A. Sekilas Budaya Lembah Palim Selatan
1. Geografis, Iklim dan Penduduk
Propinsi Papua adalah salah satu propinsi Indonesia dengan luas wilayah 416.000 km2 atau tiga kali setengah Pulau Jawa. Propinsi yang amat luas ini hanya dihuni 2.013.620 juta jiwa penduduk. Dengan tingkat kepadatan penduduk terjarang di Indonesia , yaitu kurang lebih 4 jiwa, perkilo meter persegi. (BPS, Propinsi Papua, 2007).[1]
Kabupaten Jayawi Jaya berpenduduk 400130 jiwa dengan tingkat kepadatan 8,20 jiwa perkilo meter persegi. Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20 sampai 50.20' Lintang Selatan serta 1370.19' sampai 141 Bujur Timur. Batas-batas Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, Barat dengan Kabupaten Paniai, Selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua New Guinea. (BPS, Propinsi Papua, 2007).[2]
Kabupaten Jayawi Jaya terletak di Pegunungan Tengah Papua. Ibukota Kabupaten Jayawi Jaya adalah Wamena. Kini Kabupaten Jawi Jaya sudah dimekarkan menjadi empat Kabupaten baru yakni : Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Punjak Jaya, dan Kabupaten Pegunungan Bintang.
Jayawi Jaya beriklim tropic basah, hal ini dipengaruhi oleh letak ketinggian di permukaan laut dengan temperatur udara bervariasi antara 80-200Celcius dengan suhu rata-rata 17,50Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun tingkat kelembaban diatas 80%, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.[3]
Topografi Kabupaten Jayawi Jaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Diantara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju misalnya Pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595m dan Puncak Mandala 4760m. Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan Lumpur, tanah liat dan lempung.[4]
Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Jayawi Jaya adalah Suku Dani, Kimyal dan Suku Jali. Selain penduduk asli, terdapat juga penduduk yang berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia yang berada di Kabupaten Jayawi Jaya bekerja sebagai pegawai negeri, ABRI, Pengusaha, pedagang, transmigrasi dan sebagainya.
2. Tempat Tinggal dan Mata Pencaharian
Rumah bertempat tinggal Suku Dani di sekitar pinggir sungai Palim dan di lereng-lereng bukit Lembah Besar Palim/Balim. Pemukiman penduduk biasanya di sekitar anak sungai dari berbagai arah yang bermuara ke Sungai besar Balim. Pekarangan rumah tempat tinggal Suku Dani di Lembah Baliem Selatan biasa dinamakan Osilimo, yang terdiri dari Honai, Eweai dan Leseai. Osili/Osilimo terdiri dari beberapa unit rumah, Lese, (berbentuk segi empat panjang, paling sedikit 2 sampai 5 rumah lese), Honai, (rumah khusus laki-laki) dan Eweai (rumah tempat tidur khusus perempuan).
Osili berdiam beberapa kerabat kepala keluarga. Osili terdiri dari tiga sampai empat Lese dan satu Honai Adat (Honai adat biasanya tersimpan benda-benda keramat suku) . Ada juga hanya dua Lese dan satu Honai. Umumnya rumah tempat tinggal di Balim dikelilingi oleh pagar dari batu atau dari kayu. Dalam satu Lese kadang-kadang bisa tinggal dua kelapa kelurga.
Bentuk rumah Honai dan Eweai bentuknya bulat tanpa ada tempilasi udara, untuk menghindari udara yang sangat dingin. Pada sore hari sampai menjelang tidur malam didalam honay kaum pria buat api agar tetap hangat. Didalam Honay ada para-para untuk tempat tidur kaum pria bersama. Tidak seperti daerah lain, umumnya ruang tidur kaum laki-laki Balim dan wanita harus terpisah. Karena itu adakalanya Honai pria Balim tersimpan benda-benda keramat seperti, hareken, tugi mugu, yang biasa di simpan dalam lemari (kakok), yang dalam tradisi pantangan dimasuki kaum wanita Balim.
Honai biasanya juga digunakan rapat-rapat kaum pria dalam berbagai masalah terutama membicarakan strategi perang suku antar konfederasi (perang suku kini sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia ). Berbeda dengan Honai, rumah dengan bentuk sama tapi ukuran agak kecil khusus kaum wanita Balim namanya Eweai. Disamping itu ada rumah tempat berkumpul keluarga yaitu Lesema.
Lesema atau Lese bentuknya empat persegi panjang, kadangkala bersambung langsung dengan rumah khusus wanita Balim (Eweai). Bagian sebelahnya terdapat kandang babi. Lesema biasanya difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga, menerima tamu keluarga dan ruang makan bersama. Didalam rumah Honai dan Eweai pada sore menjelang malam selalu dibuat api agar tetap hangat.
Orang Wamena kini sudah banyak yang mengenakan pakaian, tapi pada masa lalu busana mereka adalah Holim bagi pria dan Yokal dan Sili bagi kaum wanita Palim. Holim biasa orang namakan juga dengan sebutan Koteka. Koteka dibuat dari jenis labu yang dikeringkan dan dibolongi sebagai alat penutup aurat pria. Yokal adalah anyaman dari kulit kayu yang dipintal kaum wanita.
Yokal, biasanya dikenakan bagi wanita yang sudah menikah, sedangkan bagi gadis-gadis Balim pakaian roknya disebut Kemsili. Ciri seorang wanita Balim Selatan sudah menikah atau belum ditentukan dari busan penutup aurat. Jika sudah menikah maka wanita Balim biasanya mengenakan Yokal, tapi kalau masih gadis mengenakan Sili/Kemsili.
Orang Palim pada umumnya bermata pencaharian sehari-hari bercocok tanam atau petani ladang. Hal ini dimungkinkan karena alamnya cukup subur. Usaha pertanian subsistem di usahakan secara tardisional untuk konsumsi mereka sehari-hari, sehingga tidak menolong banyak untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kebun-kebun mereka yang tidak hanya dibuat di Lembah Balim melainkan juga di daerah-daerah yang tinggi di lereng-lereng gunung yang curam, terurus baik.[5]
Tanaman utama mereka adalah Ubi jalar (Hopuru). Mereka juga menanam Keladi (Hom), Tebu (El) dan Pisang (Haki), dan mereka juga menanam berbagai jenis sayur mayur secara tumpang sari, misalnya; Jagung, Kedele, Buncis, Kol, Bayam dan lain-lain, sebagai tanaman baru yang diperkenalkan oleh para pendatang.
