Minggu, 08 Mei 2011

WELTANSCHAUUNG PAPUA MERDEKA


       

Ismail Asso*

Apa Falsafah Papua Merdeka? 

Bagaimana format ideal weltanschauung yang dituangkan secara konstitusional sebagai suatu konsesus nasional bersama membangun kebangsaan Papua? Apa bentuk Negara Papua Merdeka? Dan bagaimana bentuk operasional idealisme kebangsaan nasional (nation state) para pemimpin gerakan Papua Merdeka? Pertanyaan inti ini sangat penting harus dijelaskan misalnya seputar apa sesungguhnya weltanschauung dari gerakan Papua merdeka? Kalangan awam Papua apalagi masyarakat urban tidak tahu tentang idealism para pemimpin soal weltanschauung Papua merdeka dalam kemajemukan rakyat dewasa ini.

Ideology suatu gerakan, apalagi urusan mendirikan Negara, sosialisasi soal ini penting dan mendasar agar bisa dimengerti, kalau tidak boleh bilang, bisa didukung semua pihak. Karena orang tanya; Apa konsep Negara Papua merdeka? Mengingat itu dan kenyataan, adakah Negara didunia yang masyarakatnya exclusive tertutup selain Negara komunis yang telah runtuh? Semua Negara modern menjamin kebebasan, keterbukaan, (inclusivisme) warganya berdaulat dalam arti demokratis dan menghargai hak asasi manusia beragam ras-agama.

Kalau begitu bentuk Negara diidealkan para pemimpin pejuang Papua seperti apa? Banyak bentuk tapi Negara baru berdaulat bukan berideologi komunis dan monarki otoriter (kerajaan) lebih memilih republic. Bentuk ini menjamin keterbukaan-kebebasan. Kedaulatan Negara ditangan rakyat. Republic (re-kembali, public-masyarakat umum, rakyat). Sejak revolusi politik Laicisme Prancis (liberty = kebebasan, humanity = kemanusiaan, egalirity = persamaan, dunia Eropa, Afrika, Asia dan Amerika, ada dua bentuk Negara dominant didunia ini, monarky dan republic dengan berbagai variasinya. Selain penting untuk kesepamahaman-keseragaman persepsi soal ini tujuannya gerakan tidak sporadis partial tapi konprehenshif tuntas sekaligus agar didukung dan dimengerti semua pihak.

Stigma OPM       

Kesan selama ini bicara Papua Merdeka identik selalu dengan OPM. Tapi mendengar kata tiga huruf ini persepsi orang ada dua. Pertama, kelomppok pendukung. Bagi mereka mendengar kata ini mulia, herois, suci dan mati karenanya mau. Kelompok kedua, OPM harus dimusnahkan. Pelaku hukumnya selain harus ditangkap, disiksa, dipenjara. Bicara Papua merdeka adalah subversive maka pelaku, pengikut yang terlibat gerakan ini harus dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.

Apa sebenarnya OPM itu? Apakah OPM hanya stigma militer konsumsi politik elit Negara ataukah ada yang lebih mendasar (substansial) dari itu sehingga wajib diketahui karena bicara hajat hidup (survival) orang banyak? Jika hanya stigma berarti dengan sendirinya ideology ini mulia tapi kalau sebaliknya maka harus dihapus karena itu harus ditinggalkan karena pada dirinya OPM negative. Tapi jika OPM maksudnya memperjuangkan hajat hidup orang banyak maka positive.

Disini penting dipertanyakan ulang agar kita tahu relevansi kata ini bagi kemajemukan dan perubahan konteks Papua kekinian untuk kedepan agar kekeliruaan persepsi orang yang terlanjur benar atau salah kaprah atas tiga huruf ini bisa diluruskan. OPM akronim; dari Organisasi Papua Merdeka, adalah suatu ideology gerakan pembebasan wilayah Papua dari politik integrasi NKRI atau politik aneksasi Soekarno tahun 1963 melalui PEPERA disaksikan UNTEA dibawah PBB.

OPM adalah ideology kemerdekaan bangsa Papua sebutan konvesional (umum) diluar masyarakat Papua lebih sebagai stigma negative daripada memahami idealisme ini sebagai alat (sarana) positive bertujuan memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan sejati kebangsaan Papua. Tapi apa wadah resmi gerakan OPM bertujuan mendirikan Negara? Dalam arti organisasi khusus sebagai alat perjuangan untuk mendirikan negara Papua Merdeka berdaulat penuh. Selama ini banyak pihak belum tahu. Hal itu tidak saja tidak diketahui orang diluar Papua tapi rakyat Papua sendiri.

Melalui Kongres Rakyat Papua ke-II tahun 2000, lahir tokoh sentral anak Sentani, Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dikelilingi sejumlah tokoh intelektual bergelar doctor teologi dan organisator seperti Yorys Raweyai (Pemuda Pancasila). Rakyat menaruh harapan besar pada mereka. Masyarakat Wamena turun gunung jalan kaki berkilo-kilo 5 hari untuk menghadiri kongres. Theys mengajukan diri sebagai ketua PDP (Presedium Dewan Papua) dalam konres tersebut dan terpilih. PDP dinahkodai almarhum Theys Hiyo Eluay cukup berarti. Sejak martirnya tokoh ini, PDP mati total terkubur bersama sang martir Theys.

Kini parktis PDP tanpa aktifitas berarti. Misalnya untuk konsolidasi organ faksi-faksi internal OPM. Ada TPN dihutan lebih sebagai gerakan “tribalisme” daripada suatu gerakan modern yang siap dengan pendekatan perjuangan profesional. Hanya anak-anak muda bergerak dipinggiran kota sebagai gerakan anti tesis mengisi kekosongan pasca PDP dan TPN dihutan, lebih sebagai gerakan prustasi daripada gerakan siap, terencana, padu dan professional baik secara teoritis maupun dalam aksi. Demikian internal faksi organ perjuangan soal ini penting diketahui rakyat Papua untuk dibenahi kedepan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa weltanschauung (wawasan) semua faksi OPM yang mendasari para pemimpin, pejuang gerakan, bertujuan mendirikan Negara Papua Merdeka? Tanpa filsafat tak mungkin ada gerakan padu, tapi gerakan tanpa pemahaman nation state benar dan tepat, gerakan selalu kacau tak terarah. Sebagai akibatnya gerakan selain lemah, tidak padu, tapi juga sporadic partial dalam aksi-aksinya. OPM hanya sebutan umum, kalau begitu apa wadah resmi sebagai alat pemersatu banyak faksi perjuangan Papua Merdeka?

