Penerapan Teori
Terkait dengan info/berita : "OPM berikrar akan perjuangkan kemerdekaan tanpa kekerasan", maka perlu disampaikan beberapa catatan atau kritikan khusus bagi para elit intelektual Papua sekaligus kontribusi atau sumbangan pemikiran bagi generasi muda Papua untuk melakukan pembaharuan (inovasi) secara total pendekatan penerapan konsep Perjuangan. Adapun koreksi saya menyangkut ha-hal sebagai berikut :
Pertama, Perjuangan Damai yang di usung oleh elit PDP atau DAP sudah sangat salah atau keliru, mengapa? Karena penerapan teori ini menjadi ahistoris dengan peran dan perjuanagn TPN/OPM yang masih survive di tangah-tengah hutan belantara Papua sampai saat ini. Sehingga penerapan teori terkesan inkontinuitas dengan konsistensi idealisme para sesepuh TPN/OPM yang mencoba melakukan perlawanan dengan violence walaupun tanpa didukung senjata memadai tapi dengan senjata tradisional sebagai kelompok pejuang kultural.
Padahal idealnya PDP/DAP atau apapun namanya dapat merumuskan konsep diantaranya perjuangan diplomasi dan atau perjuangan damai/non kekerasan, namun teori adalah suatu rumusan huruf-huruf mati yang tidak bernyawa, namun dalam praktek, apalagi ini politik dapat saja berubah dari kerangka teori dari semua konsepsi perjuangan. Sebab konsespsi teori apapuan hanyalah susunan kata-kata yang menjadi huruf diatas kertas tanpa bernyawa alias mati.
Kedua, secara kultural budaya Papua adalah perang suku, maka dengan sendirinya perjuangan damai-nya PDP atau DAP tidak relevant, sebab perjuangan damai bukan budaya atau adat Papua. Maka platform PDP/DAP selama ini perjuangan tanpa kekerasan ataun non violence tidak "nyambung" dengan budaya Papua sendiri. Akibatnya terkesan suatu rekayasa politik yang di paksakan. Kecuali hanya alasan agar tidak banyak orang Papua dibunuh atau mati di bunuh TNI, tapi akhirnya itu terbukti hanya melindungi atau berbau kepentingan Indonesia agar Papua tetap di jajah NKRI.
Sehingga masyarakat jangan sampai ada fitnah, bahwa para tokoh-tokoh Papua teriak M untuk jadi pejabat ini atau itu, setelah itu bicara keras Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI, atau buat pemekaran sampai Papua robek-robek entah kalau benda macam apa hingga bisa seperti apa yang sangat berbeda bentuknya.
Dari hampir semua elit PDP adalah mereka yang berpendidikan minimal S1 dan kebanyakan Doktor teologi, sebagai suatu kewajiban dapat saja merumuskan pendekatan perjuangan itu damai, tapi pelaksanaan kebijakan dilapangan harus disesuikan dengan konteks sosiologi masyarakat agar korelatif. Bukan teorinya bagus tapi tidak kontekstual sehingga benar prateknya tapi salah teorinya atau salah teorinya tapi praktenya benar.
Rekontruksi Pemikiran
Paradigma Perjuangan Papua Pasca kongres diarahkan oleh elit Papua dalam memperjuangkan Papua Merdeka harus dengan pendekatan damai/diplomasi. Padahal itu tidak sesuai dengan kultur atau Budaya kita, budaya Papua. Karena itu konseptor yang ada dan mendominasi lingkaran PDP bukan Pemimpin yang cerdas membaca dan menganalisa. Malah sebaliknya konsep yang ditetapkan mereka dalam perjuangan Papua konsep-konsep asing. Bukan bersumber dari Budaya dan Adat Papua sendiri.
Hal ini lebih disebabkan dominasi para teolog dalam jajaran elit perjuangan Papua M yang mengedepankan "Budaya Kasih". Maka hemat saya "Budaya Kasih" yang rada mirip-mirip dengan yang dikenal di India oleh Indira Ghandi ; Ahimsa : Perjuangan tanpa perlawanan kekerasan/tanpa senjata sebagai konsep elit Papua adalah bagus. Tapi sebagai platform Papua Merdeka malah justeru tidak memperjuangkan Papua Merdeka tapi menunjang Otonomi Khusus Papua. Karena itu Ahimsa, benar dan baik untuk India tapi salah dan keliru untuk Papua, dan itu sudah terbukti akibatnya kini.
Kesimpulannya PDP/DAP dan semua elit-elit Papua salah dan keliru dalam menerapakan konsep, pendekatan, dan aplikasikan teori perjuangan Papua menuju kedaulatan Papua Yakni Merdeka. Karena Perjuangan Damai dengan mengedepankan Budaya Kasih adalah bukan budaya, karakter, dan historis realitas sosial politik masyarakat Papua yang sesungguhnya hidup dan berkemabng sejak dulu. Kecuali hanya akal-akalan atau exprimentasi teori teologis dan rekayasa sosial elit teolog Papua belaka yang tidak bermanfaat untuk Papua Merdeka.
