Minggu, 03 Februari 2008

KITA DAN KAMI

Profesor Dr. Fuad Hasan (pernah menjadi menteri pendidikan era Soeharto), adalah Dekan Fakultas Psikologi UI, dan mengasuh mata kuliah filsafat psikologi. Dalam karyanya yang berjudul "KITA dan KAMI", perspektif filsafat psikologi, pernah menulis buku yang saya sendiri tidak pernah membacanya, tapi membaca resensi yang dimuat dalam kompas (tangal berapa saya membaca, saya tidak ingat),tapi dalam resensinya itu ada yang menarik sekaligus mendalam distingsi kalaimat serta makna yang dibawakannya yaitu makna tentang filsafat psikologi, tentang ungkapan antara kata : "KITA dan KAMI".

Kebanyakan kita apalagi, orang Papua, teman-teman saya yang memang bukan orang Melayu Asia, bahasa Indonesia-nya masih belopotan adalah wajar. Tapi yang terpenting penulis mau mengingatkan disini adalah perbedaan makna dua kata yang mau memaksudkannya, apalagi itu diucapkan oleh kita sebagai pengguna bahasa, dan bagaimana penempatan yang tepat dan benar dalam berbahasa adalah makna terjauh yang harus dipahami.

Sebagaimana terlihat dari judulnya, KAMI dan KITA, sasaran pesan penulis dalam konteks kewargaan Indonesia, yang menurutnya bahwa masyarakat pluralistik Indonesia seringkali lupa, atau mungkin, selalu menjadi rentan, malah dapat terjerumus pada dichotomisasi. Dalam membahasakan si pembicara dalam masyarakat dapat menunjukkan dari bahasa dan ada hubungannya dengan psikologi penutur. Menurutnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama, maka ditemukannya dan yang nyata ada dalam NKRI adalah KITA, yang seharusnya demikian, yaitu meliput semua, tapi, malah KAMI, yang itu menyebabkan sektarianisme yang berakibat saling mencampakkan antara sesama warga NKRI.

Oleh sebab itu Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyatukan berbagai kemajemukan, yaitu seorang yang berucap KITA, yaitu yang mau mengakui semua bukan KAMI yaitu yang hanya dirinya si pengucap dan kelompoknya atau kawan-kawannya saja. Kita sesungguhnya tidak harus berbeda tapi dalam satu, bukan saling menafikan juga berarti bukan penyeragaman. Pluralitas adalah alamiah, demikian pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam karyanya itu.

Kata yang pertama (KITA) mau dimaksudkan, melingkupi, semua, tanpa memandang sebagai orang lain. Lawan bicara tidak dicampakkan sebagai orang lain karena kediriaannya. Berbeda dengan yang pertama, kata kedua (KAMI), membatasi diri, dengan mengeluarkan lawan bicara sebagai lain, dia dicampakkan sebagai bukan saya dan teman-teman saya. Kata 'KAMI', berarti; psikologi si-penutur menunjukkan tidak melingkup. 'KAMI', berarti; mempribadi, lawan bicara dicampakkan sebagai orang lain, bukan teman saya, atau bukan juga 'kami' .

Kita hendaknya, apalagi dalam kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa seperti sekarang ini harus mampu membedakan untuk tidak membeda-bedakan secara dikhotomis sebagai "Kami" dan "Kita". Sebaiknya dimengerti perbedaan dua kata antara "kita dan kami" yang dapat saja berdampak pada sikap ekslusif. Misalnya dengan mengeluarkan teman bicara bukan sebagai bagian dari si penutur kata 'kami' berimplikasi sesungguhnya bahwa kita lagi retak selalu.

Kata 'kita' mau dimaksudkan seseorang penutur, mau merangkul/merangkum semua tanpa memandang lain, bukan sebagai lain tetapi juga sebagai kita, sama dengan saya dan teman-teman semua. Yang lain tidak dinafikan sebagai yang lain. Kemampuan berbahasa baik dan benar dan dimengerti orang ada hubungannya dengan logika (nalar berfikir, berucap dan menulis), misalnya 'kita dan kami' sebagai pembedaan dari pluralitas keberadaan masyarakat suatu bangsa. Semua hendaknya harus tahu, bukan beda artinya saja, tapi juga implikasi arti dari antara dua kata (kita dan kami). Banyak diantara kita, komunitas papua belum dapat membedakan perbedaan kata antara "kita" dan "Kami", yang sesungguhnya sangat jauh berbeda pengertian dua kata yang memang mirip, dianggapnya sama dan satu arti.

Tidak ada komentar: