A. PENDAHULUAN
Terimakasih Saudaraku, Bung Husaini Daud (mohon maaf sapaan ini jika kurang berkenan). Insya Allah idealisme saya belum pernah mau luntur. Saya tetap idealis. Tulisan Saudara Husaini Daud (atau Bung, m nadzar), karena bagus dan berbobot saya kirim ke redaksi kabar papua dan sudah dipublikasikan. Sebelumnya oleh redaksi menyebut saya sebagai penulisnya. Maka saya klarifikasi dan sudah dikoreksi dengan menyebut Saudara sebagai penulis. Saya sampaikan kepada kawan redaksi agar menjaga hak intelektual penulis sesungguhnya. Dan A-Hamdulillah tulisan ini bertengger di situs :www.kabarpapua. com.
B. IDEALISME PAPUA
Saya karena apa, entah, tapi tetap mencintai diri sebagai Muslim Papua, walau kadang saya keluar dari dogmatisme ajaran islam misalnya kepercayaan setelah mati dan rukun iman lainnya (astaghfirullah, mungkin saya, murtad dan sudah kafir). Karena itu bila saya menulis disini sebelumnya, kepada semua pemeluk Agama, bahwa saya menulis tidak sebagai seorang pemeluk agama, agama apapun. Saya menyoroti dari luar, bukan sebagai penganut salah satu agama samawi (Islam, Katolik, Protestan, dan agama bumi lainnya seperti Hindu, Konghucu dan Budha). Oleh karenanya saya "keluar" untuk netral, dari posisi penganut salah satu agama. Agar saya mengembangkan idealisme Papua secara bebas. Untuk itu disini saya akan campakkan semua agama dogmatisme yang membelenggu kebebasan, mengembangkan idealisme Papua.
Saya memang menyukai pemikiran Ibnu Rusyid daripada, tapi juga menyukai Imam Al-Ghazali. Dalam ilmu kalam kemampuan berfikir Ibnu Rusyd sangat mengagumkan. Ibnu Rusyd mempertahankan argumentasi tentang wujud adanya Tuhan dengan argumentasi rasional daripada madzhab Asy'ariyah dari Ahlusunnah Waljama'ah yang dianut Al-Ghozali, dan kebanyakan anutan muslim Asia Tenggara, (Indonesia, Philipina Selatan, Thailand Selatan, Brunai Darussalam dan Malaysia) juga termasuk Bangsa Papua Barat.
Jika di amati Al-Ghazali, sesungguhnya sangat paham ajaran filsafat Platonisme dan Aristoteles terutama logikanya. Hal ini terlihat dari misalnya kitab karangannya yang berjudul Mi'yar Al-'Ilm. Ghozali menunjukkan sikap rasional dan sangat logis dalam meruntuhkan argumentasi para filosof, walaupun dia tidak mengambil sumber logika dan filsafatnya langsung dari karya Platonisme dan Aristoteles, tapi melalui karya terjemahan Ibnu Sina dan Al-Farobi -yang keduanya dikenal sebagai filosof muslim di Timur. Namun menurut Ibu Rusyd, Ghozali sesungguhnya salah dimengerti maksud mereka (ibnu Sina dan Al-Farobi), sebagaimana pembelaan Ibnu Rusyd dalam kitabnya yang terkenal "At-Tahafut wat-Tahafut (kekeliruan dalam kekeliruan).
Malahan Ibnu Rusyid menuduh Al-Ghazali mengunakan ilmu logika dan filsafat Aristoteles dari pihak kedua, yang salah dimengertinya itu untuk mengkafirkan para filosof, adalah suatu tindakan gegabah terhadap para filosof baik wilayah Timur maupun wilayah Barat Islam. Tapi hanya, sebagai pisau untuk membabat pemikiran para filosof, terutama berhadapan dengan para filosof muslim wilayah timur (Ibnu Sina dan AL-Farobi). Al-Ghazali dalam kitabnya At-Tahafut Al-Falasifah 20 masalah menyebabkan kafirnya para filosof. Demikian yang berkembang pada abad pertengahan dalam ilmu kalam. Termasuk qodim atau hadits (baharu) penciptaan alam.
Karena itu kitab Ihya'ulumuddin- nya, Al-Ghazali, oleh sebahagian orang dianggap dapat mematikan kreatifitas, nalar dan pikir kaum muslimin. Bahkan, Ihya 'Ulumuddin dianggap sebagai "biang kerok" kemunduran kaum muslimin dewasa ini berhadapan dengan Barat. Walaupun demikian anggapan sebahagian inteletual muslim kini, saya berpendapat bahwa kitab karangan Al-ghazali, Ihya 'Ulumuddin, begitu mempesona merasuk hati sanubari kita yang terdalam dan dan mempribadi menuju ma'rifatullah. Maha luar biasa dari Imam Ghozali adalah mistisme rasionalnya yang saya rasa inklud dalam budaya persia yang mengagumkan tinggi.