Karena kalaupun teori atau paradigma elit Papua dengan perjuangan damai/perjuangan non Violence hasilnya antar generasi. Jadi limit waktunya sangat panjang, bahkan Indhira Ghandi seumur hidup sebagai orang suci dalam menerapkan konsepnya ini dan keluar dari istana hidup dengan susah, terus menerus puasa, bahkan mengenakan jubah yang paling buruk dari jubah atau pakaian orang miskin, tapi kenyataan kita orang-orang PDP/DAP memakai jas, sepatu,dan banyak yang mau menjadi anggota DPR RI, Gubernur, bupati dan lain-lain yang materialistik.
Karena itu harus dilakukan kembali rekontruksi paradigma perjuangan yang ada atau yang dianut kini harus ditinjau kembali tingkat efektivitas dan efiensinya. Sebab kita kini setelah menempuh perjuangan damai terbukti akibatnya proses ekosida, yaitu suatu proses pemunahan yang tidak saja manusia-nya, etnis Papua habis (genosida/punah)tetapi kekayaan sumber daya alamnya diangkut atau di curi oleh Indonesia, Amerika, Jepang, Ingris, Cina dan negara-negara lain yang hadir di Papua sebagai investor/neo kapitalisme.
Maka disini perlu evaluasi kembali penerapan konsep perjuangan yang diterapkan kini baik yang baru oleh OPM di Madang PNG maupun PDP/DAP yang selama ini ditempuh. Karena akibatnya akan lebih membahayakan existensi (keberadaan) hidup dan kehidupan manusia Papua berikut sumber kekayaan alamnya akan musnah.
PDP dalam kongres ke II melahirkan resolusi perjuangan atas masa depan papua menyatakan "Perjuangan Damai" atau non violence. Dari mana kerangka teori ini? Asumsi saya mengatakan bahwa para "sopir taxi" atau "imam" atau elit Pemimpin Papua menerapakan teori yang bersumber dari ajaran agama.
Ajaran agama sangat bias, karena bagi Papua agama harus menyesuaikan diri dengan budaya Papua, bukan sebaliknya, bahkan menurut saya penduduk mayoritas Papua yang berada dipegunungan Tengah tidak terlalu menghayati agama melainkan menghormati tapi menjalani budaya lama sebagai hidup, sebagai diri sendiri, tidak sebagai lain dari diri apalagi kekakuan ajaran moralitas agama tertentu.
Sehingga para intelektual, teolog atau alim ulama Papua sebagai pengambil kebijakan, keputusan, serta eksekutor bagai Pemimpin Rakyat Papua dalam menetapkan suatu keputusan yang bersiafat kepentingan nasional Papua, tidak bisa tidak itu dipertimbangkan secara genius karena akan berdampak semua, entah akibat baik atau buruknya, karena suatu kesalahan penerapan kerangka teori dalam perjuangan Papua Merdeka akan berimplikasi bagi semua.
Para pemikir, intelektual, yang kini ada di jajaran terdepan atau terkemuka di atas membayang-bayangi kemerdekaan Papua, karena kepintarannya, sebagai agen of changge, sekaligus sebagai the power of changge yang pada dirinya melekat tanggungjawab lebih dalam menetapkan strategi perjuangan Papua harus seperti apa. Karena umumnya sejauh pengamatan saya sebagai masyarakat awam ada kesalahan penerapan kerangka teori atau strategi perjuangan yang itu sangat berpengaruh sampai 6 tahun belakangan ini, pasca Kongres Papua ke II di GOR Port Numbay Papua.
Maka tulisan ini sebagai himbauan pemikiran bagi konseptor Papua yang sejauh ini telah menerjunkan diri dalam kancah perjuangan gerakan kemerdekaan untuk mengembalikan kedaulatan Papua yang telah pernah merdeka pada 1 Desember tahun 1961. Maka ini masukan pemikiran, agar para elit/pemikir papua dapat me-rekontruksi secara total atas apa-apa yang selama ini dirasakan tidak efektif dan efisien.
Inovasi (pembaharuan) pemikiran yang ingin diatawarkan disini berangkat dari kegagalan total atas prinsip-prinsip yang ditegakkan baik oleh PDP, DAP maupun OPM, sebagaimana dalam berita diatas, sebagai wadah kultural untuk memperjuangkan Papua Merdeka sebelum ini. Namun kebijakan dan pendekantan perjuangan Gerakan Papua Merdeka harus selalu dikontekstualisasikan dalam kerangka kultural sosial budaya orang Papua bukan penerapan nilai-nilai etis agama yang asing.
Sejauh yang kami amati dan ikuti gerakan Papua Merdeka yang telah memasuki oleh para elit yang cukup berpendidikan baik. Dalam merancang gerakan perjuangan sebagaimana berita yang dilansir tersebut di atas ini. Maka saya berpendapat ada kesalahan kerangka teori yang di anut oleh para konseptor dalam memasuki perjuangan kedepan akan berakibat lebih fatal dari sekarang. Kalau begini tanggungjawab siapa? Terserah Konseptor, tapi bukan orang lain Papua hanya orang Papua sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar