama apapun. Saya menyoroti dari luar, bukan sebagai penganut salah satu agama samawi (Islam, Katolik, Protestan, dan agama bumi lainnya seperti Hindu, Konghucu dan Budha). Oleh karenanya saya "keluar" untuk netral, dari posisi penganut salah satu agama. Agar saya mengembangkan idealisme Papua secara bebas. Untuk itu disini saya akan campakkan semua agama dogmatisme yang membelenggu kebebasan, mengembangkan idealisme Papua.

Saya memang menyukai pemikiran Ibnu Rusyid daripada, tapi juga menyukai Imam Al-Ghazali. Dalam ilmu kalam kemampuan berfikir Ibnu Rusyd sangat mengagumkan. Ibnu Rusyd mempertahankan argumentasi tentang wujud adanya Tuhan dengan argumentasi rasional daripada madzhab Asy'ariyah dari Ahlusunnah Waljama'ah yang dianut Al-Ghozali, dan kebanyakan anutan muslim Asia Tenggara, (Indonesia, Philipina Selatan, Thailand Selatan, Brunai Darussalam dan Malaysia) juga termasuk Bangsa Papua Barat.

Jika di amati Al-Ghazali, sesungguhnya sangat paham ajaran filsafat Platonisme dan Aristoteles terutama logikanya. Hal ini terlihat dari misalnya kitab karangannya yang berjudul Mi'yar Al-'Ilm. Ghozali menunjukkan sikap rasional dan sangat logis dalam meruntuhkan argumentasi para filosof, walaupun dia tidak mengambil sumber logika dan filsafatnya langsung dari karya Platonisme dan Aristoteles, tapi melalui karya terjemahan Ibnu Sina dan Al-Farobi -yang keduanya dikenal sebagai filosof muslim di Timur. Namun menurut Ibu Rusyd, Ghozali sesungguhnya salah dimengerti maksud mereka (ibnu Sina dan Al-Farobi), sebagaimana pembelaan Ibnu Rusyd dalam kitabnya yang terkenal "At-Tahafut wat-Tahafut (kekeliruan dalam kekeliruan).

Malahan Ibnu Rusyid menuduh Al-Ghazali mengunakan ilmu logika dan filsafat Aristoteles dari pihak kedua, yang salah dimengertinya itu untuk mengkafirkan para filosof, adalah suatu tindakan gegabah terhadap para filosof baik wilayah Timur maupun wilayah Barat Islam. Tapi hanya, sebagai pisau untuk membabat pemikiran para filosof, terutama berhadapan dengan para filosof muslim wilayah timur (Ibnu Sina dan AL-Farobi). Al-Ghazali dalam kitabnya At-Tahafut Al-Falasifah 20 masalah menyebabkan kafirnya para filosof. Demikian yang berkembang pada abad pertengahan dalam ilmu kalam. Termasuk qodim atau hadits (baharu) penciptaan alam.

Karena itu kitab Ihya'ulumuddin- nya, Al-Ghazali, oleh sebahagian orang dianggap dapat mematikan kreatifitas, nalar dan pikir kaum muslimin. Bahkan, Ihya 'Ulumuddin dianggap sebagai "biang kerok" kemunduran kaum muslimin dewasa ini berhadapan dengan Barat. Walaupun demikian anggapan sebahagian inteletual muslim kini, saya berpendapat bahwa kitab karangan Al-ghazali, Ihya 'Ulumuddin, begitu mempesona merasuk hati sanubari kita yang terdalam dan dan mempribadi menuju ma'rifatullah. Maha luar biasa dari Imam Ghozali adalah mistisme rasionalnya yang saya rasa inklud dalam budaya persia yang mengagumkan tinggi.

Menyangkut idealisme Papua merdeka, saya berkeyakinan bahwa, selama manusia Papua ada, idealisme Papua merdeka tidak akan pernah mati, sampai kapanpun Orang Papua tetap menuntut merdeka. Papua Merdeka sebagai idealisme, secara terus menerus diperjuangkan antar generasi, sepanjang masa. Hari qiyamah (kiamat) kurang lebih dapat dipahami disini, bukan menunggu ketidakpastian Kehadiran, (Tuhan dan segala bentuk konsep eskatologi lainnya). Bagi penulis hari "kiamat" dimaksudkan, jika benar bahwa tidak pernah benar ada tapi akhir dari kehidupan manusia adalah kematian pribadi-pribadi, atau Qiyamah dimaksudkan bagi saya (negara Papua berdiri).

C. REKONTRUKSI PARADIGMA PERJUANGAN

Bahwa upaya rekontruksi paradigama perjuangan Papua menuju kemerdekaan dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yang terpenting adalah untuk merumuskan bukan saja metoda perjuangan Papua merdeka apa dan jalan mana, tapi menyangkut, seluruh dimensi kehidupan sosial politik, dengan semangat pelibatan sampai pada level rakyat di akar rumput. Sehingga semangat resistensi adalah semangat rakyat semesta, agar bagaimana kedaulatan benar-benar terwujud tanpa hambatan. Penegakan demokratisasi dan HAM dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka, sebagaimana diharapkan terjadi adalah jalan kesiapan suatu bangsa yang mau berdaulat penuh.

Darimana sumber nilai yang menjadi dasar dari usaha gerakan perjuangan? Sumber nilai yang harus direkontruksi berasal dari nilai-nilai lokal sebagai yang berkembang, nilai asli Papua. Sumber nilai itu baik nilai Papua asli (genuin) yang dimiliki rakyat Papua dengan terus melakukan purefikasi (pembersihan) aspek nilai sekunder negatif dari luar oleh akibat hegemoni budaya kolonialis. Nilai baru yang lebih baik seperti keadilan, kemanusiaan, kebebasan ysng bersifat universal dapat di ramu kembali sebagai nilai sendiri dalam konteks Papua dapat di jadikan sebagai sumber kekuatan untuk dijadikan landasan rekontruksi yang dimaksudkan disini.

Untuk itu aspek-aspek penegakan demokrasi dan HAM ditengah rakyat Papua yang terus berubah menjadi kebutuhan, penyesuaian pergerakan perjuangan OPM dengan membuka ruang pelibatan semua komponent komunitas Papua dewasa ini sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan perjuangan. Hal itu tidak lain dari usaha nasionalinalisasi Papua dalam kerangka rekontruksi nilai-nilai Papua. Demikian pada akhirnya terwujud format ideal nasionalisme Papua secara sistematis. Rekontruksi berdimensi demokrasi dan HAM dalam gerakan perjuangan akan menemukan formatnya yang ideal adalah penting artinya bagi kematangan perjuangan.

Untuk kebutuhan ini maka meramu kembali nilai lama Papua dengan nilai baru adalah suatu kemestian pada saat dunia terus berubah dan meng-global dewasa ini dan akan datang. Sebab sering diingatkan bahwa yang terus abadi adalah hanya "wajah Tuhan", selainnya dalam keadaan terus berubah hukum antropis dalam filsafat Yunani mengajarkan demikian yang kemudian teorinya diambil para filosof Islam dalam memperdebatkan ilmu kalam, (Aqo'id, Ushuluddin, Tauhid).

Oleh sebab itu seharusnya idealisasi mewujudkan demokrasi dan penegakan HAM bukan saja kelak Papua berdaulat, tapi senantiasa dari sekarang, sejak dini, kita harus memformat gerakan perjuangan Papua merdeka harus sarat dengan nilai demokrasi dan HAM yang universal dan aspek nilai demokrasi dan HAM includ didalamnya. Demikian idealnya pembangunan gerakan perjuangan Papua Merdeka dan menjadi keharusan untuk dirumuskan sekarang sebagai bagian dari kerangka dasar metoda perjuangan Papua menuju kadaulatan penuh.

Sekali lagi diingatkan bahwa, usaha demokratisasi dan penegakan HAM dalam pembangunan gerakan perjuangan Papua Merdeka yang dimaksudkan disini adalah kebutuhan bukan saja sesudah kedulatan terwujud, namun kedaulatan, malahan tidak akan terwujud tanpa melibatkan semua kelompok, adalah kiat-kiat dan strategi baru, menunjukkan kematangan suatu gerakan, dapat diperhitungkan sebagai suatu gerakan yang cukup significant dan memadai pada dirinya.

Metoda perjuangan seharusnya, jadi harapan semua, dan tuntutan kita, bukan kata-kata mati tanpa makna, "perjuangan damai", tapi rakyat terus mengalami kekerasan tanpa bagaimana kedamaian itu. "Perjuangan damai" nyata bukan suatu kedamaian, tapi sebaliknya, rakyat merasakan sebagai kekerasan. Tiadanya pemimpin pasca Theys Hiyo Eluay, saat ini Rakyat Papua Barat, baik secara sadar maupun tanpa disadari amat sangat merasakan kekerasan itu dalam berbagai bentuknya. Contoh kekerasan tanpa disadari adalah hegemoni budaya penjajah dalam berbagai lini hidup dan kehidupan Orang Papua begitu mencengkeram.

Sebaliknya juga harus, jadi wajib maksudnya, bukan kekerasan, perjuangan ada batasan makna dan terjemahan dalam praktek lapangan yang itu memungkinkan bahwa ada proses perjuangan damai. Bukan dengan menerima semua klausul tawaran kolonialis dengan membiarkan idealisme sendiri menjadi mati dan terbunuh oleh karena menerima semua solusi penawaran dan membiarkan idealisme sendiri berjalan ditempat alias tidak ada makna. Karena itu sikap perjuangan damai, dengan membiarkan kekerasan sesungguhnya kekerasan itu sendiri, dengan kata lain, membiarkan kekerasan dengan menyatakan perjuangan damai adalah suatu kekerasan baru.

Seharusnya, para pejuang Papua bersikap tegas, dapat mempengaruhi seluruh rakyat agar bersikap menolak tawaran sebagai solusi pihak lawan adalah sikap penting sebagai kekuatan dan sekaligus senjata perjuangan damai mendapatkan makna, agar perjuangan merdeka untuk berdaulat penuh menjadi ada artinya dan dapat diperhitungkan. Maka sesungguhnya perjuangan damai dalam praktek dan perjungan dilapangan dengan berbagai manuver, lobby-lobby selain kampanye internasional yang bukan kekerasan, mendapatkan makna yang berarti di tengah rakyat. Dan kekerasan penjajah yang rakus mendapat tekanan internasional. Kebututuhan Papua adalah ketiadaan pemimpin yang berani dan tegas, untuk menyatakan, tidak! Pada Penjajah Indonesia. Papua dewasa ini butuh pemimpin yang berani melawan hegemoni budaya kekerasan penjajah Indonesia dan kapitalisme Internasional.

Kesulitan melibatkan semua oleh akibat sekat-sekat primordialisme gerakan perjuangan Papua untuk mendapatkan dukungan semua rakyat dan kurangnya usaha melibatkan semua rakyat. Penyebab lain sehingga muncul apatisme, bukan sikap peduli terhadap perjuangan, adalah adanya elitisme perjuangan di tingkat para pemimpin Papua, walau dalam hal-hal khusus dipertahankan demikian harusnya. Disamping tiadanya kaderisasi dan orgnisasi yang membawahi seluruh gerakan perjuangan sampai ke tingkat seluruh rakyat semesta, menjadi kebutuhan rekontruksi gerakan perjuangan Papua dewasa ini dan kedepan.

OPM sebagai organisasi perjuangan harus mampu diikuti secara massal seluruh rakyat. Untuk itu harus ada perangkat-perangkat lain sebagai sarana koordinasi, sosialisasi dan konsolidasi seluruh warga rakyat Papua dapat dilibatkan dibawah satu payung OPM. OPM sebagai organisasi bayangan negara Papua Barat yang di impikan untuk di wujudkan adalah kebutuhan membenahi tidak saja kelak Papua berdaulat, tapi sejak dini dalam gerakan perjuangan dijalani. Inklusifitas tokoh pejuang Papua, dan usaha mau mengakui, semua sebagai bagian tak terpisahkan Papua adalah menunjukkan suatu kematangan gerakan politik dan itu dapat diperhitungkan kawan maupun lawan.

Dalam rangka ini penting ada rekayasa budaya lokal untuk memaknai demokrasi yang dapat digali dari berbagai perspektif budaya lokal dan budaya baru yang baik dan bermakna, sehingga ada artinya bagi Papua termasuk dari agama apapun. Demikian Perjuangan damai Papua mendapatkan arti perwujudannya sebagai demokratis dalam budaya sosial berkembang sementara. Organisasi di level paling bawah mestinya ada rekayasa dengan merangkul dan mengakui semua warga sebagai bagian termasuk dalam gerakan politik perjuangan Papua Merdeka sebagaimana selama ini didengungkan oleh Tuan Andy Ayamiseba (pejuang OPM senior di Vanuatu).

Berarti disini ada usaha rekayasa sosial. Rekayasa sosial dimaksudkan suatu usaha para pemimpin untuk merumuskan, rumusan perjuangan baru dengan merekontekstualisasikan nilai-nilai lokal disatu pihak dan merespons dengan sikap positif untuk menerima transformasi nilai-nilai baru sebagai penegakan nilai-nilai HAM dan demokrasi.

Kontekstualisasi nilai-nilai budaya dan adat bagi Papua, adalah usaha kita senantiasa pada saat ini, relevansinya, pada saat mana usaha sama di Barat melahirkan wacana pos modernisme sekarang, oleh akibat modernisme rasionalistik yang menghegemoni. Karena kita sebagai sebuah bangsa tentu saja, dan seharusnya memang demikian, bahwa arus transformasi nilai baru global yang berbungkus budaya baru tak terhindarkan bagi siapapun, dimanapun dunia manusia, baik infomasi dan ilmu pengetahuan. Bagi negara yang belum berdaulat seperti Papua kebutuhan saat ini adalah usaha bagaimana merekontruksi dan meretas jalan perjuangan dengan mendasarkan landasan perjuangan dengan meramu kembali nilai-nilai lokal dengan semangat masa kekinian (kontemporer) adalah urgent.

Usaha merumuskan teori perjuangan, yang teori itu haruslah kontekstual bagi terbentuknya kedaulatan adalah amatlah mendesak dewasa ini, kita rasakan senantiasa. Saya berbendapat bahwa usaha kontekstualisasi budaya dan tradisi lokal amatlah penting digeluguti dewasa ini untuk kemudian ditransformasi dengan nilai-nilai sosial baru, adalah rekontruksi gerakan perjuangan, guna mencari, atau sebagai jalan lain menuju pembebasan Papua, bukan dari lain, tapi dari hasil responsi nilai lokal dengan penyesuaian perubahan zaman. Dan usaha demikian (jalan menuju arah kesana) itu bagi Aceh sudah dimiliki dengan dimilikinya akar budaya islam yang kuat menjadi menyatu dalam adat dan budaya Aceh adalah kekuatan budaya yang dimaksudkan disini. Demikian jugakah dengan yang dimiliki Papua?

Adalah suatu pertanyaan, dan saya berpendapat Papua tidak memiliki akar budaya agama kuat dan menyeluruh melingkupi rakyat sebagaimana Aceh, yang akhirnya melaksanakan Syari'at Islam, terlepas dari sandiwara pihak Indonesia Jawa (lihat bantahan Muhammad Al-Qubro, UU Syariah NAD, "undang-undang laba-laba"). Walau saya tetap akui ada dimensi-dimensi tertentu sebagai pintu dimasukinya unsur kolonialisme, namun hipotesa saya dapat dibuktikan dari ketegaran jiwa para pemimpin dan Tokoh Aceh, baik yang menerima perjanjian Helsinki maupun menolak menerima Otsus NAD dengan pihak penjajah Indonesia Jawa (memimjam Istilah Bung Husaini).