Menurut Koentjaraningrat (1993), tanaman yang terpenting adalah Ubi atau Hom (Discorea esculania), tebu atau El (Sacharum officinarum), dan sebanyak kurang lebih 17 jenis tanaman lain, berikut varietas-varietasnya. Mereka mengenal sebanyak 50 varietas ubi (Versteegh, 1961), yang masing-masing dipetik pada waktu-waktu berlainan sepanjang tahun. Pengangkutan hasil kebun kerumah dilakukan oleh para wanita.[6]
Orang Dani juga mengenal sedikit irigasi, dan kebun-kebun mereka seringkali tampak dikelilingi dan dipotong-potong oleh parit-parit kecil, yang mereka buat dengan menggunakan kapak, tongkat tugal, atau dengan mengeruk tanahnya dengan tangan saja.[7]
Cara bercocok tanam orang Balim adalah berpindah-pindah. Tanah digarap selama beberapa musim tanam, dan apabila tanah itu telah ‘lelah’ karena kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan. Kemudian di buka sebidang tanah yang baru. Tanah yang telah ditinggalkan itu kemudian memperoleh kesempatanuntuk menjadi subur kembali.[8]
Disamping bercocok tanam berpindah-pindah (secara teratur), orang Dani juga (banyak) memelihara babi. Binatang ini dapat dimiliki secara pribadi oleh pria maupun Wanita,[9] tetapi yang biasanya memelihara (menggembala) babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu senja (menjelang malam) babi diberi makan ubi, tetapi sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa atau dikebun untuk mencari makannya sendiri. Babi jantan biasanya di kebiri agar tumbuh menjadi besar, dan hanya sedikit saja yang dipelihara untuk pejantan (sic).[10]
Orang Dani umumnya mengkonsumsi daging babi pada waktu mengadakan pesta, seperti pesta berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah, dan pada pesta-pesta babi. Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang berharga untuk leperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial , dan dapat dipakai untuk membalas jasa, meredakan permusuhan (dalam perang suku), tetapi juga sebagai unsur (penting) mas kawin (dalam adat perkawinan).[11]
Pada musim panen ubi, pria Balim Selatan mengurus secara baik kebun kelapa hutan mereka yang disebut Kain. Kain adalah tumbuhan sejenis pohon pandan yang hanya tumbuh di pegunungan diatas ketinggian 3000-4000 dpl. Jenis pohon ini sama halnya dengan pohon Sap/Buah Merah, Wamena,[12] diurus baik oleh kaum pria Balim.
Disamping Kain, tanaman utama dalam kebun orang Balim Selatan adalah Weramo dan Tuke. Weramo biasanya tumbuh liar di hutan tapi tetap dirawat dengan batas-batas kepemilikan secara jelas dan tegas bagi penduduk. Demikian juga dengan Tuke, yang lokasi tumbuhnya dekat dibawah salju abadi diatas ketinggian 4000 kaki dpl.
Pria Balim selatan dalam musim kemarau juga sering berburu sebagai pekerjaan sampingan. Biasanya orang Balim Selatan berburu berbagai jenis burung dan kukus, seperti kus-kus pohon, kangguru pohon, burung kasuari dan lain-lain.
Pada masa kini banyak juga orang Palim yang bekerja berbagai jawatan profesi. UU Otonomi Khusus No 21 tahun 1999, memungkinkan orang Palim/Balim bekerja di berbagai jawatan profesi misalnya pegawai negeri, TNI/POLRI, guru dan lain-lain.
3. Nama dan Bahasa
Kris Manning dan Ross Garnaut (1979:9) bahwa daerah pedalaman Papua mulai didiami manusia lebih dari pada 25.00 tahun yang lalu. Penghuni Lembah Baliem yang menurut kata orang di zaman dahulu kala merupakan danau yang sangat luas.[13]
Perkampungan yang pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak explorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Expedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 ( Netherlands ), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem.[14]
Memang, sebelum kedatangan orang, Suku Dani Balim dari daerah-daerah lain sejak tahun 1909 sudah pernah berhubungan dengan orang-orang dari dunia luar, yaitu dengan kedatangan expedisi militer Belanda kedarah Hulu sungai Lorentz. Orang Dani dari Lemabah Swart bahkan telah berhubungan lebih intensif dengan adanya expedisi ilmiyah pimpinan J. A. G. Kremer didaerah itu dalam perjalanannya ke Puncak Trikora dalam tahun 1920 dan 1921, dan dengan kedatangan expedisi ilmiyah Sterling dalam tahun 1926. Adapun penduduk Lembah Besar Balim baru melihat orang asing ketika expedisi ilmiah R. Archbold melintasi lembah itu dari arah utara ke arah selatan, ditempat Wamena sekarang.[15]
Richard Archold anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak pada tahun 1935 dengan penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Pengaruh Eropa dibawa ke para Missionaris yang membangun pusat Missi Protestan di Hetegima sekitar tahun 1957. Kemudian setelah Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.[16]
Orang Jayawijaya di Lembah Balim dan sekitarnya tidak menyebut dirinya sebagai Suku Dani. Nama ‘Dani’ atau ‘Ndani’ sendiri tidak mereka sukai, baik di sebelah barat maupun di sebelah timur kabupaten.[17]
Penduduk Jayawi Jaya sebagai satu kesatuan manusia, menyebut nama asal dirinya dengan nama perkampungannya atau kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan-perkampungan tempat tinggalnya. Orang Balim tidak mengindetitaskan diri sebagai suku etnis Ndani/Dani, tetapi menyebut diri ‘nit apuni Palim Meke’/kami orang Balim/Palim yang mengandung makna ’manusia sejati dan asli’.[18]
Penduduk Lembah Besar Balim serta dilembah-lembah lain disekitarnya dalam laporan-laporan atau tulisan-tulisan yang terbit sebelum perang dunia ke II kadang-kadang dikenal dengan nama Pesegem, Timorini, Morip, Uringup dan lain-lain.[19]
Beberapa orang yang berpandangan lebih luas menyebut dirinya “Nit Apuni Palima Meke”, yang artinya ‘kami manuai Balim’. Adapun nama sekarang yang lazim di pakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk Lembah Besar Balim adalah Dani, yang juga merupakan nama sebuah klen. Lembah-lembah yang berada dibagian barat, Dani juga merupakan dari nama bahasa mereka. Demikian juga orang Moni menyebut Ndani atau Lani (sic).[20]
Biasanya Suku Dani akan menyebut asal dirinya dari nama-nama sungai yang mengaliri disekitar rumah tempat tinggalnya, misalnya : Palima/Balima berasal dari nama sungai Palim/Balim, Pelewaga berasal dari nama sungai Peleima, Uelesi/Walesi dari nama sungai Uweima, Hepuba berasal dari nama sungai Hepuima dan Hitigima dari nama hitigima.
H. Myron Bromley (1994), seorang Missinaris Kristen juga ahli bahasa yang telah lama melakukan penelitian di Papua sejak bulan April 1957, menyatakan bahwa: “Propinsi Irian Jaya terkaya akan kebudayaan dan bahasa yang berbeda karena memiliki kurang lebih 250 bahasa, yang merupakan jumlah yang lebih dari sepertiga dari bahasa di Indonesia”.[21]
Bahasa daerah di Kabupaten Jayawi Jaya cukup banyak penuturnya dan dapat digolongkan menjadi tiga rumpun bahasa, sebagai berikut:
a. Rumpun bahasa Ok (ada juga di Papua Nugini) bahasa Ngalum di Oksibil dan Kiwirok sekitarnya, dengan kira-kira 10.000 penutur.
b. Rumpun bahasa Mek ( belum jelas bagaimana bahasa tersebut)
c. Rumpun bahasa Balim
Sub-Rumpun Baliem Pusat dalam penggolongan rumpun bahasa yakni :
1). Sub Rumpun Yali-Ngalik.
2). Sub-Rumpun Baliem Pusat
3). Sub Rumpun Wano[22]
Perbedaan fonemik dari logat-logat bahasa Dani ini diteliti, H.M.Bromley. Berdasarkan analisanya itu (1961) ada sembilan buah logat, yaitu :
a). Logat Dani Induk didaerah didaerah Lembah Baliem Hulu.
b). Logat Dani Bagian Barat di Lembah Ilaga, Sinak, Swart dan Hablifuri Hulu.
c). Logat Dani Wolo di sekitar sungai Wolo di lereng Gunung Piramid.
d). Logat Dani Kimbim disekitar sungai Kimbim dan Wosi.
e). Logat Dani Ibele sekitar sungai Bele.
f). Logat Dani Aikhe sekitar sungai Aikhe.
g). Logat Dani dari daerah Wamena dan sekitar sungai Uwe hingga kira-kira sungui Mugi.
h). Logat Dani Jurang didaerah yang menyempit dilembah sungai Baliem,tempat sungai itu terjun kedalam sungai Vriendschap.
i). Logat Dani Hablifuri di daerah Hablifuri [23]
Dialek Lembah Agung Selatan, dari sebelah Selatan Wamena sampai Lembah Samenage di Pasema dan Lembah Wet, Walesi, Walaik, Hetigima, Hepuba, Maima, Seima, Kurima, Tangma, Heageima, kira-kira 20.000 penutur.[24]
4. Organisasi Sosial dan Kepemimpinan
Orang Balim harus hidup dalam relasi serasi dengan sesama, alam sekitar dan leluhur. Manusia dengan keseluruhan kosmosnya saling berintegrasi, saling menghidupi. Manusia dengan alam sekitarnya dan denga leluhur dipandang sebagai satu keseluruhan yang saling menghidupi dan bersifat rohani serta jasmani. Manusia merupakan bagian dari alam, saudara semua makhluk sehingga ia dapat menemukan tempat yang sesungguhnya didunianya. Dengan demikian hidupnya baru berarti jika ia berada dengan sesama leluhurnya dan alam sekitar.[25]
Sistem relasi antara sesama manusia berfungsi menuruti dua prinsip utama, yakni :
1). Prinsip garis keturunan secara biologis atau geneologis;
2). Menurut prinsip organisasi sosial
Namun relasi dapat diperluas secara tak terbatas sampai ada relasi suku atau belahan/paro/moiety/suku. Hal ini di sebabkan karena setiap anggota masyarakat menyatakan keanggotaannya sesuai pengalaman kenyataan hidup dimana ia menjadi anggota suatu kelmpok.[26]
Masyarakat Baliem Selatan dari masing-masing perkampungan adalah suatu gugusan desa-desa atau kesatuan wilayah dengan pola kekerabatan menjadi terikat satu sama lain dan membedakan diri satu sama lain berdasarkan masing-masing gugusan kelompok tempat tinggalnya. Masing-masing kelompok terdiri dari dua moety (belahan) yang diatur dalam pola perkawinan secara teratur.
Dua belahan moety adalah memungkinkan kedua bela pihak saling melindungi, menghidupi dan berkembang dalam pola perkawinan yang teratur bersifat patriarki. Hal ini diungkapkan dalam ungkapan sehari-hari dalam sapaan diantara mereka seperti : "Nahgosa (mamaku), neak (anakku)". Ungkapan demikian ini diucapkan sesama lelaki yang artinya mamaku, anakku yang adalah sapaan umum terhadap perempuan. Makna ungkapan seperti ini mengandaikan; tanpamu aku tiada, dan akupun tiada tanpamu atau tanpaku engkau tiada. Engkau penyebab keberadaanku. Suatu pola hubungan kekerabatan yang erat dan saling menghidupi, bagi keberlangsungan etnisitas mereka..[27]
Demikian pula lambang lingkaran (termasuk honai yang bulat) dan bahkan pembentukan konsensus maupun pernyataan konsensus yang dinyatakan dalam posisi duduk atau menari dalam bentuk lingkaran, menyatakan keinginan mempertahankan kebersamaan sosial mereka, dengan contoh menjelaskan sikap kekeluargaan dan kebersamaan serta kesetiakawanan sosial yang sangat mereka junjung tinggi.
Mungkin kesetiakawanan soaial ini merupakan hasil rekayasa sosial beberapa ribu tahun yang lalu, waktu prajurit Wita yang hanya berpanah dan bertombak serta hidup dari perang, bertemu dengan manusia petani Waya di Maima. Pertemuan ini merupakan awal dari suatu hidup sosial bari Wita-Waya sebagai dua belahan/moiety dengan pelarangan pernikahan intern belahan/moiety dari apa yang kini menyebut diri suku atau orang Balim…(sic).[28]
Relasi belahan/Moiety disebut Wita dan Waya serta merupakan relasi yang cukup luas. Klen suku dalam masyarakat Balim terbagi dalam kedua belahan Wita-Waya tersebut. Misalnya belahan Wita terdiri dari suku Asso, Lagowan, Kosay, Wuka, Lani, Wetipo, Marian, Mulait, Kuresi. Belahan Waya terdiri dari suku: Lokobal, Matuan , Heiman, Huby, Hilapok, Wetapo, Sorabut, Hisage, Doga, Hurukalek.
Relasi antara kedua belahan lebih tampak dalam perkawinan eksogami dan larangan perkawinan intern klen dari belahan sama. Relasi belahan tampak juga dalam penyelenggaraan ritual dan pesta ewe ako/ mawe/ pesta babi sebagai punjak perayaan dalam kehidupan orang Balim.[29]
4.1. Keluarga Luas Verilokal
Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat orang Dani adalah suatu kelompok virilokal. Karena poligini banyak dilakukan, (Kepala suku Ukumearik Asso pernah memperisteri 50 wanita dalam hidupnya) dan karena (umumnya) seorang pria sering beristerikan 4-5 orang (wanita), maka keluarga-keluarga luas orang Dani tak jarang benar-benar ‘luas’.[30]
4.2. Klen Kecil
Dalam tipologi Koentjaraningrat (1994), yang dimaksud dengan klen kecil adalah kelompok kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga luas adalah kelompok yang menganggap dirinya seketurunan seorang nenek moyang yang jaraknya kurang lebih 4-5 angkatan keatas. Nama nenek moyang itu biasanya masih diingat, dan warga kelompok biasanya masih mengenal atau mengetahui semua keturunan nenek moyang itu, baik yang hidup maupun yang sidah meninggal.
Orang Dani menyebut kelompok kekerabatan seperti itu Nyukuloak, (yang arti sebenarnya adalah ‘kepala’, ‘hulu, ‘asal’), dan istilah ilmiahnya adalah ‘klen kecil’. Suatu kelompok seperti itu biasanya tersebar di dalam beberapa perkampungan, tetapi terbatas pada suatu daerah tertentu.[31] Dalam tradisi Suku Dani Balim, agaknya kelompok kekerabatan klan ini yang terpenting dan paling utama.
4.3. Klen Besar
Kelompok kerabat yang lebih besar daripada klen kecil adalah klen besar (Nyukuluak). Nenek moyang mereka sudah tidak dikenal lagi, karena jaraknya sudah terlampau jauh. Para warga kelompok kekerabatan klen besar hanya mengetahui bahwa mereka adalah warga Nyukuluak tertentu, karena adat dan kewargaannya juga diperolehnya secara patrilineal.
Jumlah warga klen besar orang Dani kadang-kadang beratus-ratus, bahkan beberapa ribu jiwa, yang tinggal tersebar di daerah yang lebh luas daripada daerah klen kecil, sehingga para warganya seringkali sudah tidak saling mengenal. Menurut laporan H. L. Peters (1965), klen-klen orang Dani tidak menampakkan ciri-ciri totemisme, yaitu adat untuk berjatidiri dengan lambang binatang atau tumbuh-tumbuhan, walaupun dalam laporan Wirz mengenai penduduk Lembah Swart adat itu ada.[32]
Namun sesungguhnya totemisme itu tetap ada di Lembah Balim Selatan. Dalam clan, adat bahwa marga tertentu dengan lambang hewan atau burung dan tumbuhan tertentu sebagai bagian yang tak terpisahkan, bahkan mereka menganggap bahwa hewan tertentu adalah seketurunan, karena itu pantangan memakannya atau sekedar membunuh.
4.4. Paroh Masyarakat
Akhirnya perlu kita sebutkan disini suatu bentuk kelompok kekerabatan orang Dani yang lebih besar lagi, yaitu kesatuan sosial yang terdiri dari gabungan berbagai clan, yang dalam bahasa Dani disebut Nyukuluak Ewe, yaitu Wita dan Waya (sic).
Dalam perhitungan Koentjaraningrat (1994), diseluruh Lembah Balim ada dari dua Ewe Nyukuluak Wita dan Waya. Dalam Wita 23 dan Waya 26 buah klen. Namun perhitungan ini belum menunjukkan keseluruhan penduduk Lembah Balim yang kenyataannnya sangat banyak dalam keanggotaan Nyukuluak Ewe, sehingga jumlahnya lebih banyak dari perhitungan ini.
