Sabtu, 20 Juni 2009

CAPRES-CAWAPRES DAN KOMITMEN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

A. Konflik Aceh dan Papua

Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus Ambon , Poso, Ketapang dll. Aceh-Papua adalah konflik vertical, penyelesaiannya akut sepanjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua wilayah ujung Indonesia ini selalu ada gejolak separatisme. Kontak senjata antara pejuang kemerdekaan dan TNI/POLRI tak terhindarkan dan membawa banyak korban kedua pihak terutama rakyat sipil.

GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan Indonesia . Mereka selama ini selalu berhadap-hadapan secara militer (bersenjata) dengan TNI/POLRI. Hal ini tentu saja memperrumit dialog percepatan penyelesaian dan pembangunan didaerah tersebut.

Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh.

Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik

Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.

Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan gaya makassar-nya. Melalui pengakuannya sendiri kita menjadi tahu bahwa dibalik perdamaian GAM-RI di Helsinki ada peran Yusuf Kalla. Sebahagian tuntutan GAM misalnya syari’at islam otomatis menimalisir letupan-letupan kontak senjata antara TNI/POLRI versus GAM bisa diredam.

Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas, Jakarta dll dalam skala local lainnya adalah Yusuf Kalla salah satu Capres RI mengakui dirinya berperan aktif menyelesaikannya. Tapi Yusuf Kalla Capres sipil, yang memang tidak pernah punya andil atau berperan sebagai apapun dalam konflik yang banyak mengorbankan rakyat sipil disana. Hal demikian tidak ada pengakuan dari tiga Capres-Cawapres RI lainnya, terutama yang berlatar belakang militer.

Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian Helsinki disela-sela kampanyenya disana. Karena itu dia bisa dan memang sanggup menjajikan pada GAM, penyelesaian keamanan kenyamanan hidup rakyat Aceh. Tapi sanggupkah dia dengan Papua dan TPN/OPM? Dan bagaimana format penyelesaian konflik secara konprehenshif bisa di wujudkan di Papua Barat diidealkan sebagai “Papua Zona Damai” tanpa kedamadaian terus-menerus itu?

Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia nanti, kelak seperti apa penyelesaian konflik di wilayah ujung Barat dan Timur Indonesia itu?

Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!

Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.

B. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP, bagi TPN/OPM di rimba raya Papua tidak dianggap sebagai solusi. Karena sejauh ini dan mungkin sampai nanti juga bahwa Otsus Papua sebagai kompromi jalan tengah bukan solusi bagi rakyat Papua. Apatah lagi perjanjian pemberian dan penerimaan (berarti, ijab-qobul) Otsus tidak pernah melibatkan TPN/OPM sesungguhnya di rimba raya Papua.

Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.

Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta . Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu Indonesia harus melibatkan mereka mencari solusi soal Papua. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

C. Solusi Konflik Papua

  1. Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
  2. Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
  3. Melakasanakan Ostsus secara konsisten
  4. Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
  5. Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
  6. Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)

Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.

Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di Papua. Yang itu berarti selalu punya peluang membunuh rakyat Papua yang dicurigai karena alas an keutuhan seperti kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay , Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Karena itu di Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kesatuan angkatan bersejata TNI/POLRI organic dan non organic. Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu tiada pernah berakhir.

Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helsinki . Apakah Papua juga sanggup di hentikan sebagaimana Aceh? Bagaimana format jitu yang akan ditawarkan oleh Capres-Cawapres atas kasus pelanggarana HAM berat sejak tahun 1962 hingga hari ini di Papua? Sanggupkah mereka menyamai prestasi Kiay Haji Abdurrahman Wahid ataukah sama seperti Megawati dan SBY seperti saat ini, terperangkap masuk pada halal-haram symbol cultural bagi rakyat Papua sehingga kembali ke titik nol lagi? Hanya pada Tuhan kita berserah diri!

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.

Konflik Aceh dan Papua

Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus Ambon , Poso, Ketapang dll. Aceh-Papua adalah konflik vertical, penyelesaiannya akut sepanjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua wilayah ujung Indonesia ini selalu ada gejolak separatisme. Kontak senjata antara pejuang kemerdekaan dan TNI/POLRI tak terhindarkan dan membawa banyak korban kedua pihak terutama rakyat sipil.

GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan Indonesia . Mereka selama ini selalu berhadap-hadapan secara militer (bersenjata) dengan TNI/POLRI. Hal ini tentu saja memperrumit dialog percepatan penyelesaian dan pembangunan didaerah tersebut.

Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh.


Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik


Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.

Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan gaya makassar-nya. Melalui pengakuannya sendiri kita menjadi tahu bahwa dibalik perdamaian GAM-RI di Helsinki ada peran Yusuf Kalla. Sebahagian tuntutan GAM misalnya syari’at islam otomatis menimalisir letupan-letupan kontak senjata antara TNI/POLRI versus GAM bisa diredam.

Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas, Jakarta dll dalam skala local lainnya adalah Yusuf Kalla salah satu Capres RI mengakui dirinya berperan aktif menyelesaikannya. Tapi Yusuf Kalla Capres sipil, yang memang tidak pernah punya andil atau berperan sebagai apapun dalam konflik yang banyak mengorbankan rakyat sipil disana. Hal demikian tidak ada pengakuan dari tiga Capres-Cawapres RI lainnya, terutama yang berlatar belakang militer.

Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian Helsinki disela-sela kampanyenya disana. Karena itu dia bisa dan memang sanggup menjajikan pada GAM, penyelesaian keamanan kenyamanan hidup rakyat Aceh. Tapi sanggupkah dia dengan Papua dan TPN/OPM? Dan bagaimana format penyelesaian konflik secara konprehenshif bisa di wujudkan di Papua Barat diidealkan sebagai “Papua Zona Damai” tanpa kedamadaian terus-menerus itu?

Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia nanti, kelak seperti apa penyelesaian konflik di wilayah ujung Barat dan Timur Indonesia itu?

Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!

Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.


B. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP, bagi TPN/OPM di rimba raya Papua tidak dianggap sebagai solusi. Karena sejauh ini dan mungkin sampai nanti juga bahwa Otsus Papua sebagai kompromi jalan tengah bukan solusi bagi rakyat Papua. Apatah lagi perjanjian pemberian dan penerimaan (berarti, ijab-qobul) Otsus tidak pernah melibatkan TPN/OPM sesungguhnya di rimba raya Papua.


Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.

Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta . Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu Indonesia harus melibatkan mereka mencari solusi soal Papua. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

C. Solusi Konflik Papua

  1. Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
  2. Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
  3. Melakasanakan Ostsus secara konsisten
  4. Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
  5. Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
  6. Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)

Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.

Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di Papua. Yang itu berarti selalu punya peluang membunuh rakyat Papua yang dicurigai karena alas an keutuhan seperti kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay , Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Karena itu di Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kesatuan angkatan bersejata TNI/POLRI organic dan non organic. Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu tiada pernah berakhir.

Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helsinki . Apakah Papua juga sanggup di hentikan sebagaimana Aceh? Bagaimana format jitu yang akan ditawarkan oleh Capres-Cawapres atas kasus pelanggarana HAM berat sejak tahun 1962 hingga hari ini di Papua? Sanggupkah mereka menyamai prestasi Kiay Haji Abdurrahman Wahid ataukah sama seperti Megawati dan SBY seperti saat ini, terperangkap masuk pada halal-haram symbol cultural bagi rakyat Papua sehingga kembali ke titik nol lagi? Hanya pada Tuhan kita berserah diri!

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.

ESSENSI KONFLIK DI PAPUA

Konflik Primer



Konflik TPN/OPM versus TNI/POLRI di Papua merupakan konflik primer dari segala konflik sepanjang integrasi Papua kedalam NKRI Konflik dimensi lain, yang melibatkan rakyat sipil (konflik horizontal) maupun TPN/OPM versus TNI/POLRI adalah konflik paling akut tapi juga paling sulit, untuk tidak dikatakan tidak sanggup diselesaian oleh kedua pihak lain ideology itu, entah itu oleh OPM, rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia।



Papua Barat, sejak integrasi melalui PEPERA (kata sebahagian orang Papua, sebenarnya aneksasi paksa) dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1979, maka sepanjang itupula banyak korban berjatuhan disatu pihak TPN/OPM-TNI/POLRI dan dilain pihak rakyat Papua. PEPERA tahun 1962 yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara)



Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia।



Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, memang banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Di Papua nun jauh sana banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic



Demikian sama halnya Aceh Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai। Namun akhir-akhir ini agaknya Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helskiny.



Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya। Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.



Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya anatara TPN/OPM dan Jakarta । Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan dengan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.



Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya। Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.



Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus। Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.



Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.



Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) sudah selesai Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!



Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua kelompok berbeda ideologi bertikai sebagai jalan tengah dari jalan kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.



Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi soal itu (Otsus Papua) dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua) Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya sebagaimana yang terjadi di Aceh. Kecuali OPM buatan militer Indonesia yang sejauh ini dilibatkan dalam penyelesaian persoalan Papua selama ini bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya. Hasilnya sudah jelas sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.



Bagi OPM Otsus Bukan Solusi



Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua dengan dirinya Otsus dianggap illegal/tidak sah। Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal bersenjata di rimba raya dan sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Sebagai akibatnya tentu hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkepentingan dari kompromi itu apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM.



Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat।



Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua।



Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.



Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.



Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak ikut-ikutan rebutan jabatan Otsus tapi tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, Ham dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong



Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia , bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia . Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua



Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.



Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant। Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.



Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan Ham, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua

CAPRES-CAWAPRES DAN KOMITMEN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

A. Konflik Aceh Dan Papua

Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus Ambon, Poso, Ketapang dll Aceh-Papua adalah konflik vertical, penyelesaiannya akut sepanjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua wilayah ujung Indonesia ini selalu ada gejolak separatisme. Kontak senjata antara pejuang kemerdekaan dan TNI/POLRI tak terhindarkan dan membawa banyak korban kedua pihak terutama rakyat sipil.

GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan Indonesia . Mereka selama ini selalu berhadap-hadapan secara militer (bersenjata) dengan TNI/POLRI. Hal ini tentu saja memperrumit dialog percepatan penyelesaian dan pembangunan didaerah tersebut.

Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh.


Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik


Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.

Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan gaya makassar-nya. Melalui pengakuannya sendiri kita menjadi tahu bahwa dibalik perdamaian GAM-RI di Helsinki ada peran Yusuf Kalla. Sebahagian tuntutan GAM misalnya syari’at islam otomatis menimalisir letupan-letupan kontak senjata antara TNI/POLRI versus GAM bisa diredam.

Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas, Jakarta dll dalam skala local lainnya adalah Yusuf Kalla salah satu Capres RI mengakui dirinya berperan aktif menyelesaikannya. Tapi Yusuf Kalla Capres sipil, yang memang tidak pernah punya andil atau berperan sebagai apapun dalam konflik yang banyak mengorbankan rakyat sipil disana. Hal demikian tidak ada pengakuan dari tiga Capres-Cawapres RI lainnya, terutama yang berlatar belakang militer.

Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian Helsinki disela-sela kampanyenya disana. Karena itu dia bisa dan memang sanggup menjajikan pada GAM, penyelesaian keamanan kenyamanan hidup rakyat Aceh. Tapi sanggupkah dia dengan Papua dan TPN/OPM? Dan bagaimana format penyelesaian konflik secara konprehenshif bisa di wujudkan di Papua Barat diidealkan sebagai “Papua Zona Damai” tanpa kedamadaian terus-menerus itu?

Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia nanti, kelak seperti apa penyelesaian konflik di wilayah ujung Barat dan Timur Indonesia itu?

Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!

Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.


B. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP, bagi TPN/OPM di rimba raya Papua tidak dianggap sebagai solusi. Karena sejauh ini dan mungkin sampai nanti juga bahwa Otsus Papua sebagai kompromi jalan tengah bukan solusi bagi rakyat Papua. Apatah lagi perjanjian pemberian dan penerimaan (berarti, ijab-qobul) Otsus tidak pernah melibatkan TPN/OPM sesungguhnya di rimba raya Papua.


Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.

Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta . Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu Indonesia harus melibatkan mereka mencari solusi soal Papua. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

C. Solusi Konflik Papua

  1. Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
  2. Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
  3. Melakasanakan Ostsus secara konsisten
  4. Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
  5. Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
  6. Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)

Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.

Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di Papua. Yang itu berarti selalu punya peluang membunuh rakyat Papua yang dicurigai karena alas an keutuhan seperti kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay , Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Karena itu di Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kesatuan angkatan bersejata TNI/POLRI organic dan non organic. Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu tiada pernah berakhir.

Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helsinki . Apakah Papua juga sanggup di hentikan sebagaimana Aceh? Bagaimana format jitu yang akan ditawarkan oleh Capres-Cawapres atas kasus pelanggarana HAM berat sejak tahun 1962 hingga hari ini di Papua? Sanggupkah mereka menyamai prestasi Kiay Haji Abdurrahman Wahid ataukah sama seperti Megawati dan SBY seperti saat ini, terperangkap masuk pada halal-haram symbol cultural bagi rakyat Papua sehingga kembali ke titik nol lagi? Hanya pada Tuhan kita berserah diri!

Jumat, 19 Juni 2009

TAKUT DAN KEMATIAN

Pemimpin Papua Takut!


“Kullu nafsin daaiqotul maut"; Artinya :”Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian” (Al-Qur’an)।


Kematian adalah sesuatu hal yang misterius bagi siapa saja umat manusia। Karena itu pandangan terhadapnya berbeda-beda bagi semua suku bangsa dunia. Suku Dani Lembah Balim Papua memilik pandangan agak berbeda. Beberapa tahun lalu dan kini mungkin masih ada, manusia mati sekali dan selamanya. Tiada ada kehidupan sesudah kematian. Hidup pasti mati dan kematian selamanya tanpa ada lagi kehidupan sesudah kematian, demikian pandangan Suku Dani Lembah Balim Jayawi Jaya Papua. Hal ini mungkin berbeda sebagaimana pandangan baru dari ajaran agama monoteisme yang dibawa datang orang ke Papua dari ajaran semit (Islam, Kristen dan Yahudi).


Maka sebagai itu, Bagi Suku Dani Lembah Balim Jayawi jaya Papua, potong telingga, potong jari-jari, sebagai tanda perpisahan dan potongan-potongan itu sebagai “kenang-kenangan”, bagi kerabat terkasih yang pergi selamanya। Potongan jari atau telingga dimaksudkan sebagai “kenang-kenangan atau hadiah” untuk dibawa pergi selamanya sebagai rasa cinta kepada kerabat yang berangakat selamanya, mati, tanpa akan ada alam kebangkitan lagi.


Rasa rindu mendalam dari yang hidup diberikan kepada orang mati, potongan jari atau telingga, sebagai kenangan dan tanda perpisahan dari orang hidup kepada kerabat meninggal di dalam pandangan Suku Dani Balim Jayawi jaya Papua dengan demikian sangat rasional kalau mengikuti tahapan pemikiran berdasarkan teori sosiolog Ibnu Kholdun। Suku Dani di Lembah Balim Jayawi Jaya Papua dan sekitarnya tidak percaya pada kehidupan sesudah kematian, tapi kamatian adalah perpisahan selamanya tanpa ada kepercayaan bangkit kembali.


Pandangan Suku Dani Papua ini mirip dengan para filosof abad 19 misalnya Albert Camus. “...Beberapa filsuf yang pesimis terhadap kehidupan, seperti Schoppenhauer dan Dorrow, memandang hidup manusia merupakan ‘lelucon yang mengerikan’. Sebab, bukanlah hidup ini hanyalah ‘antri untuk mati’, berupa deretan panjang peristiwa-peristiwa pribadi dan sosial menuju hal yang amat mengerikan, yaitu kematian?!” (Cak-Nur, 2000, h, 191)।


Oleh sebab itu Albert Camus, seorang filosof atheisme, (a=tidak, Theo=Tuhan, Isme=paham, nama pahlawan Papua Theys=percaya Tuhan, atheisme berarti paham tidak percaya Tuhan), berkebangsaan Prancis yang menganut paham nihilisme karena hidup manusia sesungguhnya tanpa makna atau dengan kata lain hidup manusia tidak ada artinya, singkatnya hidup atau mati sama saja, karena akhirnya mati juga। Maka bagi Albert Camus, mati sekarang atau nanti, mati juga, daripada hidup jadi beban lebih baik mati sekarang, dia mati, tembak kepalanya sendiri, (ada yang bilang Albert mati karena kecelakaan lalulintas).


Itulah Albert Camus, seorang pemikir awal abad 20 yang menganggap bahwa hidup manusia dan harapan masuk sorga-neraka atau berjumpa dalam rumah Tuhan sesungguhnya bohong, nisbi belaka, hanya kata-kata bohong para Haji, Pendeta dan Pastor। Baginya hidup tanpa makna, mati jam ini atau nanti sama saja, mati juga, karena itu ajaran filsafatnya dinamakan nihilisme (nihil=0, kosong atau tidak ada makna, isme=paham/percaya, jadi Albert Camus tidak percaya pada kepercayaan, hidup tidak ada artinya). Karena itu Albert Camus sama sekali tidak percaya pada Tuhan, Yesus, dan lain-lain semua, soal menyangkut kata percaya.


Dia sama sekali tidak percaya pada keberadaan sorga, neraka, malaikat, iblis, setan, hari kiamat, sepenuhnya dia tidak percaya apa yang dinamakan oleh manusia beragama sebagai TUHAN। Dia malah sangsi, akan eksistensi keberadaan tempat dan bagaimana sesungguhnya kebohongan pengakuan saksi-saksi manusia. Dia malah menganggap pembohong, orang beragama! Dia sangsi atas kesaksian Haji, Ustadz, Muballiqh, Pendeta, Pastor dalam soal Tuhan benar apa tidak, tapi baginya Tuhan memang tidak ada. Dia tidak percaya Tuhan.


Kembali pada tema soal kematian। Jadi intinya bahwa kematian bagi manusia adalah hukum kepastian. Apakah manusia menginginkannya atau tidak semua yang bernyawa pasti akan mati dan itu dimana-mana dan kapan saja, apakah kita merencanakan atau tidak, kapan kita mau mati, sekarang atau esok, kita menyadari mati atau tidak, kematian selalu pasti kita akan mengalaminya. Dan itu berlaku semua bagi manusia dan makhluk bernyawa lain.


Tapi kenapa kebanyakan kita manusia selalu menghindari kematian dan menginginkan kehidupan terus-menerus? Padahal manusia semua akan menempuh dan melewati jalan kepastian, yakni kematian? Kapan saja, apakah kita mau atau tidak, yang namanya makhluk hidup, pasti mati। Karenanya kematian suatu hal yang pasti dan senantiasa menunggu kita melewatinya.


Bukankah hidup juga hanya untuk mati? Berarati kematian hanya masalah waktu, sekali lagi, hanya masalah waktu, mati sekarang atau besok, semua pasti mati। Hidup untuk mati itu hanya soal waktu, kapan saja dan selalu dimana-mana kita semua manusia sedang menunggu hukum kepastian itu, yakni kematian! Kalau begitu kenapa kita manusia takut pada kemantian? Padahal hanya soal waktu mati sekarang atau nanti?!


Hidup Mulia Atau Mati Nista!


Silahkan pilih! Jalan mana, hidup tapi mati, atau mati tapi hidup. Kata pertama mengandaikan pada kita, bahwa sekalipun kita hidup tapi sesungguhnya kita mati atau mengalami proses kematian dengan akibat tidak sedikit tanpa kita menyadari akibat buruk dari suatu pilihan kita pada masa lalu. Berbeda dari kalimat kedua, walaupun memang benar kita mati tapi sesungguhnya mengandung implikasi menghidupkan senantiasa (survival)।


Belakangan ini ada istilah genosida atau ecosida yang maksudnya sama arti dengan judul buku Sendius Wonda, yang dilarang Penguasa NKRI, “Tenggelamnya Ras Melanesia”। Jawaban mana yang dipilih para pemimpin Papua kalau dihadapkan pada dua pilihan ini, maka kita sudah tahu jawaban mereka sudah sejak awal.


Singkatnya kita yakin tidak ada pemimpin Papua berani menjawab dan menjalani perjuangan pada pilihan kedua। Sebab kita semua tahu bahwa umumnya para tokoh dan pemuka sebagai pemimpin Papua sudah pilih jalan pertama yakni hidup tapi mati. Artinya jargon “Papua Zona Damai” sama juga dengan pilihan jalan “hidup tapi mati” bukan pilih jalan “mati tapi hidup atau hidup dalam mati”.


Kalau ditanyakan pada orang Papua yang mengaku diri sebagai Pejuang Papua Merdeka, maka jawaban yang paling banyak mungkin di jawab atau dimaui mereka (para pemimpin Papua) dan jalan itu sudah lama ditetapkan dan kini kita sedang di ajak menempuh jalan itu yakni pilihan mereka pada “hidup tapi hakekat sesunguhnya kita mati”। Karena tadi itu, Papua Zona Damai tanpa kedamaian malah dalam proses pelenyapan (unnihilasi) oleh penjajah.


Jika pertanyaannnya dibalik misalnya: “Para pejuang Papua, pilih mana, mati mulia atau hidup hina! Maka jawabannya pasti pada pilihan jawaban yang kedua bukan yang pertama। Mau buktinya? Karena kata kedua semakna dengan “Papua Zona Damai”. Menurut filsafat yang bersibuk diri dengan analisa kata, Papua Zona Damai dan Hidup Hina sama saja, dua kalimat itu namanya tautologies, demikian kata kuncinya sebagai argumentasi apologi keyakinan kita ini yang hakekatnya sudah di ketahui “genosida”.


Alasan karena “ Papua Zona Damai” maka perjuangan harus ditempuh dengan jalan damai tidak menunjukkan suatu makna yang berarti kecuali kalimat apologetis dari kata tak bermakna atau kata yang maksudnya sama dengan “hidup hina takut mati yang berarti sama maksudnya dengan “Papua Zona Damai” atau lebih baik hidup hina daripada mati yang menakutkan?!”, padahal itu hanyalah kalimat tautologis।


Mengatakan “Papua Zona Damai” sama dengan “Baik Hidup Hina daripada Mati Menakutkan!” Kalau itu jawaban pemimpin, maka pemimpin yang mengatakan demikian itu adalah para pemimpin takut, pengecut! Bukan pemimpin sejati! Pemimpin Papua harus berani, mati atau hidup! Papua merdeka adalah utama dan segala-galanya, jika ada pemimpin demikian maka itulah pemimpin sejati bangsa Papua! Karena kematian bukan factor utama bagi kemerdekaan bangsa Papua, sama saja Papua Zona Damai bukan kepentingan kemerdekaan bangsa Papua tapi sama sekali bukan kepentingan merdeka tapi melemahkan perjuangan Papua merdeka।


Karena takut lawan dan tidak mau berani merdeka atau factor X lain, mereka mau jawab keinginan rakyat Papua dengan alamat yang ditunjuk bukan jalan ini tapi jalan lain, jalan jauh sana, bukan disini, tapi jalan dengan kata atau bahasa “Zona Damai”। Apa yang terjadi? Itu sama artinya menghalangi keinginan Rakyat Papua sesungguhnya, mereka dengan kata “Papua Zona Damai, melukakukan tindakan yang akibatnya kesampingkan tujuan utama yang sangat mulia yakni perjuangan Papua merdeka atau kita bangsa dan rakyat umumnya Papua ditakut-takuti, seperti anak kecil dengan setan, awas bahaya ada setan!


Berarti pemimpin Papua tipe dan model begini ini sebenarnya sudah mati tapi mengaku hidup damai। Umumnya karena itu mentalitas yan tercipta pada pilihan takut hidup tapi mengaku berjuang damai adalah mati hidup alias hidup tanpa kehidupan, taruhannya adalah harga diri, terjajah mengaku perjuangan damai sebagai apologi dibalik argumentasi lain kehidupan dan perjuangan untuk hidup hina ternista.


Pilihan ini sebagai akibatnya yang terjadi pada level rakyat adalah mentalitas coplex imferiority, rakyat jadinya lama-kelamaan pada stadium penyakit kejiwaan yang akut sulit disembuhkan। Dampak sosial lainnya dari pilihan perjuangan “Papua Zona Damai” adalah hegemoni budaya asing, penjajah, masyarakat dan rakyat terjajah dihilangkan dari masa lalu mereka, rakyat menjadi teralienasi dari hakekat budaya dan diri mereka, mereka jadinya devrivasi dan dislokasi.


Hidup Atau Mati Sama सजा


Kita mengira atau mengharap ingin hidup selamanya tapi selalu pasti mati tanpa kita mengharapkannya, cepat atau lambat kapan saja waktunya। Kalau begitu siapa dan mengapa kita takut mati? Padahal hidup sesungguhnya hanya menunggu kematian? Mati sekarang atau esok semua manusia akan melewati jalan itu, yakni jalan kematian. Pasti semua orang akan melaluinya, kalau begitu mengapa kita takut mati? Apalagi hidup dengan nasib tertindas dan terjajah seperti halnya bangsa Papua?


Bukankah itu berarti itu sesungguhnya kematian sesungguhnya kalau tanpa ada perjuangan untuk hidup, hidup mulia dan harkat dan martabat diri sebagai sebuah bangsa adalah kehidupan abadi sebuah bangsa daripada hidup dibawah penjajahan adalah hidup kematian sesungguhnya? Kalau begitu dimana arti kehidupan sesungguhnya? Kenapa kalau memang kita hidup dan damai lalu ada istilah ketakutan dan teriak-teriak dengan istilah genosida?

Benarkah kita hidup atau sesungguhnya di balik alasan damai kita mengalami proses pelenyapan (unnihilisasi)? Perhatikan istilah pelenyapan tidak sama dengan kepunahan। Yang terjadi saat ini dibalik istilah zona aman damai para tokoh agama, nasib sesungguhnya terjadi adalah bukan lagi pemusnahan tapi sudah pada usaha pelenyapan (unnihilasi)। Orang Papua ditiadakan oleh suatu sistem yan itu tidak disadari oleh siapapun karena dihadapan kita kata-kata manis sudah kita telan padahal kita menelan sebuah kata penyakit yakni kata "Papua Zona Damai", lebih berbahaya dari pada HIV/AIDS sekalipun.



Mengapa kata "Papua Zona Damai" lebih berbahaya daripada HIV/AIDS? Karena Zona Damai tanpa menyadari dan kita terima dengan suka dan harapan berbeda dari pilihan penyakit, sudah pasti dari semula dan kita tolak karena tahu alasan bahayanya dari awal, beda dari kata, “Papua Zona Damai”, seakan nyaman, baik, menuduhkan tapi luar biasa akibat buruknya dan kerusakan diakibatkannya lebih parah dari yang dibayangkan।


Pilahan orang Papua saat ini hanya ada dua saja tanpa ada pilihan lain, misalnya jalan pilihan selain mati dan hidup, tidak ada jalan lain ke tiga atau sintesa dari dua tesis dan anti tesis. Siapa takut hidup, maka sesungguhnya dia mati dan atau mengalami proses kematian. Tapi mengapa orang Papua takut kematian selalu? Padahal mati adalah untuk hidup hakekat sesungguhnya kalau mau dimengerti? “Merdeka atau Mati” itu saja, tidak ada kata bohong, “Papua Zona Damai”.


Hakekat Papua Merdeka


a). Merdeka secara substansial


Bagi penanut ini jarang bagi mereka biasanya lebih mementingkan substansi bukan formalistik dengan segala atribut dan batas teritory lainnya yang umumnya bersifat lambang। Mungkin Gus-Dur penganut idealisme ini, karenanya baginya pengguanaan "hai Tanhku Papua dan Bintang Kejora adalah lambang cultural bagi rakyat Papua dan itu sebagai indentitas yang orang Papua boleh menggunakannya.


Misalnya Era pemerintahan Gus-Dur, orang silahkan naikkan Bintang Kejora setengah tiang atau apalagi noken gelang buatan mama-mama Paniai dan mama-mama Serui-Biak di emperan tokoh dan pasar Ampera Jayapura tidak ditakutkan sebagaimana ketakutan era pemerintahan SBY-JK sekaran ini। Misal lainnya penggunaan nama Irian Jaya menjadi Papua bagi paham model substansiali adalah biasa sebab nama-hanya semata-mata nama kecuali mengganggu stabilitas kedaulatan NKRI, pengunaan kekerasan sebagai jalan terakhir ditempuh sebagai pertahanan kekuasaan nasional.


b). Kemerdekaan simbolik


Dalam era ini pemerintahan yang berkuasa di NKRI --lebih-lebih era Mega-Hamzah --kini dipentingkan. Cara berfikir mereka legal formalistik. Karena itu wajar pemakaian gelang, noken dan atribut kesenian sebagai sebuah kebangaan identitas rakyat Papua sangat di takuti pihak penguasa untuk orang Papua memakainya. Apalagi menyanyikan lau Hai Tanahku Papua pada 1 Desember 2008 ini nanti denan menaikkan bintan kejora bagi cara pikir ini adalah tindakan subversif. Intinya mereka yan dipentingkan adalah hal-hal yang bersifat simbol.


c). Tujuan Papua Merdeka


Secara sederhana tujuan Papua Merdeka dimaksud adalah untuk menciptakan kesejahteraaan dan melaksanakan pemerintahan tanpa tekanan pihak manapun dari campur tangan asing. Berarti apa yang dimaksud Papua merdeka adalah bebas dari tekanan dan campur tangan pihak lain, baik sebagai penjajah ataupun dari mereka yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan secara sewenang-wenang.


Maka maksud tujuan Papua Merdeka adalah mengatur pemerintahan (kekuasaan) dan mewujudkan kesejahteraan hidup agar “Papua Zona Damai”, dengan jalan mengurus keperluan dari oleh untuk diri sendiri, agar hidup mulia dimata bangsa lain। Maka Papua merdeka sama artinya dengan menciptakan “Papua Zona Damai” dalam artinya sesunggunya. Tapi kalau sekarang mengatakan “Papua Zona Damai” berarti sama maksud dan artinya dengan menerima dijajah Penjajah Indonesia/NKRI.


Hakekat Papua merdeka selama ini belum banyak diketahui. Padahal ini sangat penting agar didukung semua kalangan dan semua pihak. Mengapa hal ini bisa terjadi (kebanyak rakyat "amber" belum mengerti) apa maksud dan tujuan Papua Merdeka?


Banyak alasan tapi, Papua Merdeka, mendengar kata ini asumsi umum selama ini identik bunuh-membunuh antara TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM di pihak lain dalam rakyat Papua. Padahal hakekat sesungguhnya berjuang untuk Papua merdeka dan mati karena untuk berjuang tujuan Papua merdeka sesungguhnya adalah mulia mati di mata Tuhan dan dimata manusia.


Kerja untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai jalan menegakkan tujuan mulia dan suci yakni Papua Merdeka oleh TPN/OPM dan PDP misalnya Thaha Al-Hamid dan rakyat Papua umumnya belum banyak dimengerti maksud tujuannya secara baik oleh semua pihak rakyat Papua. Karena stigma negatif dan pencitraan secara besar-besaran oleh pihak penjajah untuk membenarkan tindakan dan kepentingan penjajahan mereka atas bangsa Papua, juga karena selama ini belum pernah ada penjelasan secara baik tentang maksud-tujuan dan hakekat dari Papua merdeka oleh orang Papua sendiri beserta organ perjuangannya sangat minim dirasakan.


Karena itu inti dan hakekat dari Papua merdeka selama ini belum jelas bagi masyarakat "amber" Papua। Tulisan ini mencoba mencari tahu pengertian kita (tolong bedakan kata kita dan kami, kata pertama melingkup semua, kedua membatasi saya dan hanya teman-teman saya saja tanpa anda). Nah, judul tulisan ini mencoba mau mengerti sejauh mana cakupan dan harapan dari perjuangan Papua merdeka.


Apa yang dimaksud Papua merdeka dan seterusnya penting diperkenalkan pada semua pihak bahwa tujuan perjuangan Papua merdeka adalah mulia dan suci, sejalan dengan Islam, Al-Qur’an dan juga semua agama lain menyangkut pesan moral. Syekh Yusuf Al-Makassari (seorang ulama sufi) dari Sulawesi Selatan pernah membuktikannya bersama Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bangkit Lawan Penjajah Sekarang Juga atau Kau Lenyap!