Papua dewasa ini belum memiliki akar budaya bersama yang itu sebagai alat perekat sekaligus pengikat bagi kekuatan, sehingga dapat dijadikan landasan perjuangan sebagaimana Aceh dengan perekat kekuatan akar islamnya. Kekuatan budaya sebagai alat pengikat bersama sebagaimana di Aceh tidak kami miliki di Papua Barat. Akar dan pola budaya sebagai kekuatan untuk Papua selalu masih didapati bersifat parsialistik yang dimiliki dewasa ini. Inilah yang menyebabkan kelemahan yang menyentuh langsung bagi perjuangan Papua, walau ruang untuk didukung oleh mayoritas Kristen Internasional Barat di duga kuat, (seharusnya demikian, sebaliknya yang didapati, kenyataan di Papua hari ini, ketiadaan dukungan internasional yang kuat).

D. PENYEBAB GAGALNYA PAPUA MERDEKA

1. Hegemoni Budaya Asing

Di Papua Barat pemerintah penjajah (baca, Indonesia) sebagai pusat kendali kekuasaan, para aparat ketangan-panjangannya diberi angin, biasanya kepada mereka yang agak bisa "dikibulin", dari kelompok pemuka agama, juga aparat koloni daerah dari orang Papua sendiri untuk membiarkan dirinya "diakal-akalin", suatu gagasan sektarianisme untuk kemudian di jadikan kelak, dan jika dibutuhkan sewaktu-waktu sebagai alat identifikasi dan menguatnya konflik horisontal. Demikian dengan pengamatan saya dengan diterimanya usulan MRP yang rada kurang kerjaan dengan usulan dan kehendak aneh yang absurd, misalnya "Fak-Fak kota Serambi Mekkah" atau "Manukwari Kota Injil".

Masyarakat Papua yang masih terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi pemerintah Indonesia melalui aparat koloninya yang di daerah, bagi usaha mendorong dan menggiring kelompok agama untuk masuk melakukan hambatan gerakan perjuangan Papua Merdeka dari dalam, dan biasanya lewat lembaga agama apapun. Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama dan juga sekaligus dorongan agar jalan perjuangan Papua ditempuh dengan jalan perjuangan damai. Perjuangan damai sesungguhnya sangat tidak sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri. Karena itu yang mudah tertarik dan gampang dipengaruhi oleh penjajah Indonesia adalah masyarakat yang berlatar belakang Ustadz (atau Haji), Pendeta, Pastor dari kalangan Agama yang dogmatis.

Penyebab mundurnya gerakan perjuangan Papua merdeka di tingkat internasional dan tidak banyak berhasil mendapat pengikut bagi organisasi perlawanan rakyat, sebagai usaha bersama rakyat adalah kesalahan penerapan metoda perjuangan. Sebagai akibatnya perlawanan secara massal oleh semua rakyat diakar rumput, tidak muncul dalam perjuangan perlawanan di Papua Barat, adalah di cekokinya penerapan teori perjuangan asing misalnya dengan teori "pembiaran" mesianistik dengan menyatakan "perjuangan damai". Padahal sesungguhnya karakter dan mentalitas orang Papua sesungguhnya adalah tegas, keras, dan penakluk.

Penerapan teori perjuangan asing dan bukan dari semangat dan mentalitas rakyat yang hidup dan berkembang dewasa ini adalah "biang kerok", penyebab utama, kelemahan gerakan perjuangan Papua Merdeka hari ini. Perjuangan gerakan Papua akhirnya terjebak pada elitisme. Hanya terbatas yang mampu menerima dan mengerti dialektika teologi yang sesungguhnya sejak dini di kritik (averroisme Eropa), yang itu tidak dipahami oleh masyarakat retorik umum dan kalangan rasionalis (demonstratif). Karena itu akibatnya sekarang yang terlihat adalah suatu kepincangan, malah tidak dipahami, dan terasa asing oleh semua kelompok atas dan bawah. Akibatnya langsung pada mentalitas, kebingunan, devrivasi, alienasi, akhirnya orang bicara Papua M adalah suatu momok menakutkan.

Akibat penerapan teori asing akibat vatalnya, berbicara kebenaran dan keadilan Papua Merdeka adalah sesuatu momok yang menakutkan bagi rakyat. Rakyat belum mengerti Papua Merdeka adalah suatu hak dan mereka meraihnya kembali. Hal demikian muncul sikap juang karena pada dirinya idealisme Papua adalah sesuatu yang suci (fitrah). Singkatnya bahwa kesadaran politik perjuangan tidak terbangun secara memadai. Bahkan kelompok atas dan bawah tidak memahami, tapi hanya bisik-bisik dari mulut-kemulut, siapa melakukan apa dan bagaimana Papua.

Perjuangan Papua Merdeka yang hanya menjalani hanya kalangan tengah, dialektika teolog. Bukan lagi perjuangan dan perlawanan rakyat semesta yang seharusnya. Karena itu penyebab utama semua kelemahan perjuangan Papua Merdeka, menurut saya, gerakan perjuangan atau perlawanan bukan dari akar budaya sendiri, budaya Papua, tetapi budaya agama yang sesungguhnya asing bagi mayoritas penduduk Papua, menyebabkan gerakan perjuangan berjalan stagnan.

2. Pendidikan

Masalah lain bagi Papua adalah tidak meratanya kesempatan pendidikan oleh penjajah Indonesia. Dan ini masalah paling mendasar, bagi rakyat Papua, sehingga mempengaruhi cara berfikir langsung. Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab kurangnya moralitas pejuang Papua. Para petinggi Papua menerima dan mudah dipengaruhi misalnya lewat iming-iming, wanita, minuman, uang dan jabatan. Ada harapan pada para teolog, tapi sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas, penerapan teori dipenuhi oleh teologi yang sangat dogmatis.

Demikian ini diperrumit lagi oleh para teolog non Papua, yang memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang Papua agar Papua dan dan rakyatnya bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Biasanya para tokoh muslim dari Indonesia, Katolik dari Jawa, dan para tokoh agama dari Batak Protestan dan Katolik dari Ambon (Key, Flores) dan Menado juga demikian. Salah satu contohnya adalah penerimaan orang Papua pada Perda; "Manukwari Kota Injil", di Manukwari.

Dimaklumi bahwa dewasa ini di Papua Barat dan Para petinggi dari gerakan perlawanan dimasuki dan diduduki sebagai tempat empuk oleh golongan yang hanya "terbatas" kepengikutan dan pengaruhnya di tingkat masyarakat bawah. Saya memaklumi karena doktor dan sarjana yang kita miliki saat ini di Papua yang terkemuka adalah tokoh dari latar belakang pendidikan oleh lembaga Agama, menjadi hal ini menjadi demikian, padahal kita tahu bersama bahwa di negara Barat umumnya secular, bahkan menganggap urusan agama adalah masalah frivacy (pribadi). Dominasi begitu menghegemoni usaha pembebasan Papua dengan pada jajaran elit pejuang Papua sebagai akibat langsung tidak ditemukannya perumusan jalan perjuangan Papua bukan berdasarkan budaya yang hidup dan yang dianut masyarakat melainkan agama yang parsialistik bagi penghayatan para pemeluknya.

Agama Kristen dan Lembaga Gereja pada mulanya adalah, penggerak utama dari perjuangan Papua Merdeka. Indonesia sebagai penjajah melihat ini sebagai bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama (Kristen) dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama. Hasilnya semua keputusan lembaga Gereja sebagai penggerak perjuangan Papua Merdeka dapat terdeteksi dan akhirnya mudah diintervensi untuk dipatahkan. Apa yang terjadi hari ini, dan fenomena "MANUKWARI KOTA INJIL" di Papua Barat sebagai anti thesis, dari dominasi lembaga Gereja yang memiliki jaringan Internasional sebelumnya, sebagai penggerak utama perlawanan gerakan perjuangan Papua Merdeka dapat dipatahkan karena kurang begitu kokoh berpengaruh dalam adat dan budaya Papua sebagai sarana perekat semua element suku dan bangsa Papua yang memang pluralistik adanya.

Dirasakan kebutuhan sarana yang ampuh bagi tonggak dan landasan perjuangan sebagaimana dipunyai gerakan perjuangan saat ini, sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena hal itu dapat mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri memungkinkan dapat terjadi. Jika Papua dibiarkan dengan apa yang dimikili sekarang dan membiarkan untuk tidak segera membanting stir menuju haluan lain bagi usaha menempuh perjuangan. Maka bukan tidak mungkin Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Indian Amerika.