Orang Balim cenderung menganggap sesama mereka memiliki derajat dan martabat yang sama. Pandangan demikian mempengaruhi penilaiannya terhadap orang yang datang dari luar kelompok mereka. Orang Balim tidak membuat klasifikasi ataupun stratifikasi sosial ataupun menjadikan stratifikasi pemimpin mereka.[33]
Budaya Orang Dani, Baliem Selatan adalah suatu budaya yang berorientasi pada masa lalu. Orang Dani, Baliem Selatan senantiasa, dan selalu ingin mewujudkan masa lalu nenek moyang pada masa kekiniannya adalah suatu usaha senantiasa dan terus-menerus tanpa henti.[34]
Manusia Baliem Selatan memandang dirinya adalah manusia sejati (superior). Masing-masing klen menganggap dirinyalah yang asli tanpa memandang selainnya inferior (rendah). Karena itu Orang Dani Baliem Selatan tidak ada sikap ketundukan ataupun membudak pada orang lain selain dirinya.[35]
Dr. H.L. Peters yang menulis disertasinya mengenai kebudayaan Balim berjudul “Some observation of the social and religious life of a Dani-Group” (1975) dalam salah satu kunjungan selama enam bulan di Balim, berkesan bahwa “biasanya orang Balim mengurus hidupnya sendiri dengan baik dalam bermacam-macam situasi. Mereka menyelenggarakan pesta-pesta raya dan menjamu ratusan tamu secara tertib. Penampilan asli orang Balim pada umumnya menunjukkan bahwa mereka tahu harga diri. Dalam cara hidup mereka tidak tampak sikap membudak atau menundukkan kepala kepada orang lain atau siapapun juga. Mereka lebih sering mengambil inisiatif sendiri dan tidak mengenal struktur-struktur yang ditata rapi dan harus menantikan perintah dari atas”.[36]
Seorang Kepala Suku adalah orang yang berani dalam memimpin pertempuran perang suku dan mampu memimpin warganya dalam keadaan sulit.Sehingga kepemimpinannya adalah hasil prestasi sendiri. Seorang kepala suku sebagai pemimpin bukan karena warisan. Karena itu seorang Pemimpin Suku Dani Baliem Selatan, sebagai kepala suku, orang besar adalah jika terdapat hal-hal berikut ini untuk dapat menaikkan bintang nama kepemimpinannya sebagai pemimpin adalah : Pengakuan akan keberaniannya memimpin perang suku, berani mengambil keputusan dalam keadaan sulit, kualitas pembicaraan yang baik/kepandaian berdiplomasi, bersikap lemah lembut kepada semua orang besar kecil, dan selalu tahu segala soal.[37]
Tapi keberanian berperang dan ketepatan mengambil keputusan dalam kesulitan, adalah kepribadian paripurna (par exelence) seorang pemimpin dalam tipologi masyarakat suku Dani Baliem Selatan. Seorang Pemimpin Jayawijaya, Suku Dani Baliem Selatan adalah seseorang yang memimpin pesta adat di Honay dan memiliki hubungan yang luas dimasyarakat.
Seorang pemimpin Jayawijaya adalah orang yang tidak memandang orang lain rendah. Tapi menghormati semua orang tanpa memadang usia dan jenis kelamin, suku, marga dan menerima tamu dengan layak. Pemimpin Suku Dani adalah seseorang yang mengaku dirinya kepu, (orang biasa) dan dengan warga suku lainnya tidak merendahkan. Tidak membanggakan dirinya sebagai orang besar. Tapi dapat bergaul baik dengan semua lapisan masyarakat. Dapat dimintakan jasanya dan dikunjungi waktu kapan saja. Memberikan miliknya yang berharga dan bernilai dimasyarakat.[38]
Hampir semua pemimpin Balim menghendaki agar anak-anak mereka kelak menjadi pemimpin/Kainc. Anak-anak kainc lebih berpeluang menjadi kainc, sebab sejak kecil mereka sudah lebih awal mempelajari dan terlibat dalam upacara adat yang dipimpin para kainc, yang meliputi transaksi politik, ekonomi dan sosial budaya yang dilakukan orang tua mereka. [39]
Dalam masyarakat orang Dani seorang pemimpin adalah orang yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang sangat besar, sehingga ia dijadikan teladan oleh sebahagian besar warga masyarakatnya. Pergantian pemimpin tidak dilakukan berdsarkan adat istiadat resmi, atau pernyataan-pernyataan secara resmi…[40]
Pengangkatan kainc terjadi bukan karena warisan, tetapi karena (berdasarkan) keterampilan dan kelebihan serta prestasi yang mesti diekspresikan dalam bentuk keberanian berperang sebagai pemimpin pasukan, serta banyaknya membunuh musuh (dalam perang suku antar konfederasi). Faktor ini juga turut memberi kepercayaan atau menaikkan’bintangnya’, misalnya Ukumearik Asso dari Hetigima yang bukan keturunan kainc, tetapi menjadi kepala suku besar (konfederasi) karena prestasi yang dicapai selama mengembangkan kepemimpinan ia masih remaja hingga dewasa ia senantiasa berani tampil di medan perang. [41]
Tidak ada syarat-syarat resmi untuk menjadi pemimpin, maka segala hal yang dapat menyebabkan orang untuk memperoleh pengaruh yang luas dapat kita masukkan kedalam syarat-syarat untuk menjadi tokoh kainc dalam masyarakat Dani. Oleh karena itu kepandaiaan bercocok tanam, berburu, berbicara, berdiplomasi, sifat ramah, murah hati, dan kekuatan fisik serta keberaniaan untuk berperang, dapat disebut sebagai syarat-syarat untuk menjadi pemimpin.[42]
Syarat-syarat lain yang diberikan oleh Stefanus Ngadimin (1993 : 81), bahwa : “Kainc dapat berarti kuat, cakap, dermawan, pemberani, terhormat, kaya, baik hati, berwibawa, ataupun berpengaruh. Kainc diakui setelah ia dapat menunjukkan bukti-bukti kelebihan dan kemampuannya yang dapat dilihat dan dirasakan oleh suatu kekuatan yang memaksakan kehendak terhadap warga masyarakatnya”.[43]
5. Religi dan Perubahan Budaya
Sejarah Kebudayaan Adat Suku Dani Baliem Selatan, adalah salah satu aspek budaya dari budaya-budaya Papua. Namun sejak awal penting disampaikan bahwa konsepsi religi Balim Selatan khususnya dan Jayawi Jaya umumnya bersifat tertutup dan rahasia bagi orang lain.
Tidak ada pretensi bahwa; Religi Suku Dani, Palim Selatan, adalah satu-satunya pandangan dari religi-religi dalam kebudayaaan Palim, Jayawi Jaya, kecuali hanya salah satunya. Sebab Bangsa Papua yang memiliki hampir 240, diantara 558 bahasa diseluruh Indonesia, (H. Myron Bromley; 1994),[44] tentu memiliki keragaman suku dan budaya yang antara satu dan lainnya bisa berbeda. Karena setiap pandangan manusia selalu dan selamanya pandangan partial, tidak comprehenshif sekaligus. Hal ini menyangkut unsur subyektivitas, tempat dan waktu, yang selalu dan selamanya relatif. Berarti Sejarah religi Suku Dani Palim Selatan yang diangkat disini mengandaikan relativitas pandangan manusia.
Namun semua ahli yang meneliti tentang agama suku-suku di Fasifik dan Papua (Jan Buelars; 1987), menunjukkan bahwa keseluruhan suku bangsa Papua dalam mithologi keagamaannya menganggap mereka berasal dari dalam Goa . Demikian juga konsepsi Suku Dani, Palim Selatan bahwa manusia pertama muncul dari daerah Maima. Sebahagian menyebut manusia pertama keluar dari lubang di daerah Seima, ada juga yang menyebut di Wesagaput dan Orang Kurulu menyebut dari Goa di daerahnya. Masing-masing sub-suku juga menganggap bahwa daerahnyalah yang merupakan tempat asal usul manusia pertama muncul di Lembah Balim.[45]
Menurut Suku Dani Lembah Palim Selatan, asal mula kejadian manusia berasal dari Seima, bagi orang Kurima, dari Maima bagi orang yang daerahnya dari Maima, Hitigima, Hepuba, Megapura (Sinata), Walesi, dan Walaik. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa tempat itu adalah Wesagaput, dekat muara sungai Uwe dan Balim, demikian umumnya lokasi dikenal orang-orang Suku Dani Palim Selatan.[46]
Perbedaan hanya dalam soal tempat. Karena masing-masing suku mengakui asal daerahnyalah asal mula manusia muncul. Kecuali perbedaan terletak pada lokasi, moeity (marga), clan, konfederasi dan aliansi perang suku.
H. M. Bromley (1993), yang mengutip dari hasil pengamatan Robert. N. Bella, menunjukkan bahwa, Religi dibedakan dari agama. Religi menekankan bentuk hubungan dengan obyek diluar diri manusia. Obyek bersifat polyteis (satu Ilahi Tertinggi diatas ilahi lain), bersifat lokal dan tidak berdasarkan wahyu tertulis (intuisi). Sebaliknya agama lebih ditekankan pada bentuk hubungan satu Ilahi Tertinggi (moneteisme), bersifat universal dan berdasarkan wahyu tertulis serta teruji dalam sejarah yang panjang. Pandangan religi orang Balim diarahkan ke masa lampau sampai pada zaman pra existensi dunia dan manusia.[47]
Dengan demikian religi menurut konsep orang Balim adalah religi ketergantungan dengan obyek diluar dirinya (yang Kuasa, Yang Ilahi, Yang Kudus, Realitas Mutlak) dan juga relasi denga masyarakat dan linkungannya (Myron Bromley, 1991:3). [48]
a). Mithology Asal Mula Kejadian Manusia
Manusia awal muncul dimuara sungai antara Palim dan Eagec-ima. Nama tempat itu adalah Wesapot (dekat muara sempit sungai Palim/arus air deras). Tempat itu kini ditutupi oleh sungai Eagec-Ima (Eagenyma). “Wesapot”, yang artinya; "dibelakang keramat", "rahasia”, dari ada. Terdiri dari dua kata yaitu : Wesa = "keramat/rahasia/tabu/tidak boleh". Apot = "dibelakang”, "tertutup (rahasia)". Jadi Wesapot artinya; "dibelakang semua (rahasia) dari ada".[49]
Tatkala manusia mula-mula muncul dari lubang itu, manusia yang paling pertama keluar menepati dan menguasai area lokasi daerah ini. Manusia tidak sendirian keluar dari lubang Goa itu. Setiap clan keluar dari lubang itu bersama dengan beberapa hewan. Tapi berturut-turut dengan berbagai jenis hewan dan binatang semuanya keluar lewat lubang Goa itu.[50] Masing-masing clan keluar dengan membawa simbol-simbol tertentu dari hewan maupun tumbuhan.
Tapi manusia yang paling belakang keluar orangnya beda. Karena warna kulitnya putih, orangnya tinggi sekali, karena dia lain sendiri maka dia dibunuh, dan bagian potongan-potongannya itu yang sampai kini masih tersimpan di sejumlah Honai Adat di seluruh Lembah Balim/Palim. Orang yang dibunuh itu namanya Naruekut. Tempat ini, Wesapot, kini masih ada sisa-sisa jejak manusia awal itu.
Bukti-bukti berupa simbol tentang jejak sejarah kejadian manusia mana kini dapat disaksikan berupa pohon yang digunakannya sebagai tangga untuk naik kelangit untuk selama-lamanya, honai keramat, dimana bagian potongan disimpan oleh masing-masing clan bersama simbol-simbol berupa batu hitam.[51]
Menurut Miron Bromly, simbol Matahari dan Bulan terkait erat dengan benda sakral yang hinggi kini disimpan didalam lemari (ka'kok), honai pria. Benda yang disimpan didalam lemari honay pria adalah berupa batu hitam, sejenis dengan axe (batu hitam) namanya tugi/hareken.[52]
Batu jenis ini pada masa lalu dapat pula dibentuk menjadi kampak, mahar perkawinan dan kematian. Dalam bahasa Dani batu serupa ini disebut dengan nama "Ye Eken". Tapi Ye Eken berbeda dengan Hareken sebagai simbol kekeramatan yang padanya bergantung segala pandangan baik-buruk, kesuburan dan satu-satunya benda yang dihadirkan dan diarahkan dari semua aktivitas hidup dan kehidupan manusia Baliem.
Hareken dapat pula disebut dengan nama tugi/tugieken. Nama ini arti sebernarnya terkait dengan nama manusia awal. Manusia awal yang dianggap sebagai "Tuhan" dalam religi manusia Baliem Selatan itu adalah asal nenek moyang yang telah pergi naik kelangit. Manusia asal itu kini menjadi matahari dan menerangi manusia di bumi. Maka matahari ada hubungannya dengan benda keramat yang disimpan di Honay keramat pria. Honay tempat dimana terdapat benda "Tugi atau Hareken" dinamakan dengan "kanekala atau tugiaila".[53]
"Hareken" terdiri dari dua kata yakni “Har’”= Engkau Yang Maha. “Eken” = Inti/Pusat. Jadi hareken adalah "Pusat dari Engkau yang Maha Mengatasi/Maha Melampaui dari semua yang ada". Tapi pengertian lain dari terjemahan “Hareken/Tugieken" sebagaimana dalam buku Kebudayan Jayawijaya; Myron Bromly, menerjemahkan pengertian "Hareken/Tugi-Eken" agak lain atau sama dengan; Pengertian “Wesapot" "dibelakang rahasia".
Jadi, "dibelakang dari ada" atau "Hareken" adalah "sesuatu dibalik dari ada". Hal ini dapat di ungkapkan dengan kalimat dalam bahasa Baliem Selatan sebagai berikut : “Yimeke Timeke Timeke Ero Pakiat Atukenen” artinya: “Sumber segala sumber berasal. Maka "Kaneka atau Tugi-Eken" adalah yang dimaksudkan dengan "sumber segala sumber segala sesuatu berasal".
Pandangan demikian didapati dalam budaya atau religi Suku Dani Baliem Selatan. Ketika awal mula manusia muncul dimuka bumi, di daerah Wesapot/Maima, (daerah ini bagian dari Kecamatan Hitigima, (12 km2 dari kota Wamena arah Selatan).
Lokasi manusia keluar tempatnya persis dimuara sungai Eagec-Ima. Kerahasiaan tempat dan lokasi ini pantangan untuk diketahui lain clan-nya, sebagaimana diakui Astrid S. Susanto-Sunario (1993), yaitu adat masyarakat Baliem atau Parim, sebenarnya dirahasiakan terhadap orang luar dan jelas tidak boleh diketahui oleh warga perempuan (Parim)[54], juga termasuk sesama warga Suku Dani Baliem yang bukan clan murni geneologis sendiri yang bersifat patrilineal pantangan disampaikan.
Dari berbagai sumber informasi clan Asso dari moiety Asso-Wetipo, menunjukkan bahwa yang menerima mandat dan memelihara tempat-tempat keramat itu adalah suku Asso dari dalam moiety Asso-Wetipo di Wesapot. Namun clan yang disubut pertama lebih banyak penulis dapatkan ceritera tentang mithologi asal muasal kejadian manusia ini. Dalam tradisi Palim Selatan dalam clan terdiri dari dua moiety/parohan yang dalam budaya Jayawiajaya boleh melakukan perkawinan yakni moiety Asso dan Wetipo, digabung menjadi satu dan disebut dengan Assotipo.
Orang-orang Assotipo menuturkan kepada penulis bahwa manusia pertama keluar dari dalam Goa , persis di muara sungai Eagec. Tempat itu kini sejak semula ditutupi dan dialiri oleh sungai Eagec. Sungai Eagec, “dipanggil” oleh manusia pertama. Manusia pertama adalah orang yang muncul atau keluar dari dalam Goa . Karena malu dia memanggil sungai Eagec agar mengaliri (menutupi), Goa tempat dimana manusia pertama muncul. Ditempat itu asal muasal manusia keluar dan kini tersebar seluruh dipermukaan bumi.[55]
Ada kesan penulis bahwa sejarah konsepsi manusia Jawaijaya penuh dengan perlambangan, termasuk ceritera mythology asal kejadian manusia Suku Dani Lembah Paliem Selatan, ini.
b). Modernisasi
Modernisasi pada dirinya mengandung pengertian pembaharuan yang meliputi seluruh aspek kehidupan, pergantian cara poduksi, pikiran dan perasaan yang mengarah kepada hal-hal yang baru: nilai-nilai/norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang serta interaksi sosial dan seterusnya untuk suatu kehidupann yang lebih baik dan lebih layak.[56]
Modernisasi merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, sentralisasi dan sebagainya. Dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat sruktur dan nilai-nilai modern. Untuk hal ini, Huntington , menyatakan, bahwa teori modernisasi melihat ‘modern’ dan ‘tradisional’ sebagai dua konsep yang pada dasarnya bertentangan (asimetris).[57]
Karena itu ahli sejarah dunia Marshall Hodgson lebih cenderung tidak menamakan zaman mutakhir umat manusia yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ini sebagai ‘Zaman’ Modern’-karena konotasi perkataan ‘modern’ yang selalu positif- melainkan ‘Zaman Teknik’ (Teknik Age) dengan konotasi yang netral, dapat baik dan dapat pula buruk. Karena kenetralan ‘Zaman Teknik’ itu maka peran etika amat penting. Bahkan Roger Garaudy (Muallaf, nama syahadatnya, Muhammad Nuruddin), menyebut zaman teknik sebagai ‘agama piranti’ ; Yakni suatu zaman yang didominasi oleh piranti, teknik atau instrumen, dan sedikit sekali menjawab apa sebenarnya tujuan intrinsik dari semua itu. Piranti, teknik, dan instrumen menjadi tujuan dalam dirinya sendiri sehingga menguasai hidup manusia dan menjadi agama baru.[58]
Sampai bulan April 1954, waktu beberapa orang pendeta Nasrani dari Amerika Serikat dari organasasi penyiaran agama Cristian and Missionary Alliance (disingkat CAMA) tiba, orang Palim masih hdup terpencil dari dunia luar. Mereka pada waktu itu masih menggunakan alat batu yang sama bentuknya seperti oleh para ahli prasejarah diperkirakan berasal dari kala Neolitik, sehingga mereka seakan-akan masih berada dalam Zaman Batu Neolitik. Para pendeta itu kemudian beberapa pusat penyiaran agam di bagian selatan Lembah Balim di daerah konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo (sic). Dengan kehadiran para pendeta itu sebahagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan pada dunia luar yang diwakili orang-orang bule, yang cara hdupnya dilengkapi peralatan yang serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai pesawat terbang, yang mereka gunakan sebagai alat transportasi untuk keluar masuk daerah Lembah Balim.[59]
Kontak dengan dunia luar menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun 1956 mendirikan pos pemerintah di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota dan ketika organisasi penyiaran agama Katolik Minnebriders Fransiskanan membuka pusat kegiatannya di Wamena dua tahun kemudian.[60]
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa kontak awal suku Dani di Balim terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan expedisi ilmiah Steerling. Proses modernisasi pada masyarakat Balim telah terjadi menurut tahapan kurun waktu, sebagai berikut :
1). Masa kontak expedisi Steerling pada tahun 1926;
2). Masa kontak budaya pada tahun 1954-1962.
Kontak modernisasi disini lebih pada budaya material (kapak, pembukaan pos-pos pemerintah/missi serta pembukaan jalan-jalan raya (zaman pemerintahan kolonial Belanda).
3). Masa integrasi pada tahun 1963-1969.
Pada masa ini Suku Dani terintegrasi kedalam negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963 dan pada tanggal 16 September 1969 dengan peristiwa Pepera.
4). Masa awal pembangunan pada tahun 1970-1974.
Pada masa ini pembangunan belum banyak tampak, banyak sekolah dibuka, komunikasi cukup lancar, perumahan dikota Wamena makin bertambah, pos-pos di kecamatan dan jalan-jalan raya dibangun, rumah sakit dan seterusnya.
5). Masa Adaptasi pada tahun 1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan dilakukan sebagai adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU Mendagri No. 5 Thn 1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD) sebagai tempat pengkaderan dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses pembangunan diterima baik dalam bernahasa Indonesia yang baik dan banyak hal mengalami penyesuaian dan perubahan.
6.). Masa transisi pada tahun 1982- sampai sekarang[61]
Sebgaimana pada umumnya daerah Pegunungan Tengah Papua, dalam tahun 1980-1990 awal, Suku Dani, banyak di jumpai kaum prianya mengenakan busana Koteka dan rumbai bagi wanitanya. Dikota kini tidak banyak dijumpai, namun daerah-daerah yang masih terisolasi dan jauh dari pusat pemerintahan banyak terdapat penduduknya yang masih mengenakan Koteka sebagai lambang ketertinggalan dan keterbelakangan.
Usaha moderinisasi baru dilakukan oleh oleh aparat militer Indonesia seperti dalam operasi task force oleh Gubernur Aqub Zaenal pada tahun 1970-an awal. Tapi dalam pengertian sesungguhnya usaha modernisasi dilakukan oleh Missionaris dan pemerintah Indonesia .
c). Agama
Pada mulanya Missionaris Kristen dari Amerika dan Katolik dari Belanda tidak sanggup mengajak suku Dani Palim/Balim dari Konfederasi Asso-Lokowal dan Asso-Wetipo, untuk menganut agama yang mereka bawa. Suku Dani Balim Selatan walaupun pada awalnya menerima kehadiran orang Barat, tapi sikapnya agak takut-takut, karena menurut mereka orang Barat persis Mokat (setan), yaitu arwah orang Dani yang telah meninggal[62], dan muncul kembali semacam reinkarnasi.
Orang Lembah Balim mulai mendengar injil yang disampaikan beberapa orang utusan injil CAMA dan beberapa orang Me yang datang kesana dalam bulan April 1954. Salah satu utusan injil orang Me yang pertama pergi ke Balim mengabarkan injil di Balim ialah : Elisa Gobay.[63]
Missi agama yang pertama muncul Lembah Balim, Wamena Kabupaten Jayawi Jaya tempatnya di Hitigima, di daerah Konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo, pada bulan April tahun 1954, oleh beberapa pendeta Nasrani (Kristen Protestan) dari Amerika Serikat dari Organisasi penyiaran Agama Cristian and Missionary Alliance (CAMA). Kemudian disusul organisasi penyiaran agama Katolik Minnebroeders Franciscanen membuka pusat kegiatannya di Wamena atau Woma di wilayah konfederasi Lagowan-Matuan dua tahun 1956 dan di Hebupa distrik Asso-Lokobal.[64]
Mula-mula kehadiran dua agama besar yang dibawah pertama oleh para Missionarisnya tidak menarik perhatian Suku Dani Lembah Balim Selatan. Sampai dengan tahun 1970-an tidak satupun penduduk pribumi memeluk agama. Bahkan sikap mereka menolak habis-habisan.
Orang Balim menurut Dr. Benny Giay, (1998), tidak serta merta menerima agama Kristen yang di bawa utusan injil. “Berbeda dengan orang Dani Barat, orang Dani di Lembah Balim menolak injil selama bertahun-tahun. Penerimaan Injil di Lembah Balim tidak terjadi secara cepat, tetapi bertahap. Baru akhir tahun 1970-an orang Dani Lembah Balim mulai menerima kabar gembira”.[65]
Dan terakhir pada masa integrasi Papua kedalam negara RI, bersamaan itupula agama Islam di perkenalkan kepada Suku Dani di Lembah Balim tepatnya di daerah Megapura antara tahun 1963-1969 di wilayah Konfederasi antara Asso-Lokobal, Wuka-Wetapo dan Lani-Wetapo.
Pengaruh Islam secara luas diseluruh pelosok daerah propinsi Irian Jaya dan dengan semua kelompok suku di daerah ini dalam hidup sehari-hari dalam semua bidang kehidupan, baru mulai dirasakan setelah Irian Jaya berintegrasi menjadi bagian dari Republik Indonesia awal tahun 1960-an.[66]
Pada umumnya Suku Dani hingga dewasa ini masih menghayati nilai-nilai lama mereka sebagai agama. Animisme cukup dominan saat-saat ini hingga tahun yang akan datang ini, mengingat sangat lambatnya proses modernisasi atau transpormasi nilai-nilai baru, terutama pembangunan oleh pemerintah dan perubahan oleh semua pihak.
d). Pendidikan
Pada awalnya orang tua kalangan suku Dani Asso-Wetipo dan Asso-Lokowal menolak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang disediakan oleh para missioris, hal demikian dihadapi oleh perintah Indonesia pasca integrasi. Dalam hal pendidikan maupun agama, pada mulanya para kepala suku menolak ajaran agama maupun menolak anaknya untuk disekolahkan.[67]
Lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang dibangun para missionaris Barat dan Pemerintah Indonesia tidak menarik minat Suku Dani di Balim Selatan. Namun secara bertahap baru ada anak Suku Dani mulai dididik dan sekaligus di Baptis. Putra Balim yang telah menjadi sarjana dan sarjana muda antara lain adalah David Huby, Simeon Itlay, Benny Hilapok, Agus Alua, Bartol Paragaye, Bonafasius Huby, Alpius Wetipo, Tobias Itlay, Damianus Wetapo, Dominicus Lokobal, Benny Huby, Vincent, Jelela Wetipo, Tadius Mulait dan lain-lain.[68]
Saat ini deretan intelektual pertama Papua adalah hasil godokan para missionaris, misalnya; Benny Giay, Sofyan Nyoman, (Protestan), Agus Alue Alua, David Huby [Bupati Kab. Jayawi Jaya, tahun 1999-1996], Niko Asso-Lokowal (Katolik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar