Sabtu, 06 Juni 2009

WASPADAI POTENSI KONFLIK SARA DI PAPUA

A. Pendahuluan

Terma utopia, “Papua Zona Damai”, derivasinya, “Aceh Darussalam”, Brunai Darussalam”. Artinya sama suatu kawasan atau daerah yang sudah aman, ‘kawasan damai’. Kata kuncinya ‘sudah’ jadi kawasan itu sudah aman damai. Istilah “Darussalam, Zona Damai, adalah hanya impian untuk Papua bukan kenyataan. Istilah tepat untuk Papua adalah “Papua Darul Harbi, Papua Zona Konflik”.

Perbendahaan yang kita pinjam disini tujuannya mau mengerti kenyataan sesungguhnya. Bukan sebaliknya, malah penulis tidak ada pretensi sedikitpun membuka sesuatu menjadi “telanjang bulat”. Sebaliknya penulis berpendapat bahwa dengan membuka wacana kedok dibalik apa yang tersembunyi, kita sesungguhnya sanggup, selalu harus mencoba memecahkan sejumlah konflik. Tulisan ini tentu saja tidak mengangkat persoalan secara menyeluruh, oleh sebab itu elaborasi lanjut terutama kerja-kerja konkrit dari kita semua lebih punya arti.

Secara garis besar konflik di Papua ada dua dimensi vertical dan horizontal. Konflik vertical saat ini melibatkan dua kekuatan secara berhadap-hadapan. Konflik ini pemicu utama dari sejumlah potensi konflik lain. Konflik antara dua kekuatan bersenjata dengan landasan ideology berbeda, penyelesaiaannya senantiasa berlarut-larut, sepanjang belum menyentuh akar persoalan konflik itu sendiri secara fundamental. Sebagai akibatnya konflik ini seakan tanpa pernah bisa berakhir untuk tidak dikatakan langgeng (abadi). Konflik dimensi vertical yang dirugikan adalah rakyat, “atas nama rakyat” dengan janji sanggup mensejahterakan, memakmurkan, akhirnya: “NKRI harga mati! Papua Merdeka harga mati!”.

Konnflik militer dalam arti konflik bersenjata antara TPN/OPM-TNI/POLRI sudah lama dan akut penyelesaiannya. Bahkan Otsus Papua sebagai jalan tengah kompromi antara PDP- Jakarta yang diduga dari awal sanggup meredam anasir konflik dimensi vertical-horizintal pada akhirnya terbantahkan. Malahan eskalasinya dan letupan berbau separatisme sering dan akhir-akhir ini letupan-letupan itu terus berlangsung sampai saat tulisan ini dibuat. Letupan-letupan gejolak konflik bersenjata antara TPN/OPM versus TNI/POLRI itu eskalasinya cukup tinggi, belum tahu, sampai kapan bisa berakhir, adalah pertanyaan senantiasa kecuali kemauan kompromi kedua pihak berseteru dengan jalan dialog.

Kedua konflik dimensi horizontal, memperhadapkan antara rakyat dengan rakyat namun punya dampak vertical dalam arti konflik ini dapat direkayasa oleh elit politik demi kekuasaannya. Konflik horizontal sumber utamanya dari sebab adanya persoalan ketidak adilan social politik dan ekonomi. Jika tidak diantisipasi maka akibatnya sesungguhnya memperhadap-hadapkan antar sesama rakyat sipil, pemicu utama biasanya oleh factor ekonomi, agama, namun dapat dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok bersenjata.

B. Konflik Dimensi Horizontal

Dalam masyarakat pluralistik (majemuk) seperti halnya mayarakat Papua dan yang itu tidak hanya pluralitas religius tapi etnisitas, maka potensi konflik secara horizontal sangat tinggi jika tidak diantisipasi sejak dini. Potensi konflik selalu mengancam kehidupan damai bersama kapan saja. Walaupun selama ini secara agak baik akulturasi-inkulturasi secara alami telah terjadi pada sebahagian masyarakat Papua. Namun gelombang urban tanpa terkontrol, apalagi adanya konflik dimensi vertical (TPN/OPM-TNI/POLRI) tentu saja semakin memperrumit persoalan penyelesaiannya.

Papua sesungguhnya sudah sejak lama menerima ’kehadiran’ yang jumlahnya tidak banyak tapi pada dekade ini bertepatan Otsus Papua, gelombang urbanisasi cukup mengkhawatirkan pihak lain tidaklah berlebihan. “Tenggelamnya Ras Melanesia”, demikian kekhawatiran mereka itu. Hal itu dinyatakan dalam buku Sendius Wonda, yang khawatir berakibat SARA dilarang beredar oleh Kejagung Jayapura beberapa waktu lalu. Bahkan para ahli Papua di Universitas Australia dalam sebuah konferensi mengatakan ada proses lain dan baru di Papua sedang terjadi sebagaimana kutipan berikut ini :

“Jika kecenderungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akanmenjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akanturun menjadi 15 persen minoritas pada 2030. Demikian prakiraan dalam sebuahkonferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. JimElsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre forPeace and Conflict Studies (CPACS).”. (http://www.apakabar.ws/content/view/1512/88888889/).

Demikian prediksi itu terlepas apakah ini benar atau hanya mitos belaka, namun momok menakutkan itu adalah adanya penyebutan jumlah penduduk baru dengan agama baru cenderung akan meningkat misalnya bahwa pada tahun 2013 akan menjadi mayoritas etnis tertentu. Dan pada tahun 2030 mayoritas beragama kebalikan dari kenyataan sekarang sebagaimana data BPS Propinsi Papua. Gelombang urbanisasi setiap hari sangat tinggi terutama kewat laut mangangkut orang-orang wajah baru untuk mengais rizki ditanah Papua. Jika gelombang urban tidak dibatasi, maka itu alamat “tenggelamnya ras Melanesia ”. Artinya Papua mayoritas penduduk berganti dari Melanesia menjadi Asia Tenggara Muslim.

1. Potensi Konfli Agama

Belakangan ini Papua dan Papua Barat muncul berbagai kelompok penyiaran agama. Lembaga penyiaran diorganisir masyarakat penganut agama itu sendiri. Organisasi penyiaran agama yang diorganisir dalam usaha mengembangkan penganut baru bagi penduduk asli Papua seringkali mengabaikan etika toleransi antar sesama agama semit. Semua agama besar dunia berikut alirannya berkompetisi menyebarkan agamanya di Tanah Papua dan merebut hati penduduk asli.

Agamaisasi (proses mengagamakan Papua) itu pada dasarnya baik tapi jika itu dilakukan tanpa memperhitungkan toleransi antar umat beragama, aspek baik sesungguhnya inti ajaran semua agama itu sendiri menjadi cacat dimata umat manusia, betapapun suatu agama memiliki nilai kebenaran dan kebaikan. Hal ini bermula indoktrinasi fanatik buta para penyiar agama kepada umatnya. Akibatnya konflik antar pemeluk agama di Papua merugikan masyarakat suku asli. Perebutan penganut agama baru orang Papua Asli oleh semua agama di Papua dewasa ini sesungguhnya merugikan masyarakat Adat Papua. Karena pada dasarnya Adat-Budaya Papua netral agama (entah Kristen, Islam, Hindu, Budha, Chonhucu atau agama apapun), budaya Papua menolak semua atau menerima semua asal tidak merugikan existence dirinya.

Ekslusifisme penyiaran agama tanpa kompromi dengan nilai-nilai lokal yang genuin disatu sisi dan disisi lain dialog antar umat beragama, sama artinya kita memindahkan kasus Ambon ke Papua. Berhadap-hadapan antar penduduk sipil asli yang umumnya Kristen (Katolik-Protestan) dan para pendatang yang umumnya beragama Islam. Masalahnya bahwa setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan tentang kebenaran agamanya, maka setiap agama mempunyai truth cliem, meski ada juga orang-orang yang membantahnya. Misalnya, bagi umat Islam, konsep teologi ''tauhid'' adalah benar. Bagi umat Nasrani ''trinity'' adalah benar. Bagi umat Hindu ''pantheism'' adalah benar. Dan begitu seterusnya.