Jika ada tapi dalam banyak faksi, maka rekomendasi saya disini segera bentuk wadah formal refresentatif gabungan semua organ. Tanpa wadah formal indikasinya gerakan perjuangan seperti itu biasanya muncul banyak faksi. Claimm elit pemimpin faksi sebagai gerakan paling absah, paling berjuang dan lain sebagainya semacam itu. Sebagai akibatnya gerakan tidak maju-maju, korban rakyat terus berjatuhan tapi perpaduan gerakan perjuangan rapuh dan akibatnya berlarut-larut tanpa hasil.

Pihak luar anggap gerakan seperti itu sebagai gerakan kesukuan  (tribalisme) bukan gerakan kebangsaan (nation state), bahkan ada yang anggap hanya protes biasa bukan bertujuan mendirikan negara adalah salah satu ciri gerakan pembebasan Papua Barat sedang terjadi kita saksikan bersama. Sejak dulu hingga kini, mungkin sampai nanti, OPM terus akan begitu terus, apabila tidak pernah ada kejelasan, apa konsep atau filsafat (weltanschauung), gerakan Papua merdeka.

Apa yang dimaksudkan disini selain tidak jelas bagaimana bentuk operasional konsep Negara Papua merdeka bagi para pejuang OPM dikalangan Gereja, teolog islam dan Kristen. Tapi juga penting diketahui public untuk dimengerti bagaimana bentuk operasional Negara Papua merdeka itu kelak merdeka. Apakah berbentuk republic kesatuan, seperti NKRI yang dipinjam dari filsafat Ernes Renan yang oleh Soekarno bukunya dibaca menjadi idealism kelak NKRI diproklamirkan meliputi Sabang-Merauke. Atau berbentuk negara serikat ala Thomas Jefferson seperti Amerika ataukah ada bentuk yang lain?

Kesan selama ini bicara urusan satu ini (baca Papua M) yang giat hanya kalangan teolog Gereja. Teolog islam misalnya pemimpin Ormas tak nampak terlibat jauh dalam soal perjuangan penegakan martabat kemanusiaan paling suci dan bernilai mulia disisi Tuhan ini. Ormas keagamaan satu ini, bagi mereka OPM sesuatu yang haram. Apakah karena tidak diikutkan sebagai bagian dari, atau dengan inisiatif sendiri tidak ambil bagian dalam proses itu, mereka tidak tertarik. Kesan akhirnya gerakan OPM bukan sebagai OPM tapi sebagai gerakan sectarian, kelompok cultur, keagamaan tertentu tanpa pelibatan lain.

Adakah didunia ini ada bentuk Negara teologi selain Negara islam yang terbelakang  dan gagal karena tidak seragam seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Arab Saudi yang masing-masing clieme diri sebagai Negara islam paling absah berdasar syari’at islam, tapi menampilkan wajah syari’ah berbeda malah lebih banyak menakutkan akhirnya dianggap -tuduhan Barat -melanggar HAM dan tidak demokratis? Vatikan di Italia tempat dimana Paus berdiam membawahi Keuskupan dunia diatur dari sana, ternyata lebih sebagai organisasi keagamaan bukan organisasi kenegaraan.

Jika demikian apa idealism konsep ketatanegaraan penggiat gerakan Papua merdeka dari kalangan teolog bagi masa depan Papua hendak dimerdekakan? Apakah bagi mereka Papua Merdeka, berarti mengharuskan mereka mengusir seluruh penduduk warga pendudukan sebagai orang non Papua dan islam? Hanya agama tertentu tanpa agama lain, dan jenis manusia tertentu tanpa manusia etnis lain. Agama dan jenis manusia lain tidak ada tempat, dalam arti tidak boleh ada, dalam Negara yang akan dibentuk oleh dominasi pejuang kelompok seragam agama tertentu?

Jika jawabannya tidak, tapi untuk semua, sebagaimana anti Apatheid di Afrika Selatan ada Syeik Yusuf Al-Makassari dari Sulawesi Selatan, Mahatma Gandhi dari India bersama Mandela dan Uskup Tutu atau perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Timor Leste banyak pejuang keturunan Arab. Sebagai bagian dari etnis dan unit msayarakat satu dan sama bernama Papua kelak merdeka atau hendak diperjuangkan. Namun berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penyaksian perjuangan soal ini, konsepsi, soal weltanschauung Papua Merdeka bagi kebanyakan penggiatnya menunjukkan bukti dan fakta lain.

Kenyataan aksi lapangan diperlihatkan gerakan perjuangan Papua selama ini warga sesama sipil, etnis dan agama tertentu dikorbankan, seakan mereka melarang atau menghambat atau mungkin karena begitu, mereka jarang tertarik, tidak ikut serta sehingga jangan boleh ada disini dan jangan terlibat. Pergerakan OPM jadinya hanya milik dan tanggungjawab etnis tertentu tanpa usaha melibatkan semua bahwa itu tanggungjawab holistic kemanusiaan manusia sejagad siapapun dan agama apapun manusia.

Kembali ke soal OPM, mendengar kata ini orang tertentu kata ini heroistik, membanggakan sebagai penegakan rasa keadilan dan kemanusiaan diri. Namun bagi yang lain kata ini mengerikan. Selain harus dimusnahkan, bagi pelaku terlibat hukumanya penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, akhirnya tembak mati. Terlibat OPM menuju pintu mengerikan, ditembak mati, bicara Papua merdeka hukumnya haram, pelaku terlibat gerakan ini melewati satu pintu dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.

Nasionalisme Papua

Konsepsi mempengaruhi persepsi umum. Sejauhmana konsep gerakan Papua merdeka didukung masyarakat internasional sebagai sebuah gerakan kesukuan atau kebangsaan? Mengetahui ini urgensinya bagaimana konsepsi para ideolog menyadari, nilai positif, bahwa pluralitas masyarakat Papua beserta dinamika penduduknya adalah rahmat bagi kekuatan identitas kebangsaan Papua. Sebagai bangsa kemajemukan alat nasionalisme kebangsaan dalam proses demokrasi. Karena itu kemajemukan adalah kekuatan nasionalisme dalam pluralitas rakyat Papua.

Kemajemukan kenyataan alami yang wajar dalam dinamika sosial masyarakat manapun dunia. Demikian dengan rakyat Papua sebagai prasyarat utama dan terutama sebagai bangsa demokratis, metropolis, modern yang diidealkan bangsa-bangsa modern dewasa ini. Dengan adanya berbagai karakteristik sosial dan dinamika budaya Papua sebagai rahmat dan prasyarat utama Nasionalisme kebangsaan Papua.

Persoalannya adalah bagaimana merubah paradigma berfikir, persepsi internal rakyat Papua bahwa pluralitas (kemajemukan) bukan saja alami, tapi juga tercipta bernilai positif. Pandangan ini berarti mau memandang keseluruhan rakyat Papua, tanpa mempermasalahkan etnik, keturunan, marga, rambut, warna kulit, agama, bahasa sebagaimana keseluruhan nyata ada di Papua adalah satu kesatuan bangsa Papua. Demikian harusnya konsepsi nasionalisme Papua terwujud.

Papua sebagai bangsa sudah memenuhi syarat dengan infrasructur sosial beragam latarbelakang. Realiatas demikian sarana terwujudnya fatsun politik demokratis dan modern. Dinamika yang ada dalam masyarkat Papua sebagai dasar utama dan terutama (par exelence) sebagai sebuah bangsa kelak terbentuk. Pluralistas sebagai alat inovasi peradaban estetik maha unik, dari semua keindahan, karena menyangkut manusia dan disini letak seni keunikannya. Pluralisme selain alami sebagai sarana penting aktualisasi nilai-nilai demokrasi modern dalam pengertian sesungguhnya yang ideal.

Semua sebagai khasanah kekayaan sekaligus keunikan berharga. Tinggal bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua sebagai sebuah bangsa berdaulat dapat terwujud didukung semua element Papua adalah tugas dan tanggungjawab seluruh komponent komunitas Papua tanpa kecuali. Darimanapun asal usul keturunanya, etnisnya, warna kulitnya, bahasa ibunya dan agamanya tetap satu orang Papua.

Papua Dan Tribalisme

Berbeda dari optimisme ini yang berpandangan sebaliknya, menganggap jika terbentuk suatu regime berkuasa tentu berpotensi polarisasi rakyat Papua secara dikhotomis. Demikian asumsi pesimistik bahwa bukan sebagai kekuatan nasionalisme Papua; sebaliknya polarisasi akhirnya diskriminasi; jadi, persepsi negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua adalah sektarianisme, tribalisme, dan primordialime akhirnya disintegrasi nasional Papua. Karena itu pembentukan nation Papua independent suatu hal muspra.

Mereka yang berpandangan begitu mempertahankan Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI, suatu hal tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan, pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu pelucutan martabat manusia atas manusia, sedang terjadi didepan mata. Ulama islam Papua diam, seakan tidak ada pesan agama islam soal ini. Untuk refleksi sekaligus kejujuran nurani kita semua, saya perlu kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan ketua Muhammadiyah, seorang sejarawan, pemikir terkemuka Indonesia judul: “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”. Pendahuluan makalahnya dengan rasa syukur karena terbebas dari penjajahan politik dan militer tapi masih terjajah secara ekonomi dan budaya. Dia nyatakan itu setelah lewat beberapa hari perayaan HUT NKRI. Saya kutip:
                              
Kita baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama”. Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas : “proses brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.
                                    
Itu terjadi ada dalam Negara Indonesia, bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum Merdeka? Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia masih begitu. Bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya? Coba simak berikut yang dia kutip tulisan Mostafa Rejai judul : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, lengkapnya sbb :

“Sistem penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga; nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain. Imprealisme menampakkan berbagai bentuk : politik, ekonomi, dan cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain”.

Kita sulit membayangkan tapi semua yang dipaparkan Syafi’i kutipan diatas cukup mewakili kenyataan Papua sesungguhnya. Malah Papua lebih gawat dari paparan kutipan tulisan Ma’arif. Mengingat Papua sepenuhnya secara politik, militer, ekonomi dan budaya belum merdeka. Bagaimana Ma’arif bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Papua. Kalau kita mengkontraskan tulisan syafi’i antara Indonesia dengan bangsa Papua, maka Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses genosida. Saya kutip agak panjang agar menjadi refleksi kita.

Tapi mengapa? Malah sebaliknya menganggap lebih baik mengintegrasikan diri didalam nation yang telah ada, serta menerima kedholiman sebagai jalan terbaik dari pilihan lain (memuliakan kemanusiaan manusia Papua) yang dichotomi oleh akibat polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko, diskriminatif dan otoriter mayoritas regime. Demikian pandangan sementara yang pesimistik.

Asumsi ini bisa dibenarkan bahwa masyarakat Papua yang tersebar Pegunungan Tengah disatu pihak dan Pesisir-Pulau dilain pihak dan urban selalu ada ruang, nuansa distingtif, dalam budaya, bahasa tapi juga persepsi kebangsaan. Demikian paradigma pendekatan perjuangan Papua Merdeka. TPN/OPM violence dan PDP/DAP disubdience adalah fakta yang tidak saja memperkuat asumsi pihak lain adanya faksi yang menimbulkan ketidakmampuan Papua menentukan nasib sendiri. Itu logika pesimisme realitas tak terbantahkan bahwa Papua belum mampu, terlepas dari aneksasi Indonesia. Karena itu mereka tidak mendukung malah menghambat.

Pluralisme adalah natural kemanusiaan, yang senantiasa ada dimana-mana berdimensi univerasal. Pluralitas keniscayaan manusia dimana, dan pada masyarakat bagaimanapun. Pluralisme harus, karena itu ada, tidak bagaimana, tapi itulah realitas kemanusiaan yang manusiawi selalu. Papua ditambah dengan anasir-anasir baru dalam proses idealisme sebagai satu kesatuan bangsa terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang masuk menyatu dalam budaya papua.

Akulturasi dan inkulturasi akibat urbanisasi tentu dengan sendirinya tercipta peradaban baru Papua. Adaptasi terus menerus oleh transformasi nilai-nilai baru positif, adat dan kebudayaan Papua tetap dipertahankan. Memelihara dan mempertahankan nilai-nilai lama baik dan menggambil baru lebih baik adalah suatu keharusan bagi kita. Nasionalisme Papua, dengan demikian secara harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini.

Karena itu optimisme selalu harus dimiliki orang Papua tanpa menganggap hal itu sebagai negatif. Sebab apa yang dinamakan demokrasi dalam pengertian universal akar-akarnya sudah ada dalam budaya kita, budaya Papua, secara keseluruhan (Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Tidak satupun, budaya kita, budaya Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama manusia.

Bahaya Dikhotomi

Dikhotomisasi yang berpotensi polarisasi yang berakibat disintegrasi internal Papua harus diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha senantiasa dan terus menerus sebagaimana pengertian demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya benturan kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang demokratis dalam era kedepan ini harus dikelola baik. Karena secara kasat mata terkesan menyatu dalam permukaannya namun tidak demikian yang berkembang dibawah kesadaran yang tidak teramati.

Demikian itu mengawatirkan akibat negative-nya menimbulkan polarisasi, tidak saja pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam namun demikian dapat terjadi pada level elit intelectual. Padahal idealnya, sebagai kelompok elit terdidik dasar-dasar gerakan perjuangan selalu merujuk pada konteks sosial budaya Papua, guna membangkitkan nasionalisme Papua, tanpa terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit intelectual sebagai konseptor seharusnya tidak, karena itu memang jangan, terjebak pada polarisasi yang terkesan sektarianme antara sesama warga Papua.

Egosentrisme elit intelectual terkemuka Papua yang diikuti dan teramati, sejauh yang nampak kesan demikian ada, tidak menutup kemungkinan tidak ada harus benar-benar tidak boleh ada, karena memang tidak baik ada, yang memang ada itu. Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman dan pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak pemahaman, mutlak kebaikan, tanpa ada ruang dialektika. Karena itu selalu dogmatis, tertutup, tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai doktrin sesuai kontek sosial kecuali selalu harus mutlak benar sendiri.

Demikian itu dapat terjerumus pada thrus cliem, diri sendiri yang paling benar. Kebenaran diborong sendiri, seakan orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan menyangkut Papua Merdeka bila yang ada model pandangan begini, sekalipun memang yang ada demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya menunggu waktu, semua kekayaan Papua habis, dikuras, dirampok asing internasional.

Perjuangan hanya tinggal perjuangan, tidak ada yang tersisa. Lalu dimana peran dan tanggungjawab kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama dan Cendikiawan Papua? Agar kekayaan alam Papua yang kaya raya ada tersisa sedikit demi anak cucu nanti? Mengapa membiarkan diri terus mati dibunuh, HIV/AIDS, tidak ada lagi generasi muda usia produktif tersisa? Tidak sadarkah kita orang Papua hanya menunggu mati menuju genosida (kepunahan) abadi?

Sektarianisme akibat egosentrisme, biasanya bermula dari anggapan subyektif, benar mutlak sendiri, trush cliem seperti itu menimbulkan disintegrasi antar sesama komunitas Papua kedalam, (internal Papua), pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam kondisi Papua harus berjuang memebaskan diri. Kedepan kesediaan tokoh membuka diri memikirkan masa depan Papua mutlak perlu disini urgensinya tema ini diangkat disini.

Primordialisme

Adalah alami, kodrati, bahwa manusia adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita mengenal mulai dari Ibu-ayah, kerabat dekat, orang sekampung dan seterusnya sebagai sesama warga negara. Semua itu alami apa yang dinamakan primordialisme. Melalui lingkungan, interaksi sosial pribadi otonom menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan nasionalisme, namun primordialisme selalu dan selamanya mengingatkan kita pada akar dimana melaluinya kita ada. Masa tertentu kita rindu, begitu tiba-tiba menghadapi masalah, untuk kembali mengadukan kepada orang yang paling terdekat.

Ketika merantau, jauh dari kampung halaman, kita rindu ingin pulang kampung, ingin berkumpul dengan orang terkasih. Maka yang demikian itu adalah unsur primordialisme positif alami. Namun yang negatif adalah primordial kesukuan, egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok sukunya yang hebat, dan karena itu tidak mau menerima sesuatu kebenaran kalau sumbernya bukan dari kebenaran kelompoknya.

Nasionalisme Papua harus dikontruksi dari nilai-nilai budaya Papua sendiri. Guna memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua, bertanah air tanah Papua. Bangunan yang kita sebut sebagai Nasionalisme papua adalah rasa solidaritas antar sesama anak bangsa Papua yang majemuk dari masyarakat pegunungan, lereng, lembah, pesisir, pulau, pendatang dll.

Keunikan alami primordial hanyalah faktor kebetulan, tanpa pernah kita merencanakanya dalam arti untuk kita menjadi berbeda secara dikhotomis negatif. Semua adalah hukum alam, semua begitu saja adanya, mengalir, dan kita hanya mendapati itu baru setelah bertemu dengan yang lain, akhirnya, kita mendapati diri, lalu mengindentifikasi diri sebagai Si Ismail Asso, karena mengetahui primordial diri otonom dan pada saat sama memiliki potensi ingin mengenal yang lain. Manusia sepenuhnya pribadi social butuh orang lain. Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda, simbol, sampai belum usai habis usia. Primordialisme adalah hal yang sifatnya alami ada dengan indentifikasi sebagai nama, agama, marga ini-itu.

Primordialisme adalah sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri ketika tiba-tiba mendapati diri ada, hadir dimuka manusia lain, baik kerabat, saudara dekat-jauh maupun orang baru. Ada aspek melekat dalam diri manusia ingin mengenal. Akhirnya mengerti siapa saya, maupun dengan sesama yang secara bersama mendiami suatu wilayah dalam hal ini Papua. Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan dan persatuan akar-akarnya digali dari aspek kesukuan yang bersifat primordial positif.

*Disini saya hanya memberikan inspirasi positive atau negative terserah orang menilainya. ‘Qulil haq walaw kana muran’ (Artinya : “Katakalah olehmu soal kebenaran walaw itu pahit akibatnya”. Al-Hadits).

*Ismail Asso : Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua adalah kelahiran Walesi Wamena pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor dan Mantan Qori Nasional utusan Propinsi Papua (Irian Jaya) tahun 1988 di Bandar Lampung Sumatera.
                                                      


Selasa, 26 April 2011

WALTANSCHAUUNG PAPUA MERDEKA

      
                          
Ismail Asso*

Apa Falsafah Papua Merdeka? 

Bagaimana format ideal weltanschauung yang dituangkan secara konstitusional sebagai suatu konsesus nasional bersama membangun kebangsaan Papua? Apa bentuk Negara Papua Merdeka? Dan bagaimana bentuk operasional idealisme kebangsaan nasional (nation state) para pemimpin gerakan Papua Merdeka? Pertanyaan inti ini sangat penting harus dijelaskan misalnya seputar apa sesungguhnya weltanschauung dari gerakan Papua merdeka? Kalangan awam Papua apalagi masyarakat urban tidak tahu tentang idealism para pemimpin soal weltanschauung Papua merdeka dalam kemajemukan rakyat dewasa ini.

Ideology suatu gerakan, apalagi urusan mendirikan Negara, sosialisasi soal ini penting dan mendasar agar bisa dimengerti, kalau tidak boleh bilang, bisa didukung semua pihak. Karena orang tanya; Apa konsep Negara Papua merdeka? Mengingat itu dan kenyataan, adakah Negara didunia yang masyarakatnya exclusive tertutup selain Negara komunis yang telah runtuh? Semua Negara modern menjamin kebebasan, keterbukaan, (inclusivisme) warganya berdaulat dalam arti demokratis dan menghargai hak asasi manusia beragam ras-agama.

Kalau begitu bentuk Negara diidealkan para pemimpin pejuang Papua seperti apa? Banyak bentuk tapi Negara baru berdaulat bukan berideologi komunis dan monarki otoriter (kerajaan) lebih memilih republic. Bentuk ini menjamin keterbukaan-kebebasan. Kedaulatan Negara ditangan rakyat. Republic (re-kembali, public-masyarakat umum, rakyat). Sejak revolusi politik Laicisme Prancis (liberty = kebebasan, humanity = kemanusiaan, egalirity = persamaan, dunia Eropa, Afrika, Asia dan Amerika, ada dua bentuk Negara dominant didunia ini, monarky dan republic dengan berbagai variasinya. Selain penting untuk kesepamahaman-keseragaman persepsi soal ini tujuannya gerakan tidak sporadis partial tapi konprehenshif tuntas sekaligus agar didukung dan dimengerti semua pihak.

Stigma OPM       

Kesan selama ini bicara Papua Merdeka identik selalu dengan OPM. Tapi mendengar kata tiga huruf ini persepsi orang ada dua. Pertama, kelomppok pendukung. Bagi mereka mendengar kata ini mulia, herois, suci dan mati karenanya mau. Kelompok kedua, OPM harus dimusnahkan. Pelaku hukumnya selain harus ditangkap, disiksa, dipenjara. Bicara Papua merdeka adalah subversive maka pelaku, pengikut yang terlibat gerakan ini harus dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.

Apa sebenarnya OPM itu? Apakah OPM hanya stigma militer konsumsi politik elit Negara ataukah ada yang lebih mendasar (substansial) dari itu sehingga wajib diketahui karena bicara hajat hidup (survival) orang banyak? Jika hanya stigma berarti dengan sendirinya ideology ini mulia tapi kalau sebaliknya maka harus dihapus karena itu harus ditinggalkan karena pada dirinya OPM negative. Tapi jika OPM maksudnya memperjuangkan hajat hidup orang banyak maka positive.

Disini penting dipertanyakan ulang agar kita tahu relevansi kata ini bagi kemajemukan dan perubahan konteks Papua kekinian untuk kedepan agar kekeliruaan persepsi orang yang terlanjur benar atau salah kaprah atas tiga huruf ini bisa diluruskan. OPM akronim; dari Organisasi Papua Merdeka, adalah suatu ideology gerakan pembebasan wilayah Papua dari politik integrasi NKRI atau politik aneksasi Soekarno tahun 1963 melalui PEPERA disaksikan UNTEA dibawah PBB.

OPM adalah ideology kemerdekaan bangsa Papua sebutan konvesional (umum) diluar masyarakat Papua lebih sebagai stigma negative daripada memahami idealisme ini sebagai alat (sarana) positive bertujuan memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan sejati kebangsaan Papua. Tapi apa wadah resmi gerakan OPM bertujuan mendirikan Negara? Dalam arti organisasi khusus sebagai alat perjuangan untuk mendirikan negara Papua Merdeka berdaulat penuh. Selama ini banyak pihak belum tahu. Hal itu tidak saja tidak diketahui orang diluar Papua tapi rakyat Papua sendiri.

Melalui Kongres Rakyat Papua ke-II tahun 2000, lahir tokoh sentral anak Sentani, Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dikelilingi sejumlah tokoh intelektual bergelar doctor teologi dan organisator seperti Yorys Raweyai (Pemuda Pancasila). Rakyat menaruh harapan besar pada mereka. Masyarakat Wamena turun gunung jalan kaki berkilo-kilo 5 hari untuk menghadiri kongres. Theys mengajukan diri sebagai ketua PDP (Presedium Dewan Papua) dalam konres tersebut dan terpilih. PDP dinahkodai almarhum Theys Hiyo Eluay cukup berarti. Sejak martirnya tokoh ini, PDP mati total terkubur bersama sang martir Theys.

Kini parktis PDP tanpa aktifitas berarti. Misalnya untuk konsolidasi organ faksi-faksi internal OPM. Ada TPN dihutan lebih sebagai gerakan “tribalisme” daripada suatu gerakan modern yang siap dengan pendekatan perjuangan profesional. Hanya anak-anak muda bergerak dipinggiran kota sebagai gerakan anti tesis mengisi kekosongan pasca PDP dan TPN dihutan, lebih sebagai gerakan prustasi daripada gerakan siap, terencana, padu dan professional baik secara teoritis maupun dalam aksi. Demikian internal faksi organ perjuangan soal ini penting diketahui rakyat Papua untuk dibenahi kedepan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa weltanschauung (wawasan) semua faksi OPM yang mendasari para pemimpin, pejuang gerakan, bertujuan mendirikan Negara Papua Merdeka? Tanpa filsafat tak mungkin ada gerakan padu, tapi gerakan tanpa pemahaman nation state benar dan tepat, gerakan selalu kacau tak terarah. Sebagai akibatnya gerakan selain lemah, tidak padu, tapi juga sporadic partial dalam aksi-aksinya. OPM hanya sebutan umum, kalau begitu apa wadah resmi sebagai alat pemersatu banyak faksi perjuangan Papua Merdeka?

Jika ada tapi dalam banyak faksi, maka rekomendasi saya disini segera bentuk wadah formal refresentatif gabungan semua organ. Tanpa wadah formal indikasinya gerakan perjuangan seperti itu biasanya muncul banyak faksi. Claimm elit pemimpin faksi sebagai gerakan paling absah, paling berjuang dan lain sebagainya semacam itu. Sebagai akibatnya gerakan tidak maju-maju, korban rakyat terus berjatuhan tapi perpaduan gerakan perjuangan rapuh dan akibatnya berlarut-larut tanpa hasil.

Pihak luar anggap gerakan seperti itu sebagai gerakan kesukuan  (tribalisme) bukan gerakan kebangsaan (nation state), bahkan ada yang anggap hanya protes biasa bukan bertujuan mendirikan negara adalah salah satu ciri gerakan pembebasan Papua Barat sedang terjadi kita saksikan bersama. Sejak dulu hingga kini, mungkin sampai nanti, OPM terus akan begitu terus, apabila tidak pernah ada kejelasan, apa konsep atau filsafat (weltanschauung), gerakan Papua merdeka.

Apa yang dimaksudkan disini selain tidak jelas bagaimana bentuk operasional konsep Negara Papua merdeka bagi para pejuang OPM dikalangan Gereja, teolog islam dan Kristen. Tapi juga penting diketahui public untuk dimengerti bagaimana bentuk operasional Negara Papua merdeka itu kelak merdeka. Apakah berbentuk republic kesatuan, seperti NKRI yang dipinjam dari filsafat Ernes Renan yang oleh Soekarno bukunya dibaca menjadi idealism kelak NKRI diproklamirkan meliputi Sabang-Merauke. Atau berbentuk negara serikat ala Thomas Jefferson seperti Amerika ataukah ada bentuk yang lain?

Kesan selama ini bicara urusan satu ini (baca Papua M) yang giat hanya kalangan teolog Gereja. Teolog islam misalnya pemimpin Ormas tak nampak terlibat jauh dalam soal perjuangan penegakan martabat kemanusiaan paling suci dan bernilai mulia disisi Tuhan ini. Ormas keagamaan satu ini, bagi mereka OPM sesuatu yang haram. Apakah karena tidak diikutkan sebagai bagian dari, atau dengan inisiatif sendiri tidak ambil bagian dalam proses itu, mereka tidak tertarik. Kesan akhirnya gerakan OPM bukan sebagai OPM tapi sebagai gerakan sectarian, kelompok cultur, keagamaan tertentu tanpa pelibatan lain.

Adakah didunia ini ada bentuk Negara teologi selain Negara islam yang terbelakang  dan gagal karena tidak seragam seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Arab Saudi yang masing-masing clieme diri sebagai Negara islam paling absah berdasar syari’at islam, tapi menampilkan wajah syari’ah berbeda malah lebih banyak menakutkan akhirnya dianggap -tuduhan Barat -melanggar HAM dan tidak demokratis? Vatikan di Italia tempat dimana Paus berdiam membawahi Keuskupan dunia diatur dari sana, ternyata lebih sebagai organisasi keagamaan bukan organisasi kenegaraan.

Jika demikian apa idealism konsep ketatanegaraan penggiat gerakan Papua merdeka dari kalangan teolog bagi masa depan Papua hendak dimerdekakan? Apakah bagi mereka Papua Merdeka, berarti mengharuskan mereka mengusir seluruh penduduk warga pendudukan sebagai orang non Papua dan islam? Hanya agama tertentu tanpa agama lain, dan jenis manusia tertentu tanpa manusia etnis lain. Agama dan jenis manusia lain tidak ada tempat, dalam arti tidak boleh ada, dalam Negara yang akan dibentuk oleh dominasi pejuang kelompok seragam agama tertentu?

Jika jawabannya tidak, tapi untuk semua, sebagaimana anti Apatheid di Afrika Selatan ada Syeik Yusuf Al-Makassari dari Sulawesi Selatan, Mahatma Gandhi dari India bersama Mandela dan Uskup Tutu atau perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Timor Leste banyak pejuang keturunan Arab. Sebagai bagian dari etnis dan unit msayarakat satu dan sama bernama Papua kelak merdeka atau hendak diperjuangkan. Namun berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penyaksian perjuangan soal ini, konsepsi, soal weltanschauung Papua Merdeka bagi kebanyakan penggiatnya menunjukkan bukti dan fakta lain.

Kenyataan aksi lapangan diperlihatkan gerakan perjuangan Papua selama ini warga sesama sipil, etnis dan agama tertentu dikorbankan, seakan mereka melarang atau menghambat atau mungkin karena begitu, mereka jarang tertarik, tidak ikut serta sehingga jangan boleh ada disini dan jangan terlibat. Pergerakan OPM jadinya hanya milik dan tanggungjawab etnis tertentu tanpa usaha melibatkan semua bahwa itu tanggungjawab holistic kemanusiaan manusia sejagad siapapun dan agama apapun manusia.

Kembali ke soal OPM, mendengar kata ini orang tertentu kata ini heroistik, membanggakan sebagai penegakan rasa keadilan dan kemanusiaan diri. Namun bagi yang lain kata ini mengerikan. Selain harus dimusnahkan, bagi pelaku terlibat hukumanya penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, akhirnya tembak mati. Terlibat OPM menuju pintu mengerikan, ditembak mati, bicara Papua merdeka hukumnya haram, pelaku terlibat gerakan ini melewati satu pintu dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.

Nasionalisme Papua

Konsepsi mempengaruhi persepsi umum. Sejauhmana konsep gerakan Papua merdeka didukung masyarakat internasional sebagai sebuah gerakan kesukuan atau kebangsaan? Mengetahui ini urgensinya bagaimana konsepsi para ideolog menyadari, nilai positif, bahwa pluralitas masyarakat Papua beserta dinamika penduduknya adalah rahmat bagi kekuatan identitas kebangsaan Papua. Sebagai bangsa kemajemukan alat nasionalisme kebangsaan dalam proses demokrasi. Karena itu kemajemukan adalah kekuatan nasionalisme dalam pluralitas rakyat Papua.

Kemajemukan kenyataan alami yang wajar dalam dinamika sosial masyarakat manapun dunia. Demikian dengan rakyat Papua sebagai prasyarat utama dan terutama sebagai bangsa demokratis, metropolis, modern yang diidealkan bangsa-bangsa modern dewasa ini. Dengan adanya berbagai karakteristik sosial dan dinamika budaya Papua sebagai rahmat dan prasyarat utama Nasionalisme kebangsaan Papua.

Persoalannya adalah bagaimana merubah paradigma berfikir, persepsi internal rakyat Papua bahwa pluralitas (kemajemukan) bukan saja alami, tapi juga tercipta bernilai positif. Pandangan ini berarti mau memandang keseluruhan rakyat Papua, tanpa mempermasalahkan etnik, keturunan, marga, rambut, warna kulit, agama, bahasa sebagaimana keseluruhan nyata ada di Papua adalah satu kesatuan bangsa Papua. Demikian harusnya konsepsi nasionalisme Papua terwujud.

Papua sebagai bangsa sudah memenuhi syarat dengan infrasructur sosial beragam latarbelakang. Realiatas demikian sarana terwujudnya fatsun politik demokratis dan modern. Dinamika yang ada dalam masyarkat Papua sebagai dasar utama dan terutama (par exelence) sebagai sebuah bangsa kelak terbentuk. Pluralistas sebagai alat inovasi peradaban estetik maha unik, dari semua keindahan, karena menyangkut manusia dan disini letak seni keunikannya. Pluralisme selain alami sebagai sarana penting aktualisasi nilai-nilai demokrasi modern dalam pengertian sesungguhnya yang ideal.

Semua sebagai khasanah kekayaan sekaligus keunikan berharga. Tinggal bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua sebagai sebuah bangsa berdaulat dapat terwujud didukung semua element Papua adalah tugas dan tanggungjawab seluruh komponent komunitas Papua tanpa kecuali. Darimanapun asal usul keturunanya, etnisnya, warna kulitnya, bahasa ibunya dan agamanya tetap satu orang Papua.

Papua Dan Tribalisme

Berbeda dari optimisme ini yang berpandangan sebaliknya, menganggap jika terbentuk suatu regime berkuasa tentu berpotensi polarisasi rakyat Papua secara dikhotomis. Demikian asumsi pesimistik bahwa bukan sebagai kekuatan nasionalisme Papua; sebaliknya polarisasi akhirnya diskriminasi; jadi, persepsi negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua adalah sektarianisme, tribalisme, dan primordialime akhirnya disintegrasi nasional Papua. Karena itu pembentukan nation Papua independent suatu hal muspra.

Mereka yang berpandangan begitu mempertahankan Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI, suatu hal tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan, pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu pelucutan martabat manusia atas manusia, sedang terjadi didepan mata. Ulama islam Papua diam, seakan tidak ada pesan agama islam soal ini. Untuk refleksi sekaligus kejujuran nurani kita semua, saya perlu kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan ketua Muhammadiyah, seorang sejarawan, pemikir terkemuka Indonesia judul: “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”. Pendahuluan makalahnya dengan rasa syukur karena terbebas dari penjajahan politik dan militer tapi masih terjajah secara ekonomi dan budaya. Dia nyatakan itu setelah lewat beberapa hari perayaan HUT NKRI. Saya kutip:

Kita baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama”. Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas : “proses brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.

Itu terjadi ada dalam Negara Indonesia, bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum Merdeka? Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia masih begitu. Bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya? Coba simak berikut yang dia kutip tulisan Mostafa Rejai judul : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, lengkapnya sbb :

“Sistem penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga; nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain. Imprealisme menampakkan berbagai bentuk : politik, ekonomi, dan cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain”.

Kita sulit membayangkan tapi semua yang dipaparkan Syafi’i kutipan diatas cukup mewakili kenyataan Papua sesungguhnya. Malah Papua lebih gawat dari paparan kutipan tulisan Ma’arif. Mengingat Papua sepenuhnya secara politik, militer, ekonomi dan budaya belum merdeka. Bagaimana Ma’arif bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Papua? Kalau kita mengkontraskan tulisan syafi’i antara Indonesia dengan bangsa Papua, maka Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses genosida. Saya kutip agak panjang agar menjadi refleksi kita.

Tapi mengapa? Malah sebaliknya menganggap lebih baik mengintegrasikan diri didalam nation yang telah ada, serta menerima kedholiman sebagai jalan terbaik dari pilihan lain (memuliakan kemanusiaan manusia Papua) yang dichotomi oleh akibat polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko, diskriminatif dan otoriter mayoritas regime. Demikian pandangan sementara yang pesimistik.

Asumsi ini bisa dibenarkan bahwa masyarakat Papua yang tersebar Pegunungan Tengah disatu pihak dan Pesisir-Pulau dilain pihak dan urban selalu ada ruang, nuansa distingtif, dalam budaya, bahasa tapi juga persepsi kebangsaan. Demikian paradigma pendekatan perjuangan Papua Merdeka. TPN/OPM violence dan PDP/DAP disubdience adalah fakta yang tidak saja memperkuat asumsi pihak lain adanya faksi yang menimbulkan ketidakmampuan Papua menentukan nasib sendiri. Itu logika pesimisme realitas tak terbantahkan bahwa Papua belum mampu, terlepas dari aneksasi Indonesia. Karena itu mereka tidak mendukung malah menghambat.

Pluralisme adalah natural kemanusiaan, yang senantiasa ada dimana-mana berdimensi univerasal. Pluralitas keniscayaan manusia dimana, dan pada masyarakat bagaimanapun. Pluralisme harus, karena itu ada, tidak bagaimana, tapi itulah realitas kemanusiaan yang manusiawi selalu. Papua ditambah dengan anasir-anasir baru dalam proses idealisme sebagai satu kesatuan bangsa terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang masuk menyatu dalam budaya papua.

Akulturasi dan inkulturasi akibat urbanisasi tentu dengan sendirinya tercipta peradaban baru Papua. Adaptasi terus menerus oleh transformasi nilai-nilai baru positif, adat dan kebudayaan Papua tetap dipertahankan. Memelihara dan mempertahankan nilai-nilai lama baik dan menggambil baru lebih baik adalah suatu keharusan bagi kita. Nasionalisme Papua, dengan demikian secara harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini.

Karena itu optimisme selalu harus dimiliki orang Papua tanpa menganggap hal itu sebagai negatif. Sebab apa yang dinamakan demokrasi dalam pengertian universal akar-akarnya sudah ada dalam budaya kita, budaya Papua, secara keseluruhan (Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Tidak satupun, budaya kita, budaya Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama manusia.

Bahaya Dikhotomi

Dikhotomisasi yang berpotensi polarisasi yang berakibat disintegrasi internal Papua harus diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha senantiasa dan terus menerus sebagaimana pengertian demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya benturan kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang demokratis dalam era kedepan ini harus dikelola baik. Karena secara kasat mata terkesan menyatu dalam permukaannya namun tidak demikian yang berkembang dibawah kesadaran yang tidak teramati.

Demikian itu mengawatirkan akibat negative-nya menimbulkan polarisasi, tidak saja pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam namun demikian dapat terjadi pada level elit intelectual. Padahal idealnya, sebagai kelompok elit terdidik dasar-dasar gerakan perjuangan selalu merujuk pada konteks sosial budaya Papua, guna membangkitkan nasionalisme Papua, tanpa terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit intelectual sebagai konseptor seharusnya tidak, karena itu memang jangan, terjebak pada polarisasi yang terkesan sektarianme antara sesama warga Papua.

Egosentrisme elit intelectual terkemuka Papua yang diikuti dan teramati, sejauh yang nampak kesan demikian ada, tidak menutup kemungkinan tidak ada harus benar-benar tidak boleh ada, karena memang tidak baik ada, yang memang ada itu. Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman dan pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak pemahaman, mutlak kebaikan, tanpa ada ruang dialektika. Karena itu selalu dogmatis, tertutup, tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai doktrin sesuai kontek sosial kecuali selalu harus mutlak benar sendiri.

Demikian itu dapat terjerumus pada thrus cliem, diri sendiri yang paling benar. Kebenaran diborong sendiri, seakan orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan menyangkut Papua Merdeka bila yang ada model pandangan begini, sekalipun memang yang ada demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya menunggu waktu, semua kekayaan Papua habis, dikuras, dirampok asing internasional.

Perjuangan hanya tinggal perjuangan, tidak ada yang tersisa. Lalu dimana peran dan tanggungjawab kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama dan Cendikiawan Papua? Agar kekayaan alam Papua yang kaya raya ada tersisa sedikit demi anak cucu nanti? Mengapa membiarkan diri terus mati dibunuh, HIV/AIDS, tidak ada lagi generasi muda usia produktif tersisa? Tidak sadarkah kita orang Papua hanya menunggu mati menuju genosida (kepunahan) abadi?

Sektarianisme akibat egosentrisme, biasanya bermula dari anggapan subyektif, benar mutlak sendiri, trush cliem seperti itu menimbulkan disintegrasi antar sesama komunitas Papua kedalam, (internal Papua), pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam kondisi Papua harus berjuang memebaskan diri. Kedepan kesediaan tokoh membuka diri memikirkan masa depan Papua mutlak perlu disini urgensinya tema ini diangkat disini.

Primordialisme

Adalah alami, kodrati, bahwa manusia adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita mengenal mulai dari Ibu-ayah, kerabat dekat, orang sekampung dan seterusnya sebagai sesama warga negara. Semua itu alami apa yang dinamakan primordialisme. Melalui lingkungan, interaksi sosial pribadi otonom menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan nasionalisme, namun primordialisme selalu dan selamanya mengingatkan kita pada akar dimana melaluinya kita ada. Masa tertentu kita rindu, begitu tiba-tiba menghadapi masalah, untuk kembali mengadukan kepada orang yang paling terdekat.

Ketika merantau, jauh dari kampung halaman, kita rindu ingin pulang kampung, ingin berkumpul dengan orang terkasih. Maka yang demikian itu adalah unsur primordialisme positif alami. Namun yang negatif adalah primordial kesukuan, egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok sukunya yang hebat, dan karena itu tidak mau menerima sesuatu kebenaran kalau sumbernya bukan dari kebenaran kelompoknya.

Nasionalisme Papua harus dikontruksi dari nilai-nilai budaya Papua sendiri. Guna memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua, bertanah air tanah Papua. Bangunan yang kita sebut sebagai Nasionalisme papua adalah rasa solidaritas antar sesama anak bangsa Papua yang majemuk dari masyarakat pegunungan, lereng, lembah, pesisir, pulau, pendatang dll.

Keunikan alami primordial hanyalah faktor kebetulan, tanpa pernah kita merencanakanya dalam arti untuk kita menjadi berbeda secara dikhotomis negatif. Semua adalah hukum alam, semua begitu saja adanya, mengalir, dan kita hanya mendapati itu baru setelah bertemu dengan yang lain, akhirnya, kita mendapati diri, lalu mengindentifikasi diri sebagai Si Ismail Asso, karena mengetahui primordial diri otonom dan pada saat sama memiliki potensi ingin mengenal yang lain. Manusia sepenuhnya pribadi social butuh orang lain. Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda, simbol, sampai belum usai habis usia. Primordialisme adalah hal yang sifatnya alami ada dengan indentifikasi sebagai nama, agama, marga ini-itu.

Primordialisme adalah sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri ketika tiba-tiba mendapati diri ada, hadir dimuka manusia lain, baik kerabat, saudara dekat-jauh maupun orang baru. Ada aspek melekat dalam diri manusia ingin mengenal. Akhirnya mengerti siapa saya, maupun dengan sesama yang secara bersama mendiami suatu wilayah dalam hal ini Papua. Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan dan persatuan akar-akarnya digali dari aspek kesukuan yang bersifat primordial positif.

*Disini saya hanya memberikan inspirasi positive atau negative terserah orang menilainya. ‘Qulil haq walaw kana muran’ (Artinya : “Katakalah olehmu soal kebenaran walaw itu pahit akibatnya”. Al-Hadits).
*Ismail Asso : Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua adalah kelahiran Walesi Wamena pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor dan Mantan Qori Nasional utusan Propinsi Papua (Irian Jaya) tahun 1988 di Bandar Lampung Sumatera.