Menyangkut idealisme Papua merdeka, saya berkeyakinan bahwa, selama manusia Papua ada, idealisme Papua merdeka tidak akan pernah mati, sampai kapanpun Orang Papua tetap menuntut merdeka. Papua Merdeka sebagai idealisme, secara terus menerus diperjuangkan antar generasi, sepanjang masa. Hari qiyamah (kiamat) kurang lebih dapat dipahami disini, bukan menunggu ketidakpastian Kehadiran, (Tuhan dan segala bentuk konsep eskatologi lainnya). Bagi penulis hari "kiamat" dimaksudkan, jika benar bahwa tidak pernah benar ada tapi akhir dari kehidupan manusia adalah kematian pribadi-pribadi, atau Qiyamah dimaksudkan bagi saya (negara Papua berdiri).
C. REKONTRUKSI PARADIGMA PERJUANGAN
Bahwa upaya rekontruksi paradigama perjuangan Papua menuju kemerdekaan dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yang terpenting adalah untuk merumuskan bukan saja metoda perjuangan Papua merdeka apa dan jalan mana, tapi menyangkut, seluruh dimensi kehidupan sosial politik, dengan semangat pelibatan sampai pada level rakyat di akar rumput. Sehingga semangat resistensi adalah semangat rakyat semesta, agar bagaimana kedaulatan benar-benar terwujud tanpa hambatan. Penegakan demokratisasi dan HAM dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka, sebagaimana diharapkan terjadi adalah jalan kesiapan suatu bangsa yang mau berdaulat penuh.
Darimana sumber nilai yang menjadi dasar dari usaha gerakan perjuangan? Sumber nilai yang harus direkontruksi berasal dari nilai-nilai lokal sebagai yang berkembang, nilai asli Papua. Sumber nilai itu baik nilai Papua asli (genuin) yang dimiliki rakyat Papua dengan terus melakukan purefikasi (pembersihan) aspek nilai sekunder negatif dari luar oleh akibat hegemoni budaya kolonialis. Nilai baru yang lebih baik seperti keadilan, kemanusiaan, kebebasan ysng bersifat universal dapat di ramu kembali sebagai nilai sendiri dalam konteks Papua dapat di jadikan sebagai sumber kekuatan untuk dijadikan landasan rekontruksi yang dimaksudkan disini.
Untuk itu aspek-aspek penegakan demokrasi dan HAM ditengah rakyat Papua yang terus berubah menjadi kebutuhan, penyesuaian pergerakan perjuangan OPM dengan membuka ruang pelibatan semua komponent komunitas Papua dewasa ini sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan perjuangan. Hal itu tidak lain dari usaha nasionalinalisasi Papua dalam kerangka rekontruksi nilai-nilai Papua. Demikian pada akhirnya terwujud format ideal nasionalisme Papua secara sistematis. Rekontruksi berdimensi demokrasi dan HAM dalam gerakan perjuangan akan menemukan formatnya yang ideal adalah penting artinya bagi kematangan perjuangan.
Untuk kebutuhan ini maka meramu kembali nilai lama Papua dengan nilai baru adalah suatu kemestian pada saat dunia terus berubah dan meng-global dewasa ini dan akan datang. Sebab sering diingatkan bahwa yang terus abadi adalah hanya "wajah Tuhan", selainnya dalam keadaan terus berubah hukum antropis dalam filsafat Yunani mengajarkan demikian yang kemudian teorinya diambil para filosof Islam dalam memperdebatkan ilmu kalam, (Aqo'id, Ushuluddin, Tauhid).
Oleh sebab itu seharusnya idealisasi mewujudkan demokrasi dan penegakan HAM bukan saja kelak Papua berdaulat, tapi senantiasa dari sekarang, sejak dini, kita harus memformat gerakan perjuangan Papua merdeka harus sarat dengan nilai demokrasi dan HAM yang universal dan aspek nilai demokrasi dan HAM includ didalamnya. Demikian idealnya pembangunan gerakan perjuangan Papua Merdeka dan menjadi keharusan untuk dirumuskan sekarang sebagai bagian dari kerangka dasar metoda perjuangan Papua menuju kadaulatan penuh.
Sekali lagi diingatkan bahwa, usaha demokratisasi dan penegakan HAM dalam pembangunan gerakan perjuangan Papua Merdeka yang dimaksudkan disini adalah kebutuhan bukan saja sesudah kedulatan terwujud, namun kedaulatan, malahan tidak akan terwujud tanpa melibatkan semua kelompok, adalah kiat-kiat dan strategi baru, menunjukkan kematangan suatu gerakan, dapat diperhitungkan sebagai suatu gerakan yang cukup significant dan memadai pada dirinya.
Metoda perjuangan seharusnya, jadi harapan semua, dan tuntutan kita, bukan kata-kata mati tanpa makna, "perjuangan damai", tapi rakyat terus mengalami kekerasan tanpa bagaimana kedamaian itu. "Perjuangan damai" nyata bukan suatu kedamaian, tapi sebaliknya, rakyat merasakan sebagai kekerasan. Tiadanya pemimpin pasca Theys Hiyo Eluay, saat ini Rakyat Papua Barat, baik secara sadar maupun tanpa disadari amat sangat merasakan kekerasan itu dalam berbagai bentuknya. Contoh kekerasan tanpa disadari adalah hegemoni budaya penjajah dalam berbagai lini hidup dan kehidupan Orang Papua begitu mencengkeram.
Sebaliknya juga harus, jadi wajib maksudnya, bukan kekerasan, perjuangan ada batasan makna dan terjemahan dalam praktek lapangan yang itu memungkinkan bahwa ada proses perjuangan damai. Bukan dengan menerima semua klausul tawaran kolonialis dengan membiarkan idealisme sendiri menjadi mati dan terbunuh oleh karena menerima semua solusi penawaran dan membiarkan idealisme sendiri berjalan ditempat alias tidak ada makna. Karena itu sikap perjuangan damai, dengan membiarkan kekerasan sesungguhnya kekerasan itu sendiri, dengan kata lain, membiarkan kekerasan dengan menyatakan perjuangan damai adalah suatu kekerasan baru.
Seharusnya, para pejuang Papua bersikap tegas, dapat mempengaruhi seluruh rakyat agar bersikap menolak tawaran sebagai solusi pihak lawan adalah sikap penting sebagai kekuatan dan sekaligus senjata perjuangan damai mendapatkan makna, agar perjuangan merdeka untuk berdaulat penuh menjadi ada artinya dan dapat diperhitungkan. Maka sesungguhnya perjuangan damai dalam praktek dan perjungan dilapangan dengan berbagai manuver, lobby-lobby selain kampanye internasional yang bukan kekerasan, mendapatkan makna yang berarti di tengah rakyat. Dan kekerasan penjajah yang rakus mendapat tekanan internasional. Kebututuhan Papua adalah ketiadaan pemimpin yang berani dan tegas, untuk menyatakan, tidak! Pada Penjajah Indonesia. Papua dewasa ini butuh pemimpin yang berani melawan hegemoni budaya kekerasan penjajah Indonesia dan kapitalisme Internasional.
Kesulitan melibatkan semua oleh akibat sekat-sekat primordialisme gerakan perjuangan Papua untuk mendapatkan dukungan semua rakyat dan kurangnya usaha melibatkan semua rakyat. Penyebab lain sehingga muncul apatisme, bukan sikap peduli terhadap perjuangan, adalah adanya elitisme perjuangan di tingkat para pemimpin Papua, walau dalam hal-hal khusus dipertahankan demikian harusnya. Disamping tiadanya kaderisasi dan orgnisasi yang membawahi seluruh gerakan perjuangan sampai ke tingkat seluruh rakyat semesta, menjadi kebutuhan rekontruksi gerakan perjuangan Papua dewasa ini dan kedepan.
OPM sebagai organisasi perjuangan harus mampu diikuti secara massal seluruh rakyat. Untuk itu harus ada perangkat-perangkat lain sebagai sarana koordinasi, sosialisasi dan konsolidasi seluruh warga rakyat Papua dapat dilibatkan dibawah satu payung OPM. OPM sebagai organisasi bayangan negara Papua Barat yang di impikan untuk di wujudkan adalah kebutuhan membenahi tidak saja kelak Papua berdaulat, tapi sejak dini dalam gerakan perjuangan dijalani. Inklusifitas tokoh pejuang Papua, dan usaha mau mengakui, semua sebagai bagian tak terpisahkan Papua adalah menunjukkan suatu kematangan gerakan politik dan itu dapat diperhitungkan kawan maupun lawan.
Dalam rangka ini penting ada rekayasa budaya lokal untuk memaknai demokrasi yang dapat digali dari berbagai perspektif budaya lokal dan budaya baru yang baik dan bermakna, sehingga ada artinya bagi Papua termasuk dari agama apapun. Demikian Perjuangan damai Papua mendapatkan arti perwujudannya sebagai demokratis dalam budaya sosial berkembang sementara. Organisasi di level paling bawah mestinya ada rekayasa dengan merangkul dan mengakui semua warga sebagai bagian termasuk dalam gerakan politik perjuangan Papua Merdeka sebagaimana selama ini didengungkan oleh Tuan Andy Ayamiseba (pejuang OPM senior di Vanuatu).
Berarti disini ada usaha rekayasa sosial. Rekayasa sosial dimaksudkan suatu usaha para pemimpin untuk merumuskan, rumusan perjuangan baru dengan merekontekstualisasikan nilai-nilai lokal disatu pihak dan merespons dengan sikap positif untuk menerima transformasi nilai-nilai baru sebagai penegakan nilai-nilai HAM dan demokrasi.
Kontekstualisasi nilai-nilai budaya dan adat bagi Papua, adalah usaha kita senantiasa pada saat ini, relevansinya, pada saat mana usaha sama di Barat melahirkan wacana pos modernisme sekarang, oleh akibat modernisme rasionalistik yang menghegemoni. Karena kita sebagai sebuah bangsa tentu saja, dan seharusnya memang demikian, bahwa arus transformasi nilai baru global yang berbungkus budaya baru tak terhindarkan bagi siapapun, dimanapun dunia manusia, baik infomasi dan ilmu pengetahuan. Bagi negara yang belum berdaulat seperti Papua kebutuhan saat ini adalah usaha bagaimana merekontruksi dan meretas jalan perjuangan dengan mendasarkan landasan perjuangan dengan meramu kembali nilai-nilai lokal dengan semangat masa kekinian (kontemporer) adalah urgent.
Usaha merumuskan teori perjuangan, yang teori itu haruslah kontekstual bagi terbentuknya kedaulatan adalah amatlah mendesak dewasa ini, kita rasakan senantiasa. Saya berbendapat bahwa usaha kontekstualisasi budaya dan tradisi lokal amatlah penting digeluguti dewasa ini untuk kemudian ditransformasi dengan nilai-nilai sosial baru, adalah rekontruksi gerakan perjuangan, guna mencari, atau sebagai jalan lain menuju pembebasan Papua, bukan dari lain, tapi dari hasil responsi nilai lokal dengan penyesuaian perubahan zaman. Dan usaha demikian (jalan menuju arah kesana) itu bagi Aceh sudah dimiliki dengan dimilikinya akar budaya islam yang kuat menjadi menyatu dalam adat dan budaya Aceh adalah kekuatan budaya yang dimaksudkan disini. Demikian jugakah dengan yang dimiliki Papua?
Adalah suatu pertanyaan, dan saya berpendapat Papua tidak memiliki akar budaya agama kuat dan menyeluruh melingkupi rakyat sebagaimana Aceh, yang akhirnya melaksanakan Syari'at Islam, terlepas dari sandiwara pihak Indonesia Jawa (lihat bantahan Muhammad Al-Qubro, UU Syariah NAD, "undang-undang laba-laba"). Walau saya tetap akui ada dimensi-dimensi tertentu sebagai pintu dimasukinya unsur kolonialisme, namun hipotesa saya dapat dibuktikan dari ketegaran jiwa para pemimpin dan Tokoh Aceh, baik yang menerima perjanjian Helsinki maupun menolak menerima Otsus NAD dengan pihak penjajah Indonesia Jawa (memimjam Istilah Bung Husaini).
Papua dewasa ini belum memiliki akar budaya bersama yang itu sebagai alat perekat sekaligus pengikat bagi kekuatan, sehingga dapat dijadikan landasan perjuangan sebagaimana Aceh dengan perekat kekuatan akar islamnya. Kekuatan budaya sebagai alat pengikat bersama sebagaimana di Aceh tidak kami miliki di Papua Barat. Akar dan pola budaya sebagai kekuatan untuk Papua selalu masih didapati bersifat parsialistik yang dimiliki dewasa ini. Inilah yang menyebabkan kelemahan yang menyentuh langsung bagi perjuangan Papua, walau ruang untuk didukung oleh mayoritas Kristen Internasional Barat di duga kuat, (seharusnya demikian, sebaliknya yang didapati, kenyataan di Papua hari ini, ketiadaan dukungan internasional yang kuat).
D. PENYEBAB GAGALNYA PAPUA MERDEKA
1. Hegemoni Budaya Asing
Di Papua Barat pemerintah penjajah (baca, Indonesia) sebagai pusat kendali kekuasaan, para aparat ketangan-panjangannya diberi angin, biasanya kepada mereka yang agak bisa "dikibulin", dari kelompok pemuka agama, juga aparat koloni daerah dari orang Papua sendiri untuk membiarkan dirinya "diakal-akalin", suatu gagasan sektarianisme untuk kemudian di jadikan kelak, dan jika dibutuhkan sewaktu-waktu sebagai alat identifikasi dan menguatnya konflik horisontal. Demikian dengan pengamatan saya dengan diterimanya usulan MRP yang rada kurang kerjaan dengan usulan dan kehendak aneh yang absurd, misalnya "Fak-Fak kota Serambi Mekkah" atau "Manukwari Kota Injil".
Masyarakat Papua yang masih terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi pemerintah Indonesia melalui aparat koloninya yang di daerah, bagi usaha mendorong dan menggiring kelompok agama untuk masuk melakukan hambatan gerakan perjuangan Papua Merdeka dari dalam, dan biasanya lewat lembaga agama apapun. Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama dan juga sekaligus dorongan agar jalan perjuangan Papua ditempuh dengan jalan perjuangan damai. Perjuangan damai sesungguhnya sangat tidak sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri. Karena itu yang mudah tertarik dan gampang dipengaruhi oleh penjajah Indonesia adalah masyarakat yang berlatar belakang Ustadz (atau Haji), Pendeta, Pastor dari kalangan Agama yang dogmatis.
Penyebab mundurnya gerakan perjuangan Papua merdeka di tingkat internasional dan tidak banyak berhasil mendapat pengikut bagi organisasi perlawanan rakyat, sebagai usaha bersama rakyat adalah kesalahan penerapan metoda perjuangan. Sebagai akibatnya perlawanan secara massal oleh semua rakyat diakar rumput, tidak muncul dalam perjuangan perlawanan di Papua Barat, adalah di cekokinya penerapan teori perjuangan asing misalnya dengan teori "pembiaran" mesianistik dengan menyatakan "perjuangan damai". Padahal sesungguhnya karakter dan mentalitas orang Papua sesungguhnya adalah tegas, keras, dan penakluk.
Penerapan teori perjuangan asing dan bukan dari semangat dan mentalitas rakyat yang hidup dan berkembang dewasa ini adalah "biang kerok", penyebab utama, kelemahan gerakan perjuangan Papua Merdeka hari ini. Perjuangan gerakan Papua akhirnya terjebak pada elitisme. Hanya terbatas yang mampu menerima dan mengerti dialektika teologi yang sesungguhnya sejak dini di kritik (averroisme Eropa), yang itu tidak dipahami oleh masyarakat retorik umum dan kalangan rasionalis (demonstratif). Karena itu akibatnya sekarang yang terlihat adalah suatu kepincangan, malah tidak dipahami, dan terasa asing oleh semua kelompok atas dan bawah. Akibatnya langsung pada mentalitas, kebingunan, devrivasi, alienasi, akhirnya orang bicara Papua M adalah suatu momok menakutkan.
Akibat penerapan teori asing akibat vatalnya, berbicara kebenaran dan keadilan Papua Merdeka adalah sesuatu momok yang menakutkan bagi rakyat. Rakyat belum mengerti Papua Merdeka adalah suatu hak dan mereka meraihnya kembali. Hal demikian muncul sikap juang karena pada dirinya idealisme Papua adalah sesuatu yang suci (fitrah). Singkatnya bahwa kesadaran politik perjuangan tidak terbangun secara memadai. Bahkan kelompok atas dan bawah tidak memahami, tapi hanya bisik-bisik dari mulut-kemulut, siapa melakukan apa dan bagaimana Papua.
Perjuangan Papua Merdeka yang hanya menjalani hanya kalangan tengah, dialektika teolog. Bukan lagi perjuangan dan perlawanan rakyat semesta yang seharusnya. Karena itu penyebab utama semua kelemahan perjuangan Papua Merdeka, menurut saya, gerakan perjuangan atau perlawanan bukan dari akar budaya sendiri, budaya Papua, tetapi budaya agama yang sesungguhnya asing bagi mayoritas penduduk Papua, menyebabkan gerakan perjuangan berjalan stagnan.
2. Pendidikan
Masalah lain bagi Papua adalah tidak meratanya kesempatan pendidikan oleh penjajah Indonesia. Dan ini masalah paling mendasar, bagi rakyat Papua, sehingga mempengaruhi cara berfikir langsung. Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab kurangnya moralitas pejuang Papua. Para petinggi Papua menerima dan mudah dipengaruhi misalnya lewat iming-iming, wanita, minuman, uang dan jabatan. Ada harapan pada para teolog, tapi sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas, penerapan teori dipenuhi oleh teologi yang sangat dogmatis.
Demikian ini diperrumit lagi oleh para teolog non Papua, yang memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang Papua agar Papua dan dan rakyatnya bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Biasanya para tokoh muslim dari Indonesia, Katolik dari Jawa, dan para tokoh agama dari Batak Protestan dan Katolik dari Ambon (Key, Flores) dan Menado juga demikian. Salah satu contohnya adalah penerimaan orang Papua pada Perda; "Manukwari Kota Injil", di Manukwari.
Dimaklumi bahwa dewasa ini di Papua Barat dan Para petinggi dari gerakan perlawanan dimasuki dan diduduki sebagai tempat empuk oleh golongan yang hanya "terbatas" kepengikutan dan pengaruhnya di tingkat masyarakat bawah. Saya memaklumi karena doktor dan sarjana yang kita miliki saat ini di Papua yang terkemuka adalah tokoh dari latar belakang pendidikan oleh lembaga Agama, menjadi hal ini menjadi demikian, padahal kita tahu bersama bahwa di negara Barat umumnya secular, bahkan menganggap urusan agama adalah masalah frivacy (pribadi). Dominasi begitu menghegemoni usaha pembebasan Papua dengan pada jajaran elit pejuang Papua sebagai akibat langsung tidak ditemukannya perumusan jalan perjuangan Papua bukan berdasarkan budaya yang hidup dan yang dianut masyarakat melainkan agama yang parsialistik bagi penghayatan para pemeluknya.
Agama Kristen dan Lembaga Gereja pada mulanya adalah, penggerak utama dari perjuangan Papua Merdeka. Indonesia sebagai penjajah melihat ini sebagai bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama (Kristen) dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama. Hasilnya semua keputusan lembaga Gereja sebagai penggerak perjuangan Papua Merdeka dapat terdeteksi dan akhirnya mudah diintervensi untuk dipatahkan. Apa yang terjadi hari ini, dan fenomena "MANUKWARI KOTA INJIL" di Papua Barat sebagai anti thesis, dari dominasi lembaga Gereja yang memiliki jaringan Internasional sebelumnya, sebagai penggerak utama perlawanan gerakan perjuangan Papua Merdeka dapat dipatahkan karena kurang begitu kokoh berpengaruh dalam adat dan budaya Papua sebagai sarana perekat semua element suku dan bangsa Papua yang memang pluralistik adanya.
Dirasakan kebutuhan sarana yang ampuh bagi tonggak dan landasan perjuangan sebagaimana dipunyai gerakan perjuangan saat ini, sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena hal itu dapat mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri memungkinkan dapat terjadi. Jika Papua dibiarkan dengan apa yang dimikili sekarang dan membiarkan untuk tidak segera membanting stir menuju haluan lain bagi usaha menempuh perjuangan. Maka bukan tidak mungkin Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Indian Amerika.
Padahal kita tahu bersama bahwa, yang terjadi negara-negara Barat Kristen sebaliknya, revolusi gerakan humanisme pada abad ke 18 di Prancis sebagai gerakan perlawanan terhadap Gereja yang dominan, telah melahirkan paham keawaman. Laicisme atau paham keawaman di Prancis telah meruntuhkan lembaga otoritas kebenaran mutlak Gereja dan Raja yang dominant adalah awal dimulainya egalitarianisme, humanisme dan leberalisme berhadapan dengan lembaga Gereja dan Raja di Barat-Eropa.
Dominasi dan hegemoni pemikiran rasional averoeisme telah membangkitkan kembali Eropa, dengan konsekoensinya pemisahan antara dua, yaitu lembaga gereja dan negara, sebagai kebenaran ganda (double thrush). Demikian akibat ilmu pengetahuan yang mempengaruhi cara pikir Barat Eropa abad dari 12 oleh dorongan pemikiran averoisme (baca Ibnu Rusyd) yang menghegemoni Eropa abad pertengahan. Kemudian menurut Gereja pemikiran rasional Ibnu Rusyd dianggap sebagai "bahaya" dan "kafir". Namun dari anggapan sebelumnya menganggap Averoisme "kafir" pada dan "bahaya", pada akhirnya menjadi dominan di Eropa pada abad pertengahan, apa yang kemudian dinamakan era renainsance melahirkan pencerahan (Aufklarung) di Barat, yang puncaknya positifisme empiris lingkaran Wina (Wina circle). Demikian kenyataan sementara di Barat melahirkan rasionalisme secular dominan.
Secularisme yang dimensinya adalah, humanisme, liberalisme dan egalitarianisme melahirkan suatu sikap masyarakat rasional di Eropa. Namun rasionalisme yang melahirkan era modernisme dengan majunya sciance dan tekhnologi di Barat puncaknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan hidup manusia menjadi piranti (persembahan baru) baru bagi masyarakat Barat adalah satu masalah tersendiri di abad ini. Dan hal itu menjadi otokritik di Barat sendiri, dewasa ini para ahli sosial melahirkan gagasan baru yaitu dengan lahirnya gagasan Pos Modernisme.
Dewasa ini di Barat, masyarakat penganut Kristen jarang mengunjungi gereja. Gereja adalah museum bagi kaum muda pada hari libur tertentu. Museum, dapat di beli imigran muslim dijadikan Mesjid. Tapi justeru sebaliknya, di Papua semangat primordialisme dikipas-kipasi orang non Papua yang biasanya mendapati diri sebagai minoritas di Indonesia dan di Papua di jadikan sebagai tempat empuk dan mencoba mengindonesiakan orang Papua lewat pendekatan agama dengan label-label aneh kurang disadari para intelektual Papua.
Malah lebih parah lagi hal ini terdapat dalam masyarakat penganut agama Islam. Berbicara tentang Islam dan Muslim, sangat lebih parah dari apa yang dipaparkan mengenai masyarakat pendukung dan pendorong "Manukwari Kota Injil". Masyarakat Muslim terdiri dari dua kelompok, pendatang dan pribumi. Yang disebut kedua kategorisasi dan sikap serta interpretasi islamnya di bagi lagi dalam berbagai kelompok antara sesat, tersesatkan, dan jahil murokkab (tidak tahu kalau dirinya tidak tahu).