Sebab agama, (agama apapun) selamanya adalah sejumlah dogma. Agama apapun selalu eksklusif, truth cliem tanpa mau berbagi kebaikan kebenaran agamanya pada lain diluar dirinya. Karena dan ini yang terjadi selama ini bahwa proses indoktrinasi dogma-dogma agama selalu di belakang pintu tertutup. Jika hal ini dibiarkan tanpa usaha jalan keluar dengan dialog antar pemeluk agama disatu sisi dan adat budaya disisi lain, maka berpotensi melahirkan konflik horizontal.

Beberapa waktu lalu Radio Nederland dalam siaran beritanya melaporkan adanya aliran-aliran agama baru yang ”meresahkan” dan itu berpotensi melahirkan konflik horinzontal antar masyarakat secara berhadap-hadapan baik antar satu agama lain aliran, maupun antar berbeda agama. Jika tidak diantisipasi maka konflik antar agama dan etnis dominan penganut satu agama diprediksikan akan mengusik kedamaian yang diidealkan para tokoh Papua dengan jargon ”Papua Zona Damai”.

Potensi konflik agama disatu sisi dan etnis disisi lain jika tidak diantisipasi dari sekarang maka akibatnya seperti kasus Ambon yang penganut agama Islam umumnya para pedagang pendatang BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Jawa-Madura sebaliknya Kristen penduduk Ambon Asli dari Tenggara. Laporan itu menyebut adanya berbagai aliran atau lebih tepat organisasi penyiaran agama oleh kelompok beragama garis keras sampai garis halus masuk mewabah ke tanah Papua diera Otsus Papua.

2. Konflik Politik berdampak Agama

Sudah rahasia umum selama ini, bahwa agama sebagai sarana empuk para elit politik digunakan untuk tujuan dan ambisi pribadi. Wacana politasasi agama, atau agama dipolitasasi oleh elit politik untuk kepentingan kekuasaan menjadi ramai menjelang Pilpres RI tahun 2009 ini. Para elit penguasa untuk mencapai tujuan seringkali menggunakan simbol-simbol agama untuk merebut hati konstituen.

Bahkan di Indonesia banyak partai berasaskan Islam/agama sudah menunjukkan politisasi agama, terlepas apologi mereka bahwa agama berdimensi dunia-akherat sekaligus. Akan tetapi atas nama kebaikan dan kebenaran agama menindas kelompok agama lain adalah resiko keburukan politisasi agama. Akhirnya agama memiliki dua wajah sekaligus baik-buruk.

Agama menjadi baik tatkala digunakan untuk tujuan baik, karena memang agama seringkali mengangkat derajat dan mengarahkan manusia kepada kebaikan yakni akhlaqul kariimah (keutamaan moral), dan itu terbukti diamana-dimana pada semua agama besar dunia.

Tapi juga agama bisa menjadi bias dan akhirnya dipandang buruk terutama ditampilkan sebagaimana oleh elit politik demi tujuan kekuasaan duniawi. Maka dengan sendirinya partai politik bersimbol agama menurunkan asumsi “suci” pada derajat tertentu. Konflik PDS dan PKB misalnya sudah tentu menunjukkan wajah agama kurang sedap dirasa orang biasa. Ini semua dipaparkan disini mau menujukkan bahwa agama dapat digunakan oleh manusia untuk kepentingan dan tujuan duniawi tidak hanya oleh para ulama/pendeta tetapi juga para elit politik untuk semata-mata kepentingan kekuasaan duniawi.

3. Konflik Antra Etnis

Di Malaysia konflik antar etnis Cina dan Melayu menyebabkan berdirinya negara Singapura yang dominant etnis Cina. Konflik demikian saat ini sedang terjadi beberapa waktu lalu yakni antara minoritas etnis India yang beragama Sikh otoritas Melayu berkuasa. Etnis minoritas dimana-mana sering jadi sasaran amuk mayoritas. Demikian juga di Malaysia etnis India beragama Sikh ditangkap penguasa negeri jiran mayoritas penduduk muslim itu.

Di Indonesia, Solo Jawa Tengah, Makasar, Sel-Sel, pernah pecah perang antar penduduk sipil. Sentimen pribumi pada Cina yang menguasai perekonomian terulang kembali punjaknya tahun 1998 dengan membakar hangus toko-toko milik Cina dan jadi sasaran amuk massa, didahului konflik sama di Rangkas dengklok. Letupan konflik dalam skala local sama pernah terjadi sebelumnya di Rangkas Dengklok, Sambas, Kebayoran Lama, Jakarta, dan lain-lain tempat cukup banyak terjadi di Indonesia.

Papua dianugerahi kekayaan alam luar biasa kaya raya, tapi jika tidak dimanage baik maka polarisasi antar etnik dan agama, apalagi Papua kini dengan penguasaan sector ekonomi oleh urban, tentu menyimpan bom waktu. Hal itu ditambah lagi dengan membandelnya oknum “amber” merebut berbagai jabatan public, dengan selalu menempatkan orang Papua tersubordinasi menjadikan antipati terhadap orang-orang “amber” (istilah populer Papua oleh penduduk asli bagi urban/pendatang) sudah barang tentu potensi konflik berdimensi tidak saja horizontal tapi juga berdimensi vertical nantinya. Ketidak adilan social, politik dan ekonomi jika tidak dimanage baik secara dini dengan konsep pemerataan ekonomi, dimana-mana selalu jadi pemicu social politik. Demikian juga dengan Papua apakah kita sanggup mengantisipasi potensi konflik horizontal apa tidak kita masih menyaksikan akan apa yang terjadi kedepan ini nanti.

4. Konflik Antar Suku

Perang suku di Timika, terlepas ada apanya, dengan hadirnya perusahaan Emas raksasa dunia milik Amerika itu, kita belum tahu, yang pasti perang suku disana sudah sering untuk tidak mengatakan biasa (tradisi) terjadi. Demikian juga di beberapa suku pedalaman Papua termasuk perang suku di Timika. Suku Dani Kabupaten Jayawi Jaya baru berdamai setelah dimediasi pemerintah secara resmi pada tahun 1992.

Tidak hanya itu polarisasi antar masyarakat pegunungan dan pesisir Pantai Papua seringkali memperlihatkan adanya konflik, hal itu terjadfi di level atas. Lukas Enembe pernah mengumpulkan para Bupati Pegunungan Tengan Papua berhadapan dengan dengan Gubernur kita saat ini.

Pemicu polarisasi antar suku di Papua selain perang suku secara tradisional lebih di sebabkan oleh akibat perebutan kekuasaan/jabatan, jika itu tidak dikelola secara baik elit kekuasaan maka dapat berimplikasi pada masyarakat bawah secara berhadap-hadapan antar sesama Papua “gunung-pesisir, Utara-selatan, Tengah dan sebaliknya.

Dewsa ini ada factor x seakan dapat menyatukan rakyat Papua, jika tidak potensi konflik antar suku, keyakinan agama amat gawat sesungguhnya. Belum konflik etnis antar papua non Papua. misalnya KKSS, FLABAMORA, KAWANUA dll. Konflik antar suku Papua non Papua sudah sering terjadi di Papua, pembakaran Pasar Abepura, pasar Entrop, Pasar Hamadi dan Pasar Sentani milik orang-orang pendatang setidaknya menyimpan demdam dan memori yang sewaktu-waktu terpicu kembali, jika kecenderungan penguasaan asset ekonomi dan bisnis serta keberpihakan pada rakyat Asli Papua tidak rekayasa oleh konseptor secara dini dari sekarang maka kedepan pemicu konflik.

B. Konflik Dimensi Vertikal

Banyak ideology politik dunia bersebaran dimana-mana. Papua tentu saja tidak steril dengan hal demikian, selama penegakan HAM, demokrasi secara konsisten oleh elit kekuasaan, maka potensi-potensi ledakan senantiasa tidak di ketahui persis. Oleh sebab itu secara substansial pemahaman “kemerdekaan” lebih diarahkan pada hal yang lebih konkrit berhadapan dengan idealisme simbolik terytory.

Kesejahteraan social, keadilan ekonomi bagi penduduk asli harus jadi prioritas kedepan sangat mendesak. Selama ini securty approach dianggap cukup efektif mengamankan potensi-potensi konflik di Papua dan itu tetap dipertahankan, maka kita sesungguhnya ikut berperan andil proses percepatan pembangunan persatuan bangsa sebaliknya disintegrasi. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat dan pembiaran penegakan hukum yang dilakukan oleh militer., menunjukkan kekerdilan jiwa “kita” sebagai bangsa besar , dan dampaknya jelas rasa ketidak adilan terus-menerus adalah proses percepatan perceraian kebangsaan kita sebagai satu bangsa Indonesia.

1. Konflik Elit Politik

Konflik oleh elit kekuasaan dalam memperebutkan jabatan public seringkali melibatkan masyarakat sebagai pendukung. Pejabat sebagai manusia biasa yang tentu mempunyai ambisi sebagai kita, individual, social tentu saja berimplikasi pada banyak pihak atas segala tindak tanduknya. Hal itu tentu saja berdampak besar dan luas pada masyarakat umum. Didepan tadi sudah di kemukakan adanya politisasi agama, oleh elit politik dan menggunakan rakyat sebagai tameng.

Selama ini atas nama rakyat, untuk kepentingan rakyat, banyak ideology seringkali mengorbankan orang banyak untuk mencapai ambisi pribadi. Konflik antar kesatuan di tubuh militer, dan antar faksi di Papua sering, adalah juga kerawanan lain dimensi vertical yang berimplikasi horizontal, akhirnya rakyatlah yang jadi korban.

2. Konflik Antar TPN/OPM-TNI/POLRI

Selama penegakan HAM dan demokrasi belum ditegakkan, ditambah lagi ketidak adilan social, ekonomi sepanjang itupula persoalan tidak akan bisa selesai. Kita hanya menunggu waktu, menyaksikan kapan episode-episode berikutnya setelah menyaksikan drama permainan elit dengan berbagai ideologinya tanpa pernah pasti kapan berakhirnya.

Mungkin konflik antara TPN/OPM-TNI/POLRI adalah konflik paling akut sepanjang pasca integrasi Papua kedalam NKRI. Sepanjang esistence kita disini dengan proses pembiaran dan berlarut-larut, maka sepanjang itupula konflik senantiasa meliput rakyat Papua tanpa pernah tahu kapan bisa berakhir. Konflik vertical dengan ideology berbeda selalu ada korban. Dengan akibat-akibat rakyatlah yang selalu dikorbankan atas nama nasionalisme, dan isme-isme lain yang datang menawarkan janji dan harapan akan mensejahterakan rakyat atau memperebutkan hati rakyat untuk ikut kecenderungan mereka, hasilnya yang dirugikan adalah juga masyarakat kebanyakan.

C. Pemecahan Konflik

Kita adalah manusia yang punya potensialitas rasio yang senantiasa mentrasendensi dari kenyataan kekinian dan disini melampaui kemasa depan. Rancangan masa depan hidup dan kehidupan seperti apa kita menginginkannya, kita pasti sanggup dan bias kita rancang, mengingat kemanusiaan manusia adalah suatu proses yang senantiasa “membelum”.
Manusia berbeda dari seekor kancil misalnya yang hanya punya insting. Namun tidak ingin jatuh pada lubang yang sama , apalagi kita manusia makhluk berakal dapat merencanakan dan sanggup merancang kehidupan dari kenyataan utopia menuju konkretisasi dari impian yang hanya live service belaka itu.

Dari sejumlah pemaparan fakta dan potensi konflik yang nyata ada di Papua. Jelas konflik berdimensi vertical dan horizontal menunjukkan kompleksitas persoalan sangat yang rumit. Dan itu terbantahkan impian “Papua Zona Damai”. Mengapa impian? Karena pada hakekatnya orang Papua memang tidak pernah damai.

Kata-kata “Papua Zona Damai’ dengan sendirinya idealisme yang utopis, sama halnya dengan kata ‘Papua Baru’, seperti apa ‘Papua Baru’ itu? Isi dan intinya kita semua tidak pernah merasa secara benar dan pasti memahaminya, kecuali suatu sikap pelarian dari kenyataan tidak memuaskan dengan berbagai potensi konflik yang ada dihadapan kita, lalu kita banyak buat jargon, misalnya “Papua Zona Damai” padahal kenyataan sesungguhnya ‘Papua Zona Darurat’. Menyatakan ”Papua Zona Damai” kata-kata tidak bermakna dari kenyataan ‘Papua zona Darurat’.