Padahal kita tahu bersama bahwa, yang terjadi negara-negara Barat Kristen sebaliknya, revolusi gerakan humanisme pada abad ke 18 di Prancis sebagai gerakan perlawanan terhadap Gereja yang dominan, telah melahirkan paham keawaman. Laicisme atau paham keawaman di Prancis telah meruntuhkan lembaga otoritas kebenaran mutlak Gereja dan Raja yang dominant adalah awal dimulainya egalitarianisme, humanisme dan leberalisme berhadapan dengan lembaga Gereja dan Raja di Barat-Eropa.

Dominasi dan hegemoni pemikiran rasional averoeisme telah membangkitkan kembali Eropa, dengan konsekoensinya pemisahan antara dua, yaitu lembaga gereja dan negara, sebagai kebenaran ganda (double thrush). Demikian akibat ilmu pengetahuan yang mempengaruhi cara pikir Barat Eropa abad dari 12 oleh dorongan pemikiran averoisme (baca Ibnu Rusyd) yang menghegemoni Eropa abad pertengahan. Kemudian menurut Gereja pemikiran rasional Ibnu Rusyd dianggap sebagai "bahaya" dan "kafir". Namun dari anggapan sebelumnya menganggap Averoisme "kafir" pada dan "bahaya", pada akhirnya menjadi dominan di Eropa pada abad pertengahan, apa yang kemudian dinamakan era renainsance melahirkan pencerahan (Aufklarung) di Barat, yang puncaknya positifisme empiris lingkaran Wina (Wina circle). Demikian kenyataan sementara di Barat melahirkan rasionalisme secular dominan.

Secularisme yang dimensinya adalah, humanisme, liberalisme dan egalitarianisme melahirkan suatu sikap masyarakat rasional di Eropa. Namun rasionalisme yang melahirkan era modernisme dengan majunya sciance dan tekhnologi di Barat puncaknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan hidup manusia menjadi piranti (persembahan baru) baru bagi masyarakat Barat adalah satu masalah tersendiri di abad ini. Dan hal itu menjadi otokritik di Barat sendiri, dewasa ini para ahli sosial melahirkan gagasan baru yaitu dengan lahirnya gagasan Pos Modernisme.

Dewasa ini di Barat, masyarakat penganut Kristen jarang mengunjungi gereja. Gereja adalah museum bagi kaum muda pada hari libur tertentu. Museum, dapat di beli imigran muslim dijadikan Mesjid. Tapi justeru sebaliknya, di Papua semangat primordialisme dikipas-kipasi orang non Papua yang biasanya mendapati diri sebagai minoritas di Indonesia dan di Papua di jadikan sebagai tempat empuk dan mencoba mengindonesiakan orang Papua lewat pendekatan agama dengan label-label aneh kurang disadari para intelektual Papua.

Malah lebih parah lagi hal ini terdapat dalam masyarakat penganut agama Islam. Berbicara tentang Islam dan Muslim, sangat lebih parah dari apa yang dipaparkan mengenai masyarakat pendukung dan pendorong "Manukwari Kota Injil". Masyarakat Muslim terdiri dari dua kelompok, pendatang dan pribumi. Yang disebut kedua kategorisasi dan sikap serta interpretasi islamnya di bagi lagi dalam berbagai kelompok antara sesat, tersesatkan, dan jahil murokkab (tidak tahu kalau dirinya tidak tahu).

Muslim Amber mayoritas, walaupun penting disadarkan bahwa perjuangan Papua menyangkut kebenaran nilai islam universal, dan juga kewajiban (fardu 'ain) bagi memahami agamanya secara adil dan benar. Islam apalagi intrepretasi nilai-nilai kebenaran universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rosul, boleh jadi hasilnya yang ada saat ini amat jauh berbeda yang diharapkan disini. Masyarakat Amber (muhajirin) sangat amat berbeda dalam banyak hal menyangkut penafsiran dan utamanya pemahaman. Hal ini banyak dipengaruhi faktor sekunder lainnya yang melahirkan sikap apatisme dalam rangka mengambil bagian gerakan perjuangan Papua bagi kalangan Amber.

Apalagi petugas sebagai alat penjajah yang didatangkan sebagai penjaga kedaulatan wilayah jajahan, bukan menjadi tema yang cocok pembahasan disini. Kelemahan umumnya Muslim Papua semakin menjadi nyata dengan adanya hegemoni penafsiran Islam tunggal dan diterimanya semua penafsiran itu adalah bahwa kita tahu Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, bahkan banyak kalangan muslim belum menyadari kalau dirinya di jajah Indonesia adalah kenyataan pahit bagi Muslim Papua yang tersesatkan.

E. KECEROBOHAN AGAMA

Injil yang di bawa oleh Otto dan Geisler dari Jerman yang selama 6 bulan mampir dan tinggal dulu di Batavia (Jakarta), sebelum melanjutkan perjalanan penginjilan ke Papua, tahun 1885. Proses penginjilan tidak langsung dimulai. Mereka bertahun-tahun menjadi tukang kayu dan tinggal di Manukwari (Benny Giay,1997). Penginjilan secara merata menjangkau daerah-daerah terpencil baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda pada tahun 1900-an sampai hari ini. Artinya Papua masih jauh dari nilai Injil yang di idealkan para tokoh Agamawan non Papua yang kemudian direspon orang Papua.

Semua orang tahu dan sebagaimana banyak laporan para ahli bahwa Islam telah lama ada Agama Islam dari abad ke 15. Kerajaan Islam hanya di daerah pesisir Selatan para penganutnya terdiri dari orang Papua sendiri yang berkulit hitam dan berambut keriting, tapi juga ada yang sudah campuran antara Arab, Ambon dan Asia (Sulawesi). Penyebar Islam di Fak-Fak sendiri sebagaimana di laporkan oleh Ali Athwa (2007) terdiri dari beberapa kalangan salah satunya adalah seorang saudagar dari Aceh. ( Ali Athwa, 2007)

Islam hanya terbatas di daerah Pesisir Selatan (Fak-Fak, Bintuni, Kokoda, Kaimana, dan Raja Ampat kepulauan). Penyebaran Islam di daerah Pesisir Selatan Barat itu saja. Kerajaan islam disana masih tunduk dan dominan ke Maluku Utara. Maluku Utara masih tunduk pada kesultanan Turki Utsmani, dan jaringannya dalam hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Asia termasuk Aceh dan Johor Malaysia. Hal ini oleh akibat perdagangan yang ramai datang dari Gujarat dan Hadramaut pada Abad 13 sampai dengan abad ke 18, yang kemudian hal itu diakhiri oleh kedatangan Spanyol-Eropa.

Jika diamati bahwa sesungguhnya pengaruh agama, kalau itu memungkinkan, maka pengaruh itu hanya dipesisir Utara antara Kepulauan Biak dan Serui, dan sebahagian kota Jayapura. Merauke dan sebahagian pegunungan (Suku Dani di Lembah Balim dan Suku Ekari, Mee, Paniai) sekitarnya Katolik, mendapatkan pemeluknya dengan pola penyebaran akulturasi dengan budaya setempat yang bercampur menjadi mitologi baru dalam proses pembentukan dewasa ini.

Mayoritas penduduk Papua sebagaimana yang nyata dan hidup dewasa ini adalah dengan dominasi nilai adat dan budaya Papua asli non agama. Bahkan para ahli agama yang melakukan penelitian Agama dan budaya orang Fasifik menunjukkan bahwa; "Agama bagi orang Papua adalah alat atau sarana bagi pencapaian prestis, bukan semata-mata karena ia menerima Yesus atau Muhammad sebagai kebenaran atau Jalan dan Hidup, melainkan lewat jalan ini orang Papua mencapai suatu tujuan lain, prestis" (Benny Giay, 1997).

Agama bagi masyarakat Fasifik dan Papua lebih khusus adalah jalan untuk prestis. Agama sebagaimana diakui Benny Giay, bagi orang Papua, bukan karena kebenaran agamanya, tapi untuk suatu tujuan lain, (prestis). Agama bukan sebagai nilai hidup yang di hayati karena kebenaran ajaran agama, tapi? Lewat agama seorang Kepala Suku, Ondoafi, Ondofolo, Kepala Kampung, dapat membawa masyarakatnya, dan masyarakat mengakui dirinya, atau disebut namanya, dengan demikian prestis seseorang diakui, entah apapun prestis itu.

Karena itu Agama sebagai juga sarana transformasi bagi dunia baru kini yang terasa gogah. Dalam keadaan kini oleh akibat hegemoni budaya penjajah dan Agama yang menyebabkan krisis nilai. Maka seorang kepala suku meneguhkan dan menempuh berbagai jalan termasuk jalan dalam kebingungan dan kebimbangan hidup kekinian. Agama bukan membawa jalan keluar (solusi) menjawab tantangan zaman yang mengalienasi warga suku oleh akibat derasnya arus agama dan nilai baru lainnya.

Hal demikian dengan sendirinya terjadi seluruh wilayah Papua suku bangsa Papua, sehingga penerapan konsep asing bukan kebutuhan. Apalagi sebagaimana diketahui bahwa penduduk terpadat dan dominant terdapat di daerah-daerah yang sulit di jangkau, terutama di daerah Pegunungan Tengah Papua lebih dominant menghayati nilai-nilai Melanesia (Papua) daripada lain. Demikian yang saya amati ada pada Kepala suku Haji Muhammad Aipon Asso saat ini, tatkala Indonesia datang menjajah Papua, hal demikian juga terjadi pada sosok Abdurrahman Kosay, Ismail Yenu, Haji Irvan Wantete, Musa Asso dan para tokoh agama Nasrani.

Demikian ini pada tahun 50-an akhir (Lembah Balim pada tahun 1954), Missionaris Amerika dari organisasi CAMA pertama kali datang. Dan pada Suku Ekari, Mee, era 30-an dan Moni, Amugme lebih belakangan lagi, pertarungan mempertahankan nilai-nilai lama di pihak orang Papua dan pemaksaan nilai-nilai dan konsepsi baru para agamawan di pihak Missionaris telah lama berlangsung sampai sekarang.

Karena itu Ukumearik Asso dari Hitigima, Lembah Balim Selatan dan Kurulu Mabel di Lembah Balim Utara, didatangi sebagai tindakan penyelamatan diri Missionaris bukan menerima agama. "Karena sebelumnya berdasarkan laporan expedisi ilmiyah pimpinan J. A. G. Kremer didaerah itu dalam perjalanannya ke Puncak Trikora dalam tahun 1920 dan 1921, dan dengan kedatangan expedisi ilmiyah Sterling dalam tahun 1926, yang melaporkan bahwa Suku Dani Kanibal, menyebabkan para missionaris seperti Benny dan Myron Bromley, karena takut, mencari perlindungan pada Kepala Suku Besar". (Ismail Asso, Kebudayaan Dan Adat Suku Dani Wamena, Papua, 2007, td).

Oleh sebab itu MRP yang dianggap sebagai lembaga refresentasi kultural seharusnya diperkuat, dengan memberi ruang untuk menerjemahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Papua asli, bukan nilai lain yang asing dan baru tapi juga tidak refresentatif, apalagi tidak membawa kemajuan perjuangan Papua Merdeka. Padahal itulah MRP seharusnya sebagai tempat apalikasi nilai-nilai Budaya dan Adat sebagai bagian dari Mentalitas perjuangan Papua Merdeka yang melekat.

Sebagaimana MRP sebagai perjuwudan adat dan budaya Papua tidak ada satupun rekomendasinya di setujui penjajah Indonesia, misalnya; rekomendasi agar bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua, dijadikan sebagai lambang kultural, seperti juga agar usulan MRP, PT Freeport ditutup dan lakukan kontrak karya ulang dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai pemilik ulayat ditampik Jakarta. Itu artinya MRP memiliki bergaining posision dan diperhitungkan Penjajah sekaligus ditakuti secara bisu alias diam. MRP walaupun juga ada wakil agama, misalnya ada yang mewakili Islam, Kristen Protestan dan Katolik, yang duduk semua di lembaga ini adalah semua orang Papua, tidak ada yang duduk di lembaga ini non etnis Papua sebagai lembaga suara hati rakyat Papua sesungguhnya.

Hal ini sebaliknya dengan, Aceh Darussalam sebagai kota "Serambi Mekkah", bukan sebagai hal baru. Adat dan Budaya Aceh sangat includ dengan nilai islam. Itulah budaya Aceh. Nagri Aceh Darussalam (NAD) telah menyatu dan islamlah budayanya. Maka ketika kemudian pelaksanaan "Syariat Islam" di tuntut Daud Beureuh kepada Soekarno, sistem thoghut ditolak para ulama Aceh sejak dini pendirian negara Indonesia.

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN PAPUA MERDEKA

PAPUA BELUM MAMPU MERDEKA

Banyak alasan, Papua belum mampu merdeka terbenarkan, sehingga banyak orang mengatakan, termasuk pihak internasional bahwa Papua adalah sebuah Pulau dengan suku-sukunya yang masih saling berperang antar sesama mereka. Disana masih ada tradisi memotong (mengayau) kepala manusia, kanibal (makan manusia). Secara umum, 'kesan' (berarti belum tentu benar), bahwa Papua adalah sebuah Pulau yang dihuni oleh suku-suku dengan dominan perang antar sesama suku. Singkatnya Papua indentik dimata Internasional adalah masyarakat yang belum beradab.

Dengan alasan ini belum banyak perhatian pihak Internasional untuk mendukung kedaulatan Papua agar mengatur negerinya sendiri tapi untuk sementara, cukup "dititipkan" saja dulu, kepada Indonesia untuk membangun Papua. Ini adalah alasan classic selama ini yang rasional bagi cara berfikir yang dibentuk oleh opini tentang keterbelakangan Papua. Cara pandang ini utamanya dimiliki oleh Amerika Serikat, dan sebahagian negara anggota PBB lainnya. Bahkan, 'issu Papua orang tahu tapi tidak populer'; demikian laporan situs OPM dalam internet beberapa waktu lalu; ketika komentar seorang politikus Eropa, opininya tentang issu gerakan Papua Merdeka.

Mengapa hal ini menjadi terbenarkan? Alasan utamanya adalah karena GERAKAN PAPUA MERDEKA, tidak ditempuh dengan gerakan intelektual. Gerakan Intelektual dimaksudkan disini, adalah perjuanga yang terorganisani dengan melibatkan semua komponent komunitas Papua, dalam satu barisan perjuangan misalnya dalam gerakan Perjuangan OPM, dan atau juga PDP. Sehingga perjuangan Papua adalah perjuangan rakyat semesta. Sehingga pelibatan semua demikian menghasilkan revolusi gerakan serentak dan resistence yang kuat, akan keinginan mewujudkan Negara Papua berdaulat penuh sebagai sebuah bangsa dan negara terasa wajar dan masuk akal, bagi dukungan internasional.

Perjuangan gerakan Papua, tidak sebagaimana OPM, PDP malah mencekoki rakyat Papua dengan teori perjuangan Papua kepada rakyat Papua Barat, bukan dengan semangat perjuangan dengan nilai-bilai Papua sendiri, tapi perjuangan dengan konsep dan teori asing bagi kebanyakan rakyat Papua. Konsep perjuangan idealnya adalah perjuangan yang diwarnai oleh nilai-nilai damai Papua sendiri, (mohon tidak dikacaukan dengan gerakan, PERJUANGAN DAMAI, versi tokoh-tokoh agama yang dominan di PDP, yang sepenuhnya didukung tokoh Agama Islam Tradisional NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus-Dur). Padahal bungkusan perjuangan damai versi agama yang isinya kekerarasan, pada saat yang sama kekerasan berlangsung, dan itu nyata terjadi di Papua Barat.

MULTI CULTURALISME PENDUDUK PAPUA

Karena itu, hemat penulis untuk Papua dengan multi culturalisme, (seperti : etnis, agama, suku dan bahasa) sulit menghasilkan Revulusi gerakan perjuangan yang berhasil, sebaliknya hanya membiarkan kekerasan berlangsung dan kita terus menyatakan perjuangan damai. Oleh sebab itu Papua dengan dominan adat dan budaya, konsep revolusi agama sebagaimana; Amerika Latin dengan teori Teologi Pembebasan, atau Revolusi Islam semisal oleh para Mullah di Iran dibawah pimpinan Ayatullah Imam Khumaini, atau juga sebagaimana di Timor Leste yang lebih Dominan Katolik dengan gerakan Moral yang kuat seperti tokohnya yang meraih hadiah Nobel perdamaian, Uskup Bello, sangat amat jauh dari harapan, malah sebaliknya kekerasan terus belangsung sebagai akibatnya.

Dengan demikian kesimpulannya bahwa konsep perjuangan damai, sekali lagi, PERJUANGAN DAMI, tidak relevant, (atau; tidak nyambung) dengan konteks sosial dan budaya Papua. Singkat perjuangan dengan tanpa memperhatikan konteks sosial budaya Papua sendiri tidak ada hasil sama sekali bagi harapan revolusi perjuangan yang diharapkan sebagaimana konsep perjuangan damai para tokoh PDP. Justeru sebaliknya kita terjebak pada taktik penjajah dan sepenuhnya kita terjebak pada keinginan dan menerima semua usul dan tawaran dan solusi penjajah. Dengan kata lain 'perjuangan damai adalah taktik penjajah dan strategi penjajah untuk menjajah Papua, dengan melumpuhkan karakter agar mentalitas dan cara berfikir dibuat menjadi dependent, bermentalitas complex impriority.

Papua betapapun mayoritas Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan, tapi saat ini, sentra-sentra ekonomi perkotaan dikuasi oleh (Muslim). Seluruh perkotaan di Papua, yang dominant penduduk beragama Islam; walaupun mereka para pendatang (Amber); tapi mereka tetap nantinya; menjadi warga negara Papua Merdeka. Nantinya mereka akan tetap menjadi warga dan penduduk Papua, dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai konsekuensi logis akulturasi dan inkulturasi kebudayaan.

Sintesa antara penduduk lokal dan pendatang adalah terwujudnya integrasi pendatang dan pribumi sebagai satu kesatuan wujud dalam nasionalisme Papua. Karena itu proses asimilasi harus dilihat dan diterima sebagai alat pengokoh demokrasi dan HAM. Contoh demikian ini banyak terjadi didunia bagian lain, seperti Amerika, Brazil, prancis dan Timur Tengah sejak ribuan abad lalu. Tapi kita tidak memaksa, kelak Papua merdeka, mengusir atau menghambat usaha orang tinggal atau pergi dari Tanah Air tercinta Papua Barat.

Sensus penduduk oleh BPS (Papua dalam angka 2000; kerja sama Bappeda Propinsi Papua), menunjukkan bahwa penduduk di kota Jayapura, yang lebih banyak adalah beragama Islam. Walaupun banyak pendatang Suku Dani dan Ekari di sekitar Jayapura, belum didata secara seluruhnya sebagai warga penduduk Ibukota Jayapura didalamnya, bisa menjadi hasilnya demikian.

Inilah alasannya bahwa, kita sebagai aktivis, PAPUA MERDEKA, dewasa ini belum memiliki asumsi sama, tentang batas nasionalisme, sebagai konsekuensi logis, bahwa sebagai bangsa modern, idealisme Negara Papua Barat, yang akan diwujudkan para aktivis Papua Merdeka, apakah juga termasuk orang pendatang, Amber, Muslim, ataukah nantinya Papua Merdeka kelak memperlakukan mereka ini (para warga sipil Melayu Muslim Asia {Bugis, Buton, Makasar, BBM dan Jawa, Madura, NTB, AMBON, Timor serta Melayu Sumatera), sebagai juga penjajah?

Hal ini ditambah lagi persepsi dari dalam (in side) gerakan internal para penduduk urban Asia Muslim, apakah mereka sejauh ini tidakkah mengambat Perjuangan Papua merdeka, ataukah merasa sebagai bagian tak terpisahkan dari negara Papua Barat, merdeka kelak ? Adalah sejumlah agenda yang segera diatasi dan OPM harus memberikan batasan makna perjuangannya bagaimana, sebagai suatu strategi perjuanga rakyat total. Usaha pendefisian demikian penting artinya sebagai kematangan sebuah gerakan perjuangan, dapat diperhitungkan oleh Internasional.

Semua ini sangat bergantung pada sikap, interaksi, selama ini antara sesama penduduk Papua. Apakah ada terobosan pemikiran baru dari kalangan internal para penduduk Papua, baik pribumi maupun pendatang (Amber) untuk saling mau menerima sebagai sesuatu yang nature ataukah kita harus steril adalah kedewasaan berfikir. Disini kita dituntut agar bersikap realistis bahwa asimilasi dalam batas-batas tertentu berlangsung secara alami Contoh kasus, banyak mahasiswa Pegunungan Tengah sudah melakukan perkawinan diluar suku sendiri seperti sejumlah anak-anak Papua yang merantau, jumlahnya mayoritas, baik dikota study Menado maupun di Jogja dan Surabaya.

Disamping ada usaha rekayasa sebagaimana Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat dalam era tahun 1950-an, dapat pula terjadi antara para urban sipil Asia dan Pribumi Papua. Rekayasa sosial bersama yang mengarah pada pembauran dalam pembaruan (inovasi) penduduk yang dari dulu memang multi etnis terutama dipesisir/pulau, sehingga bisa membentuk pemikiran dan pandangan masyarakat awam kedua belah pihak (terutama kita pegunungan yang lama terisolir, menerima mereka, dan diterima mereka) adalah terobosan pemikiran baru terlepas pro kontra.

MISKIN INTELEKTUAL

Terobosan pemikiran intelektual dimaksudkan disini urgensinya adalah apakah kita semua terus mau bertahan pada sikap eksklusif atau inklusif, sangat bergantung pada intelektualisme para pejuang Nasionalis Papua Merdeka, dan internal para warga penduduk Papua semuanya, terutama penduduk sipil pendatang. Barangkali masalah ini sederhana, tapi yang paling fundamental bahwa : "Papua Belum Mampu Mereka", diukur oleh dunia internasional, akan menjadi tampak disini.

"Papua penduduknya primitif, belum beradab, bodoh dan terbelakang". Demikian kata Ali Murtopo; dan lanjutnya; "kita (Indonesia) hanya menginginkan harta kekayaannya saja, bukan penduduknya".

Sebenarnya pernah diakui Koentjaraningrat (1994), seorang antropolog dari Indonesia dalam bukunya "Irianjaya, Membangun masyarakat Majemuk", mengklasifikasi masyarakat Papua bahwa daerah yang paling banyak melahirkan intelektual Papua yang pertama adalah daerah Biak dan kedua adalah Sentani Jayapura. Itu ceritera 30 tahun yang lalu, sekarang keadaannya banyak berubah, kini banyak terjadi pemerataan persebaran intelektual, bahwa kita, Bangsa Papua Barat, sudah banyak memiliki para pemikir, baik tua, apalagi, yang muda tersebar disemua wilayah Papua.

Hanya masalahnya, adakah pemikir-pemikir pembaharu (inovator) Papua dewasa ini sebagaimana, Thomas Wanggai dengan Bintang 14-nya dengan klaim Melanesia-nya terdiri (melingkupi), dari wilayah Fasifik (Timor, Maluku, sampai Micro/Macronesia), atau juga Arnold Ap, dengan lagu-lagu, "Mambesak"-nya mampu membangkitnya Nasionalisme sampai melampaui batas wilayah sebagai Negara Papua Barat dewasa ini? (Jos Adjondro, 2000), dan juga jangan pernah lupa Black Brathers, sebuah club music paling populer era tahun 60-an sampai 80-an awal yang banyak digemari rakyat Indonesia oleh syair-syair dan lirik lagu yang menghipnotis para pengemarnya, yang kemudian diusir oleh Soekarno, terutama oleh judul lagunya; "Lonceng Kamatian" dan "Hari Kiamat", yang menyindir langsung Soekarno sebagai Presiden bangsa kolonialis Indonesia kala itu.

Adalah masalah tersendiri untuk merumuskan apa yang dimaksudkan sebagai Waltanchaung, (Falsafah negara Papua Barat), yang konon telah merdeka tanggal 1 Desember tahun 1960 itu. Apakah falsafah negara Papua Merdeka kelak yang dimaui oleh para pejuang dan pemimpin Papua dewasa ini, apakah negara berideologi terbuka (liberal), ataukah tertutup (konservati), dan akan diwarnai oleh dominasi agama seperti Indonesia dengan Malaysia yang banyak mendadani negaranya agar agak kelihatan Islami dengan dandanan atribut islam, walau ideologinya yang di pakai bukan islam? Adalah masalah lain yang belum dirumuskan bersama dalam gerakan perjuangan OPM dewasa ini menurut saya sesungguhnya sangat penting diperhatiakan untuk kedepannya.

Tapi saya sebagai masyarakat awam dalam gerakan, bahwa yang diimpikan oleh semua para pejuang, termasuk penulis artikel ini, bentuk negara yang diharapkan adalah republik demokratik. Hal ini jika dilihat dari multi culturalisme penduduk, bukan saja setelah adanya penduduk urban yang nasibnya sesungguhnya juga terjajah di negerinya sendiri, misalnya penduduk Transmigrasi dari Jawa. Atau oleh adanya kedetakan kultur Melanesia misalnya penduduk urban misalnya Buton, Eks penduduk Timor Leste pro NKRI yang kini ditempatkan oleh Kolonialis di perbatasan dan Arso sebagai Transmigrasi Swakarsa dan Penduduk Timor Barat (Kupang dan Flores atau juga Ambon dan Key)

Saya sangsi, sekaligus optimis, bahwa pemerataan intelektual Papua dewasa ini cukup memadai, itu yang membuat saya optimis, tapi membuat saya sangsi, karena pemikirannya masih emosional, fragmentaris, tidak radikal dan fundamental. Mungkin ini yang dimaksudkan Arkalius Baho, dalam galauan hatinya, agar Papua memiliki gaya dan karakter menulis khas Papua, sehingga tercipta pemikir atau gaya menulis sama sekali berbeda (walaupun itu tidak mungkin, dan sepenuhnya bisa dan benar, lihat keberatan Abe)- dari selama ini ada yang kita miliki. Mengingat belum pernah ada satupun anak Papua menawarkan alternatif terobosan pemikiran baru yang bersifat inovatif.

Sehingga tercipta harapan rekan Arki, dan agaknya Arki, menghendaki adanya semacam gaya (berarti, memodifikasi) menulis (berarti juga, pemikiran intelektual) , khas Papua, tanpa mengekor gaya menulis atau cara berfikir penjajah. Berarti tawaran Arkalius Baho adalah ajakan untuk munculnya sebuah gerakan intelektual guna memodifikasi pemikiran terserak dan kaku selama ini, dengan inovasi (pembaharuan pemikiran) baru. Substansi pesan pembacaan kita mungkin berbeda karena itu bisa saja kesimpulan kita bisa beda dan lain antara saya dan kawan-kawan yang sudah komentar diatas semua. Namun ada satu stimulus yang menarik buat saya; "Jangan Adopsi cara menulis ilmiahnya penjajah", demikian pesan akhir Arki.

BAHAYA HEGEMONI BUDAYA PENJAJAH

Saya akui bahwa kita dapat menyaksikan bahwa; yang tahu, mengerti, bisa, mampu, sanggup, benar dan yang ilmiah itu, yang menghinggapi alam pikiran Rakyat Pribumi Papua Barat dewasa ini, bagai penyakit terjangkiti dalam masyarakat Papua, adalah alam pikiran penjajah. Hal ini dapat teramati bila kita menggunakan analisis dialektika wacana, dengan pisau analisis, dialektika wacana maka sangat terbaca dengan jelas terang benderang, bahwa usaha dominasi budaya penjajah lewat berbagai media selama ini melahirkan cara pandang di pihak orang Papua, terutama Pribumi, bahwa yang "bisa" dan "tahu" hanyalah penjajah. Sengaja diberi petik, mengingat, tahu dan bisa itu sendiri dalam hal apa. Yang pasti bahwa kecenderungan cara pikir ini telah mendominasi rakyat Pribumi Papua Barat, sebagai akibatnya.

Dominasi (hegemoni) budaya oleh indoktrinasi ideologi NKRI dalam berbagai alat sebagai medium di Papua Barat adalah sangat berbahaya untuk disadari. Indonesia sebagai pihak penjajah, melakukan berbagai usaha, untuk mencemari pemikiran lemah dipihak terjajah dan superior di pihak penjajah adalah penjajahan sistematis yang juga barangkali tidak disadari oleh kebanyakan kita bila tanpa mengunakan pisau wacana analisis, sebagai pengupasnya.

Ini sangat berbahaya! complex impriority (rasa rendah diri), bermula dari sini. Hal ini disebabkan oleh akibat hegemoni budaya penjajah yang mendominansi dalam hidup dan kehidupan rakyat tercinta Papua Barat, yang merambah merasuk disemua lini kehidupan manusia Papua Barat yang memiliki karakter budaya Fasifik dan punya harga diri sendiri lain sama sekali dari budaya Penjajah Indonesia yang Asia. Akibat fatalnya adalah bahwa; mengakui diri dan orang sendiri tidak tahu, belum mampu, tidak bisa, sebaliknya bahwa yang tahu dan bisa hanya para penjajah adalah sama saja melecehkan diri sendiri, menghina diri sendiri dan Tuhan sebagai pencipta, kalau kita mempercayainya sebagai Pencipta. Contoh kasus sebagai berikut :

Pertama ; Seorang teman, pemuda Dani, pulang ke Wamena dari Perantauan menuntut ilmu, dalam masa liburan. Dalam kesempatan tu ada kejadian begini; "Teman saya dari itu, ketemu dengan seorang Tua di sudut Kota Wamena, tepatnya Pasar Nayak Wamena. Walaupun koteka, mungkin sebagai tren Otsus Papua, Paitua Dani ini punya Hand Phon (HP). Hand Phonnya ini, mungkin saja, dibelikan oleh salah seorang anaknya yang pejabat (PNS) di Kabupaten Jayawi jaya. Waktu kami duduk sama-sama sambil bicara-bicara, tiba-tiba, ada dering suara panggilan masuk dari HP Paitua. HP-nya bisa bunyi tapi suaranya kurang jelas. Rupanya ada salah settingan, karena itu dia harap agar suara Hp-nya dibesarkan, sehingga bisa menerima suara panggilan masuk dengan jelas.

Kepada siap dia percayakan untuk tujuan itu? Dihadapannya, kami ada tiga orang. Dua orang, kami anak Wamena, mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Kami (saya dan temana saya) sebagai; Anak Suku Dani, lahir dari rahim ibu Wamena dan ayahnya juga Dani, profesi (teman saya), mahasiswa S2 tingkat akhir. Dan satu, Mas Parto, asal Jawa Timur, rambut lurus, kulit coklat hitam, profesi kuli bangunan, pendidikan SD tidak tamat. Siapa yang dipercayakan Paitua ini untuk memperbaiki HP-nya agar suaranya besar? Dia memilih, Mas Parto, kuli bangunan, dari Jawa Timur, yang tidak tamat sekolah SD. Mengapa? Papitua pikir, (logika Paitua, asumsi umum Orang Dani dewasa ini). Karena dia Mas-Mas, dari Jawa lagi, pasti semuanya tahu. Mengapa ini terjadi? Hanya kesan, Paitua makan kesan, menjadi salah asumsi.

Sebagai akibat hegemoni budaya Indonesia-Jawa selama ini, muncul kesan umum dikalangan masyarakat Papua, bahwa kesan; wah, baik, maju, hebat di tampilkan dalam berbagai media, elektronik, cetak, dan lain-lain selama ini oleh penguasaan di tanah jajahan Papua Barat seperti misalnya; Cenderawasihpos, RRI, TVRI, dan semua media elektronik Swasta lainnya, membuat kesan lain, contoh kasus misalnya Paitu Dani diatas. Hal demikian tidak hanya Paitu itu, tapi semua rakyat Pribumi Papua, dan ini sangat mempengaruhi opini orang Papua. paitua Dani yang koteka ini, dalam soal tekhnologi komunikasi Hand Phon (HP) dia tidak percaya kami, anak-anaknya sendiri dianggapnya tidak tahu, buta teknolgi alias bodoh, hanya lantaran kami tetap anak Papua dan Wamena.

Kedua, saya sendiri dalam tahun 1995 dari perantauan pulang ke Wamena. Saat itu Bupatinya JB Wenas dari Menado. Wamena sangat maju sebagai kota Wisata, banyak turis mancanegara, perkembangan dan pembangunan sedang digalakkan, roda ekonomi maju pesat. Diantara perkembangan kemajuan itu diantaranya adalah, juga mungkin, 'makan pinang'. Saya tentu tidak makan pinang sebagimana para muda-mudi Dani kala itu.

Karena saya tidak biasa, saya tidak mau makan pinang dan mencobanyapun saya tidak berminat, karena itu saya dianggap tidak maju dan dikatakan; "Tidak Tahu Makan Pinang". Asumsi dibalik kata ini adalah bahwa; "Makan pinang adalah maju", "pernah ke luar Kota Wamena", singkatnya, dianggap maju. Saya heran, makan pinang dianggap 'Tidak Tahu'. Apakah makan pinang sebuah proses ilmiah sehingga dikatakan, Tahu Makan Pinang? Tidak! Orang Muda Dani makan kesan, menjadi asumsi, sehingga terbentuk persepsi salah bahwa makan pinang adalah sebuah "lambang kemajuan", adalah pengaruh dari masyarakat pesisir Papua yang terlanjur, dianggap benar, apalagi ungkapannya, 'tahu makan pinang'.

Malah lebih parahnya lagi saya dianggap belum pernah tahu ke Jayapura hanya lantaran saya tidak mau makan pinang, oleh sebab itu saya di justifikasi tanpa proses di uji, langsung dihukum putuskan para pemuda/pemudi Dani yang hitam manis imut-imut itu, sebagai orang yang tidak maju, tidak tahu alias bodoh. Ini sangat parah, makan pinang tidak dengan proses belajar sebagimana ilmu tapi adalah tradisi, kebiasaan saja, malah saya dianggap tidak tahu makan pinang alias bodoh.

Kembali pada pembahasan kita bahwa Papua dan kita sebagai bagian darinya tentu mempunyai keinginan; sebagaimana harapan Arki, memiliki ke-khasan, cara, metode, menulis sebagai bagian dari 'Dialektika Perubahan', tentu harus dirumuskan. Walupun secara berbeda 100% sama sekali, tidak mungkin, imposible. Karena semuanya saling terkait antara satu dan lain baik dalam budaya, tekhnologi dan ilmu pengetahuan umumnya, sebagai masuk akal dari globalisasi.

Paling-paling kita berharap elaborasi kekhasan dari yang kita miliki sebagai inkulturasi, tidak mungkin semurni-murninya, itu saja, dan itu tercipta dengan sendirinya atau kita merekayasanya sendiri. Tapi hanya satu, bahwa pesan secara ekstrinsik dari Arki; kemampuan dan kemandirian dari hegemoni dan penjajahan budaya dan peradaban dominan penjajah harus di kritisi, disikapi secara ilmiah mana yang central dan feriveral. Agar kita tidak terjebak oleh kesan dan makan opini mereka secara mentah, menelannya bulat-bulat tanpa di kunyah (seperti orang makan Papeda), sebagaimana dalam kedua kasus contoh diatas.

Menurut saya relevansi pesan Arkalius Baho disini. Lain tidak! Sebagaimana Jepang, satu-satunya negara bukan Barat; yang mampu maju secara moden dengan pengalihan teknologi Barat dengan imitasi, dan menciptakannya secara baru sama sekali. Papua harus, secara sama sekali lain dan baru, memiliki kekhasan dan dapat memulainya dengan wacana ilmiah dengan pemikiran secara fundamental bukan emosional dan dangkal.

Bangsa Jepang untuk melakukan rekayasa teknologi (imitasi) mengirim mahasiswanya keluar dan bertebar di semua negara Eropa dan Amerika, pasca perang Fasifik atau Bom Atom Hirosima-Nagasaki oleh Amerika dan Sekutunya tahun 1945. Sekarang Jepang tidak kalah maju dari Barat adalah satu-satunya negara dan bangsa non Barat. Komputer buatan Amerika sebesar meja makan, jepang memodifikasinya menjadi leptop, Hp ukuran As, besar karena jepang orangnya kecil dan pendek memodifikasinya sesuai dengan ukuran tubuh mereka, Hp kecil, masuk dalam saku baju/celana.

Untuk menulis dan dialektika perubahan dimunculkan secara sama sekali lain dan baru untuk Papua; yaitu dengan cara menulis secara lokomotif baru, khas Papua bukan gaya selera penjajah, bisa dengan pola perubahan sistem pendidikan dengan muatan lokal, penyusunan kurikulum, dalam era otonomi khusus memang, adalah wajar dan masuk akal diberlakukan di Papua barat, dan inilah tugas kaka Bas dan Alex.

Tapi saya sendiri tidak mengerti bahwa, mengapa, "Menulis dan Dialektika Perubahan", belum ada dalam tradisi anak-anak kita dewasa ini? Kita bisa memulainya dari sekarang, agar kita juga dapat, mampu, bisa, untuk menemukan, adanya karya dengan pemikiran secara reflektif dari kita, anak-anak Papua, khas Papua. Tapi juga apakah ini dimaksudkan Arkalius Baho? Inikah Kelemahan Kita Itu?. Selama ini yang saya dapati kita saling memaki, menghujat, emosional, trush cliem, tidak terkoordinasi, tapi menganggkat diri sebagai pemimpin Papua dan lain sebagainya. Semua itu tidak lain adalah oleh akibat langsung dari kurangnya disiplin diri dan langkahnya (lemahnya), intelektual terlibat dalam gerakan perjuangan Papua Merdeka.

Budaya intelektual yang kita punyai dewasa ini hanya pemikir 'pemamah' (baca, plagiat), sehingga, kita belum banyak merumuskan konsep-konsep negara Papua Barat, akan seperti apa jika kelak merdeka, dalam hal ini menyangkut persepsi nasionalisme, langsung pada falsafah (waltanchaung). Dan kita belum banyak melakukan terosan baru yang dapat mempengaruhi perubahan itu sendiri. Sehingga masuk akal jika selama ini ada kesan umum masyarakat internasional bahwa; Papua tetap menjadi issu feriveral (pinggiran) dalam konstelasi perpolitikan internasional.

Hal ini terbukti dari laporan situs resmi OPM, beberapa waktu lalu yang melaporkan bahwa issu Papua ditingkat Internasional (PBB), menunjukkan oleh opini itu bahwa issu kemerdekaan Negara Papua Barat, dikenal tapi tidak populer alias lemah. Bahkan mereka (PBB) pernah dengar tapi bukan maen streem dalam agenda sidang umum PBB selama ini.

Kesimpulan

Sebagai akibatnya, oleh lemahnya budaya inteletual dikalangan para aktivis dan pejuang Papua Merdeka adalah penyebab utama, issu Papua Merdeka sangat lemah di PBB. sehingga menyebabkan, pembentukan opini internasional tentang Papua sangat soak (lemah). Menurut saya kita saat ini belum memiliki budaya intelektual yang pada kajian-kajian intelektual baik menyangkut; waaltanchaung (falsafah negara), nasionalisme dalam pluralitas suku bangsa, agama dan penduduk dewasa ini di Papua Barat.

Akhirnya, ini apakah penyebab lain, enggannya intelektual kita Joshua R Mansoben, antropolog pertama Papua dewasa ini dalam pengakuan kompas beberapa waktu lalu "tidak tertarik dengan issu Politik", padahal dia adalah seorang pakar antropologi yang berarti pakar politik papua, dia lebih tertarik pada keilmuan dari pada paktisi politik. Itukah dong bilang kitong tra tau bikin pisang goreng?

Wallahu'alambishowab.