Muslim Amber mayoritas, walaupun penting disadarkan bahwa perjuangan Papua menyangkut kebenaran nilai islam universal, dan juga kewajiban (fardu 'ain) bagi memahami agamanya secara adil dan benar. Islam apalagi intrepretasi nilai-nilai kebenaran universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rosul, boleh jadi hasilnya yang ada saat ini amat jauh berbeda yang diharapkan disini. Masyarakat Amber (muhajirin) sangat amat berbeda dalam banyak hal menyangkut penafsiran dan utamanya pemahaman. Hal ini banyak dipengaruhi faktor sekunder lainnya yang melahirkan sikap apatisme dalam rangka mengambil bagian gerakan perjuangan Papua bagi kalangan Amber.
Apalagi petugas sebagai alat penjajah yang didatangkan sebagai penjaga kedaulatan wilayah jajahan, bukan menjadi tema yang cocok pembahasan disini. Kelemahan umumnya Muslim Papua semakin menjadi nyata dengan adanya hegemoni penafsiran Islam tunggal dan diterimanya semua penafsiran itu adalah bahwa kita tahu Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, bahkan banyak kalangan muslim belum menyadari kalau dirinya di jajah Indonesia adalah kenyataan pahit bagi Muslim Papua yang tersesatkan.
E. KECEROBOHAN AGAMA
Injil yang di bawa oleh Otto dan Geisler dari Jerman yang selama 6 bulan mampir dan tinggal dulu di Batavia (Jakarta), sebelum melanjutkan perjalanan penginjilan ke Papua, tahun 1885. Proses penginjilan tidak langsung dimulai. Mereka bertahun-tahun menjadi tukang kayu dan tinggal di Manukwari (Benny Giay,1997). Penginjilan secara merata menjangkau daerah-daerah terpencil baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda pada tahun 1900-an sampai hari ini. Artinya Papua masih jauh dari nilai Injil yang di idealkan para tokoh Agamawan non Papua yang kemudian direspon orang Papua.
Semua orang tahu dan sebagaimana banyak laporan para ahli bahwa Islam telah lama ada Agama Islam dari abad ke 15. Kerajaan Islam hanya di daerah pesisir Selatan para penganutnya terdiri dari orang Papua sendiri yang berkulit hitam dan berambut keriting, tapi juga ada yang sudah campuran antara Arab, Ambon dan Asia (Sulawesi). Penyebar Islam di Fak-Fak sendiri sebagaimana di laporkan oleh Ali Athwa (2007) terdiri dari beberapa kalangan salah satunya adalah seorang saudagar dari Aceh. ( Ali Athwa, 2007)
Islam hanya terbatas di daerah Pesisir Selatan (Fak-Fak, Bintuni, Kokoda, Kaimana, dan Raja Ampat kepulauan). Penyebaran Islam di daerah Pesisir Selatan Barat itu saja. Kerajaan islam disana masih tunduk dan dominan ke Maluku Utara. Maluku Utara masih tunduk pada kesultanan Turki Utsmani, dan jaringannya dalam hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Asia termasuk Aceh dan Johor Malaysia. Hal ini oleh akibat perdagangan yang ramai datang dari Gujarat dan Hadramaut pada Abad 13 sampai dengan abad ke 18, yang kemudian hal itu diakhiri oleh kedatangan Spanyol-Eropa.
Jika diamati bahwa sesungguhnya pengaruh agama, kalau itu memungkinkan, maka pengaruh itu hanya dipesisir Utara antara Kepulauan Biak dan Serui, dan sebahagian kota Jayapura. Merauke dan sebahagian pegunungan (Suku Dani di Lembah Balim dan Suku Ekari, Mee, Paniai) sekitarnya Katolik, mendapatkan pemeluknya dengan pola penyebaran akulturasi dengan budaya setempat yang bercampur menjadi mitologi baru dalam proses pembentukan dewasa ini.
Mayoritas penduduk Papua sebagaimana yang nyata dan hidup dewasa ini adalah dengan dominasi nilai adat dan budaya Papua asli non agama. Bahkan para ahli agama yang melakukan penelitian Agama dan budaya orang Fasifik menunjukkan bahwa; "Agama bagi orang Papua adalah alat atau sarana bagi pencapaian prestis, bukan semata-mata karena ia menerima Yesus atau Muhammad sebagai kebenaran atau Jalan dan Hidup, melainkan lewat jalan ini orang Papua mencapai suatu tujuan lain, prestis" (Benny Giay, 1997).
Agama bagi masyarakat Fasifik dan Papua lebih khusus adalah jalan untuk prestis. Agama sebagaimana diakui Benny Giay, bagi orang Papua, bukan karena kebenaran agamanya, tapi untuk suatu tujuan lain, (prestis). Agama bukan sebagai nilai hidup yang di hayati karena kebenaran ajaran agama, tapi? Lewat agama seorang Kepala Suku, Ondoafi, Ondofolo, Kepala Kampung, dapat membawa masyarakatnya, dan masyarakat mengakui dirinya, atau disebut namanya, dengan demikian prestis seseorang diakui, entah apapun prestis itu.
Karena itu Agama sebagai juga sarana transformasi bagi dunia baru kini yang terasa gogah. Dalam keadaan kini oleh akibat hegemoni budaya penjajah dan Agama yang menyebabkan krisis nilai. Maka seorang kepala suku meneguhkan dan menempuh berbagai jalan termasuk jalan dalam kebingungan dan kebimbangan hidup kekinian. Agama bukan membawa jalan keluar (solusi) menjawab tantangan zaman yang mengalienasi warga suku oleh akibat derasnya arus agama dan nilai baru lainnya.
Hal demikian dengan sendirinya terjadi seluruh wilayah Papua suku bangsa Papua, sehingga penerapan konsep asing bukan kebutuhan. Apalagi sebagaimana diketahui bahwa penduduk terpadat dan dominant terdapat di daerah-daerah yang sulit di jangkau, terutama di daerah Pegunungan Tengah Papua lebih dominant menghayati nilai-nilai Melanesia (Papua) daripada lain. Demikian yang saya amati ada pada Kepala suku Haji Muhammad Aipon Asso saat ini, tatkala Indonesia datang menjajah Papua, hal demikian juga terjadi pada sosok Abdurrahman Kosay, Ismail Yenu, Haji Irvan Wantete, Musa Asso dan para tokoh agama Nasrani.
Demikian ini pada tahun 50-an akhir (Lembah Balim pada tahun 1954), Missionaris Amerika dari organisasi CAMA pertama kali datang. Dan pada Suku Ekari, Mee, era 30-an dan Moni, Amugme lebih belakangan lagi, pertarungan mempertahankan nilai-nilai lama di pihak orang Papua dan pemaksaan nilai-nilai dan konsepsi baru para agamawan di pihak Missionaris telah lama berlangsung sampai sekarang.
Karena itu Ukumearik Asso dari Hitigima, Lembah Balim Selatan dan Kurulu Mabel di Lembah Balim Utara, didatangi sebagai tindakan penyelamatan diri Missionaris bukan menerima agama. "Karena sebelumnya berdasarkan laporan expedisi ilmiyah pimpinan J. A. G. Kremer didaerah itu dalam perjalanannya ke Puncak Trikora dalam tahun 1920 dan 1921, dan dengan kedatangan expedisi ilmiyah Sterling dalam tahun 1926, yang melaporkan bahwa Suku Dani Kanibal, menyebabkan para missionaris seperti Benny dan Myron Bromley, karena takut, mencari perlindungan pada Kepala Suku Besar". (Ismail Asso, Kebudayaan Dan Adat Suku Dani Wamena, Papua, 2007, td).
Oleh sebab itu MRP yang dianggap sebagai lembaga refresentasi kultural seharusnya diperkuat, dengan memberi ruang untuk menerjemahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Papua asli, bukan nilai lain yang asing dan baru tapi juga tidak refresentatif, apalagi tidak membawa kemajuan perjuangan Papua Merdeka. Padahal itulah MRP seharusnya sebagai tempat apalikasi nilai-nilai Budaya dan Adat sebagai bagian dari Mentalitas perjuangan Papua Merdeka yang melekat.
Sebagaimana MRP sebagai perjuwudan adat dan budaya Papua tidak ada satupun rekomendasinya di setujui penjajah Indonesia, misalnya; rekomendasi agar bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua, dijadikan sebagai lambang kultural, seperti juga agar usulan MRP, PT Freeport ditutup dan lakukan kontrak karya ulang dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai pemilik ulayat ditampik Jakarta. Itu artinya MRP memiliki bergaining posision dan diperhitungkan Penjajah sekaligus ditakuti secara bisu alias diam. MRP walaupun juga ada wakil agama, misalnya ada yang mewakili Islam, Kristen Protestan dan Katolik, yang duduk semua di lembaga ini adalah semua orang Papua, tidak ada yang duduk di lembaga ini non etnis Papua sebagai lembaga suara hati rakyat Papua sesungguhnya.
Hal ini sebaliknya dengan, Aceh Darussalam sebagai kota "Serambi Mekkah", bukan sebagai hal baru. Adat dan Budaya Aceh sangat includ dengan nilai islam. Itulah budaya Aceh. Nagri Aceh Darussalam (NAD) telah menyatu dan islamlah budayanya. Maka ketika kemudian pelaksanaan "Syariat Islam" di tuntut Daud Beureuh kepada Soekarno, sistem thoghut ditolak para ulama Aceh sejak dini pendirian negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar