Jumat, 21 Agustus 2009

PAPUA DAN POLITIK AKOMODASI SBY


Kullukum roo’in wakullukum masuulin ‘an ro’iyyatihi.


 Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintakan pertanggungjawaban kepemimpinannya”. (Al-Hadits)
Penulisan tulisan ini dengan asumsi secara pribadi bahwa, sesuatu yang gagal kita raih semua, lantas tidak kita meninggalkan semua. Qoidah ushul fiqh (filsafat hukum islam) ini mengandaikan pada kita bahwa apa yang harusnya, berarti yang ideal bagi kita seperti keinginan mayoritas rakyat Papua sementara ini belum mampu diraih semua bukan berarti kita juga harus meninggalkan semua. Artinya dalam usaha menuju tujuan ideal, kita tidak boleh meninggalkan sesuatu kenyataan kejadian didepan mata sebagai bagian dari hak kita. Kita tidak boleh meninggalkan semua karena hanya semata-mata tujuan ideal.




Pemerintah Pusat hampir 40 tahun mengalami kesulitan komunikasi menyelesaikan masalah Papua. Selama itupula tokoh-tokoh senior dijadikan kiperson penyelesaian masalah. Berbagai lobby tokoh senior, kenyataannya tidak pernah bisa membantu menyelesaikan masalah. Justeru membohongi pemrintah pusat supaya dapat jabatan Duta Besar, Gubernur, DPRP, Voice Presiden Freeport, Deputi-Deputi, DPR RI dan Menteri Kelautan. Tapi apa kontribusi mereka sebagai wakil/representasi Papua? Berarti Pemerintah Pusat salah mengambil orang-orang senior itu. (Natalis Pigay, Wawancara, Jum’at, 5 Juli 2008).




Dalam sejarahnya akomodasi politik Papua oleh Pemerintah Pusat biasanya hanya dilibatkan beberapa oknum Papua dan itu dilakukan melalui segelintir orang Papua dari clan tertentu mengatasnamakan Papua. Masalahnya adalah apakah mereka ini memenuhi aspek keterwakilan semua suku bahasa dan adat-budaya Papua yang sangat majemuk melampaui kemajemukan Indonesia sendiri, sebagai bergaining politik bagi seluruh rakyat Papua? Apakah patut akomodasi politik bagi semua unsur suku bangsa dan bahasa Papua dianggap sudah cukup melalui lobby-lobby partial segelintir orang Papua di Jakarta? Jawabannya tidak! Demikian itu sesungguhnya hanya mewakili segelintir clan dari wilayah tertentu Papua yang sangat luas dengan keragaman adat-budaya dan bahasa. Papua ada 270 bahasa dari 360 bahasa suku Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia).




Kalau demikian sangat ragam adat-budaya dan bahasa Papua melampaui bahasa Indonesia itu sendiri. Maka wajarkah Papua hanya bisa di wakili oleh orang-orang seperti Kepala Suku Haji Abunawas dari Suku Dani Lembah Baliem Wamena? Pendeta binaan BIN serta OPM abu-abu atau pejuang NKRI dari Ibukota Jakarta? Dan itu sebelum ini biasanya dilakukan oleh segelintir kelompok pragmatis orang Papua yang punya ases ke Istana. Maka dengan sendirinya tidak mewakili seluruh aspirasi komponen komunitas semua unsur Papua. Sebagai akibatnya menjadi wajar dan masuk akal bahwa selama Otsus diberlakukan dari tahun 1999-2009, maka selama itupula sama sekali tidak mampu meredam gejolak separatisme.




Sehingga menjadi wajar juga kalau kemudian kita merasa sangsi kepada tokoh-tokoh tua selama ini kembali dilibatkan untuk kalkulasi politik Papua pada pundak mereka lagi. Skeptisme kita pada tokoh-tokoh tua Papua bahwa kalau benar mereka punya kemampuan mengatasi masalah Papua. Maka harusnya selama Otsus 10 tahun berjalan sejauh ini tidak terlihat kapabilitas itu, malah sebaliknya masalah konflik Papua semakin rumit bukan semakin padam, sebaliknya tetap aktif, malah semakin gila dan tidak waras. Kalau begitu apa yang salah selama ini, dan bagaimana solusi yang tepat agar kedepan kita bisa mengantisipasi banyak korban nyawa sia-sia rakyat Papua? Kemudian jangan lupa bahwa dana trilyunan rupiah menjadi tiada arti sebelum ini yang dikucurkan bisa mencapai sasaran sesuai yang diinginkan?




Harus Libatkan Tokoh Muda




Tidak bisa tidak, Pemerintah Pusat dan lebih khusus Kabinet SBY-BUDIONO mendatang harus melibatkan tokoh-tokoh muda terdidik guna mencari solusi akar persoalan tentang apa sesungguhnya masalah dasar Papua, dan mengapa selama ini Papua tidak pernah sepi dari letupan-letupan separatisme menjadi urgen agenda kedepan ini. Untuk itu penulis disini merekomendasikan bahwa kedepan Pemerintahan SBY-BUDIONO tidak bisa tidak, jadi maksudnya wajib, bahwa dalam penyusunan kabinet mendatang harus melibatkan tokoh-tokoh muda Papua guna mencari solusi jitu dan cerdas agar anak-anak muda Papua yang lebih energik mengerahkan intelektualitas mereka dalam penyelesaian Papua secara menyeluruh dengan berbagai pendekatan baru.




Mengingat sebelum ini dan itu sudah terbukti dan kita saksikan bersama bahwa tokoh-tokoh senior Papua selama ini yang dianggap sanggup membantu menyelesaikan masalah Papua kenyataannya gagal total. Dan itu artinya jika kedepan masih juga kepercayaan diberikan mereka maka itu berarti persoalan Papua tetap belum sanggup diselesaikan oleh para tokoh-tokoh tua yang dilibatkan selama ini dimasa lalu untuk menyelesaikan masalah masa akan datang. Malah kalau kembali dipercayakan pada mereka justeru menambah masalah baru (problem maker). Pada akhirnya masalah Papua jadi berlarut-larut sehingga proses integrasi itu selalu menjadi belum selesai dan hasil experimentnya selalu gagal.




Tokoh-tokoh tua selama ini terlihat tidak punya kualitas problem solving, harusnya tidak perlu dilibatkan lagi. Karena menurut saya (subyektif) bahwa mereka tidak mampu bahkan secara moralitas (maaf) moralitas “kita” orang Papua rendah, “kita” tidak memiliki self of crisis, indikasinya adalah limpahan kucuran uang trilyunan rupiah yang diberi tanggungjawab dipundak “kita” bukan untuk membangun rakyat kita sendiri agar makmur dan sejahtera, tapi malah uang-uang itu dibawa kabur keluar Papua dan sering terlihat para pejabatnya berkeliaran diluar Papua, misalnya dikota Menado, Jogjakarta, Makasar, Jakarta, Surabaya dan Bandung. Cari apa? Nah ini yang saya tidak bisa jawab. Tapi ada orang bilang pada saya bahwa OPM itu sekarang akronim dari Operasi Paha Menado.




Artinya bahwa uang-uang trilyunan rupiah dikucurkan pemrintah pusat untuk meredam aspirasi M orang Papua itu dibawa kabur segelintir orang Papua dari pejabatnya selama ini dan itu sering pergi bolak-balik Jakarta-Bandung-Jogjakarta-Surabaya-Makasar-Menado-Jayapura dan uang hanya dihabiskan dengan minuman alkohol dan “cuki” (halusnya, jajan) WTS dikota-kota tersebut. Akhirnya dinilai orang tidak serius apalagi secara sanggup menyelesaikan masalah konflik Papua melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi, sebagaimana diinginkan pemerintah pusat dan kita semua, malah dimana-mana dinilai orang terlihat demikian orang Papua dengan banyaknya uang Otsus saat ini.




Kalau begitu elit politik Papua dewasa ini belum bisa dipercaya pertanggungjawabannya atas kepemimpinan bagi rakyat Papua bahwa kucuran dana besar mengalir di Papua belum bisa mensejahterakan rakyat Papua, disisi lain konflik dan letupan-letupan separatisme tetap menyala di kawasan ini. Oleh karena itu kedepan dan untuk itu kita semua berharap bahwa akomodasi politik SBY-Budiono dalam Kabinet akan datang harus lebih rasional untuk memenuhi semua aspek keterwakilan unsur Papua dengan berbagai latar belakang keunikannya dan itu sekiranya dapat membantu good will pemerintahan SBY 5 tahun kedepan, agar Papua lebih baik dari sebelumnya. Konsekuensinya adalah bahwa Pemerintahan SBY-BUDIONO, dalam menyusun kabinet 2009-2014 harus melibatkan tokoh-tokoh muda yang lebih energik, terdidik, intelektual dan punya latar belakangan organisasi nasional dan internasional.




Untuk mencari tokoh-tokoh muda demikian anak-anak muda Papua tidak sulit bahkan anak-anak muda Papua saat ini lebih siap dan lebih cerdas dari pendahulu mereka yang selama ini dipercaya pemerintah yang terbukti gagal. Anak-anak muda Papua banyak dan mereka siap untuk dilibatkan guna membantu menyelesaikan persoalan Papua yang kadang itu diserahkan pada tokoh-tokoh tua yang seringkali lamban dan bahkan tidak berdaya sama sekali menyelesaikan solusi terbaik bagi Papua sebagaimana sebelum ini.




Papua saat ini sudah banyak memiliki tokoh-tokoh muda intelektual untuk bisa dimajukan menjadi kiperson-kiperson baru guna membantu pemerintah pusat (baca, Kabinet SBY-BUDIONO 2009-2014), guna membantu menyelesaikan persoalan konflik berkepenjangan Papua secara konprehenshif dan membantu memajukan rakyat Papua agar bangkit dari ketertinggalan dalam berbagai aspek pembangunan sekaligus guna mengatasi persoalan konflik Papua, dan yang paling utama adalah membantu proses pelaksanaan Otsus yang sebahagian orang berharap pada Otsus Papua dan lain menganggap gagal sejak diundangkannya tahun 1999 lalu.




Papua bukan tidak punya sama sekali kader-kader cerdas dan terdidik. Anak-anak muda Papua seperti Velix Vernando Wanggai, Natalis Pigay, Ali Mucktar Ngabalin adalah sederet nama tokoh intelektual muda terdepan dan berpendidikan luar negeri yang siap di akomodasi guna membantu menyelesaikan persoalan Papua untuk menjawab persoalan Papua. Untuk itu lewat artikel ini kita berbaik sangka (hussu’udhon) pemrintah SBY mendatang selain kita menyadari bahwa persoalan pembantu Presiden adalah hak prerogatif presiden terpilih, namun yang menjadi catatan kita disini yang harus diperhatikan tanpa menafikan kenyataan sebagaimana disinggung diatas adalah bahwa dengan mengambil kiperson-kiperson baru dari kalangan generasi muda papua ada harapan. Kalau tujuan adalah akomodasi politik Papua sebagai bagian dari NKRI misalnya persoalan konflik disintegrasi yang berlarut-larut selama ini dengan aspek keunikannya dari berbagai segi misalnya ras, budaya, atau singkatnya antropologi, sosiologi dan geografis dapat segera dituntaskan kalau tidak minimal diminimalisir nantinya.




Sejauh ini diketahui dan itu masih terus terjadi adalah bahwa untuk mewakili 2 juta jiwa penduduk Papua dengan aneka ragam suku dan budaya dan agama tidak boleh hanya dilakukan oleh beberapa orang saja melalui lobby-lobby secara individual segelintir orang dengan claim bahwa kehadirannya dihadapan penguasa, sebagai bagian dari lobby resmi dan wakil resmi rakyat Papua. Demikian itu sudah lama berlangsung selama puluhan tahun Papua berintegrasi kedalam NKRI.




Padahal seharusnya dalam segala hal persoalan Papua, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak dan terpenting aspek keterwakilan Papua ditingkat nasional tidak seharusnya hanya beberapa clan dengan mengatasnamakan Papua. Mengingat bahwa masyarakat Papua benar-benar majemuk dengan 270 suku bahasa dan pola penyebaran penduduk terpencar luas didaratan dan pesisir, maka pola-pola lobby partial tradisional dan ekslusive sudah harus ditinggalkan demi perbaikan kedepan, apalagi untuk tujuan mengakomodasi semua aspek refresentasi cultural Papua sesuai stuktur antropologi masyarakat Papua.




Untuk itu dari sekarang dan kedepan lobby-lobby tradisional segelintir clan mengatasnamakan Papua sebagaimana sering dilakukan segelintir clan dari orang Papua sebelum ini sudah harus ditinggalkan, mengingat hal demikian sesungguhnya sejauh ini tidak membantu pemerintah pusat menyelesaikan persoalan Papua. Dan kegiatan demikian untuk dan atas anama Papua sudah harus ditinggalkan oleh kedua kelompok berkompromi dengan memperluas pelibatan semua keterwakilan sesuai structur antropologi kemajemukan budaya Papua.




Oleh sebab itu pemerintahan SBY-Budiono yang terpilih secara demokratis dan mutlak semua wilayah Indonesia dari Sabang-Merauke dan khusus di Papua 99% suara di menangkan pasangan ini. Berarti itu artinya kebijakan 5 tahun SBY dirasakan manfaatnya rakyat Indonesia dan Papua maka politk etis atau istilah SBY, New Deal For Papua, kedepan harus lebih rasional merekrut keterwakilan orang Papua dalam kabinetnya tanpa menafikan bahwa semuanya berpulang kepada Presiden RI terpilih mengingat pengangkatan pembantu presiden adalah hak prerogatifnya.










*Penulis adalah Muslim Papua Putera Kelahiran Walesi, Wamena Papua.

Senin, 27 Juli 2009

MENATA ULANG PAPUA

A. Integrasi dan Akar Masalah


Propinsi Papua dan Papua Barat sejak diintegrasikan dengan Indonesia melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979. Anggapan umum kebanyakan Rakyat Papua selama ini bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Sebab Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin condong ke Blok Timur. Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno, maka Amerika yang ingin mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia umumnya dan Asia Tenggara pada khususnya, maka tawarannya Papua dikorbankan kemudian “dititipkan” dulu untuk di kontrol oleh Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak dikemudian hari. Namun proses waktu dan pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk, persetujuan izin penambangan sudah lebih dulu ditandatangani pada tahun 1967, sebelum status Papua resmi ditetapkan di dewan PBB tahun 1979 bergabung dengan Indonesia. Kemudian Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi (bagi rakyat Papua, aneksasi) dibungkam habis. Tidak boleh ada yang bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final bagian tak terpisahkan dari Indonesia.


Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring adanya jaminan kebebasan berbicara, rakyat Papua yang dibungkam lama mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto: pertama, bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan; kedua, bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962; ketiga, bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan; keempat, bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum. Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik.


Dari sinilah pada mulanya konflik berkepanjangan dan berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) melakukan suatu tindakan pembiaran dan sengaja terjadinya proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu terselubung melalui HIV/AIDS, alcohol, KB, transmigmigrasi maupun secara terencana melalui Otsus Papua banyak mendatangkan militer organik dan non organik ke wilayah Papua. Sehingga ada konfrontasi bersenjata antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).


2. Otsus Papua dan Permasalahannya


Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. TPN/OPM di rimba raya Papua juga tak henti-hentinya terus berkonfrontasi dengan TNI/POLRI, dan para pejuang kemerdekaan Papua di pengasingan menggangap bahwa Otsus Papua bukan solusi. Jargon TPN/OPM di rimba raya Papua dan dipengansingan sudah jelas, bagi mereka, Papua Merdeka, harga mati! sebagaimana NKRI, harga mati! bagi TNI/POLRI. Pada selama ini kedua pihak seteru selalu mengganggu aktivitas pembangunan di Papua selam puluhan tahun belakangan ini terutama sejak tahun 1998 dan tahun 2001 desakan hasrat melepaskan diri sangat tinggi dirasakan hingga UU kebijakan Otonomi Khusus No. 21 tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 di kelurkan oleh Pemerintah Pusat. Namun ini bukannya menghentikan hasrat rakyat Papua menghentikan aktifitas gerilya untuk melepaskan diri, malah akhir-akhir ini eskalasinya cukup tinggi terutama menjelang Pemilu tahun 2009.


Dan harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat. Sebelum ini yang terlibat menerima Otsus Papua terlihat hanya Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya pada Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.


Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut hak bereksistensi yang terkait langsung dengan harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Untuk itu dalam UU Otsus No. 21. Tahun 1999 point C disebutkan : “bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri”. Kemudian UU Otsus Bab II tentang lambang-lamabang dalam pasala 2 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Tapi itu dikhianati oleh pemerintah Pusat dan itu hanya bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua. Dan memang ada sesuatu yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memaikainya sekarang ini dianggap subversip sehingga ada pasal-pasal karet terorisme, yang siap membungkam atau dengan alasan teroris kapan saja aparat militer Indonesia menangkap, menyiksa, menembak dan bahkan boleh memukul orang Papua sampai mati di penjara. Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui ada dimana, hilang begitu saja tanpa jejak dan pesan kalau dimakamkan dimana dan oleh siapa kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati yang sangat buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK. Dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini terus menyisakan luka mendalam bagi beberapa kalangan rakyat Papua.


Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Itu sekedar menyebut beberapa contoh inkonsistensi pemerintah pusat selama Otsus Papua berjalan tidaka ada kemauan baik politik untuk secara konsisten Otsus bisa berjalan baik misalnya UU Otsus BAB XII tentang HAM Pasal 46 yang didalamnya mnyebutkan bahwa : “Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi”. Yang tugasnya : (a). “ melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b). “merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi”. Tapi itu semua selama 10 tahun terkahir Otsus berlakukan di Tanah Papua sama sekali tidak pernha dijalankan.


Anehnyaakhir-akhir dan itu sejak awal Otsus berjalan mulai terasa ada gejala baru dan lain bersamaan kebijakan Otsus berjalan ini ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual independent Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu adanya gejala genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis Indonesia berusaha melakukan proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan. Itu berarti pembunuhan etnis Papua sebagaimana dilakukan orang-orang bekas narapidana yang datang dari Inggris kini menguasai benua Australia. Suku Asli (Aborigin) kini hanya dijadikan sebagai museum hidup karena proses pemusnahan etnis Suku itu dilakukan orang-orang Anglo-Saxons. Gejala demikian banyak dikatakan para pemuka inteletual Papua sedang dipraktekken oleh kebijakan negara yang tidak seimbang dengan perjanjian Otsus yang ditetapkannya sendiri oleh pemerintah Indonesia. Upaya demikian bukan kebijakan negara namun aparat pelaksana kebijakan di lapangan yang sudah kehilangan akal untuk meredam dan mengatasi hasrat keinginan rakyat Papua mau merdeka bisa saja terjadi dan dibiarkan berlangsung upaya meredam habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika demikian provokasinya para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya menyakut harga diri bangsa Papua untuk mempertahankan hak kedaulatannya saja akan tetapi juga ada hal lain yang lebih hakiki dan mendasar yakni hak bereksistensi diri didunia habitatnya.


Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa selesai, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga harapannya dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme bisa diselesaaikan maka banyak uang dikucurkan didaerah itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini. Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat kesana, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentalilitas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Untuk itu –dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya menyebut satu, PT Freeport saja –pemerintah pusat banyak mengucurkan uang dan menganggap itu sudah cukup. Tanpa memikirkan solusi lain dan tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus. Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.

3। Harapan

  1. Sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2004 silam, SBY datang ke Papua dalam program 100 hari dan melakukan hal-hal menadasar yang itu cukup memberi arti besar bagi kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Adalah komitmen besar SBY terhadap penyelesaian kasus Papua. Pertama, Pengesahan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada bulan Desember tahun 2004 dengan PP 54, yang selama tiga tahun terbengkalai, sebagai hadiah Natal kepada rakyat Papua. Kedua, komitmen politik anggaran, SBY memperbesar alokasi anggaran pembangunan dari tahun 2004 sampai 2008 sekitar 28 trilyun kepada Propinsi Papua dan Papua Barat. Ketiga, tatkala rakyat Papua mendesak mengembalikan Otsus Papua dan mengkritik Otsus tidak efektif. Presiden SBY mengeluarkan kebijakan khusus tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (new deal for Papua), Inpres No. 5 tahun 2007 dengan prioritas pada lima deal, yakni :


    • (1), peningkatan ketahanan pangan,

    • (2), pengentasan kemiskinan,

    • (3), peningkatan penyelenggaraan pendidikan yang merata,

    • (4), peningkatan pelayanan kesehatan,

    • (5), peningkatan pembanguanan infrastructur dasar di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan.


Serta perlakuan khusus terhadap pengembangan SDM Papua (affirmatif action). Yakni pemberian peluang kepada rakyat Papua agar mendapatkan pendididikan secara luas dan berkarir dibirokrasi maupaun TNI dan POLRI. Kemudian tokoh-tokoh Papua diakomodasi didalam Kabinet, seperti Fredy Numberi (Menteri Kelautan RI). Mengangkat Duta Besar, seperti Michael Manufandu. Maka harapan kita tetap kepada SBY agar dapat melanjutkan politik akomodisi bagi orang Papua, dan melanjutkan new deal for papua.


Namun konflik dan anasir-anasir separaitisme belakangan ini tetap saja terjadi. Terutama hal itu terjadi sepanjang pelaksaan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2009. Terlepas apakah pelaku terror dilakukan oleh rakyat Papua atau kelompok kriminal bersenjata dari pihak lain yang bermain disana. Namun kenyataannya bahwa program affirmatif action selama akhir pemerintahan SBY terutama menjelang Pemilu tahun 2009, Papua tetap bergejolak dengan tensi dan eskalasinya cukup tinggi. Maka dalam rangka usaha normalisasi keadaan dari konflik berketerusan serta mengeliminir potensi-potensi konflik dan issu-issu separatisme gerakan TPN/OPM di wilayah Papua dan Papua Barat. Maka pemerintahan SBY-BUDIONO yang terpilih secara jujur, adil, dan demokratis perlu mengambil langkah-langkah penting dalam penysusunan Kabinet 2009-2014 kedepan ini. Terutama hal ini terkait dengan usaha integrasi Papua kedalam NKRI secara menyeluruh adalah suatu upaya senantiasa. Untuk itu langkah-langkah kedepan yang harus dilakukan kabinet pemerintahan SBY-BUDIONO adalah mengakomodasi beberapa permasalahan mendasar yang nyata ada dalam era Otonomi Khusus Papua tapi tetap bergejolak dengan langkah-langkah sebagai berilkut :


1. Perlu adanya sebuah lembaga Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat। Tujuannya adalah guna membantu pemerintah daerah Propinsi Papua dan Papua Barat sehingga membantu proses percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat dalam kerangka NKRI. Meningingat dana-dana Otsus yang cukup besar dikucurkan pemerintah Pusat selama Otsus Papua berjalan belum mencapai sasaran sampai ketingkat masyarakat bawah. Sehingga dengan adanya Lembaga Kementerian Urusan Khusus Papua dan Papua Barat dapat mengontrol, mengawasi dan membantu baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam mengarahkan dan kebijakan Otonomi Khusus benar-benar mencapai sasaran diseluruh kalangan pelosok Papua dan Papua Barat. Mengingat pemberian Otonomi Khusus sebelum ini tanpa persiapan dan mempersiapkan orang-orang Papua melaksanakan Otsus. Pada akhirnya banyak kalangan menilai bahwa Otsus telah gagal.


  1. atau Membentuk Badan khusus urusan Papua dan Papua Barat dibawah pengawasan presiden langsung yang tujuannya sama yakni membantu dan mengawasi agar proses pelaksanaan Otsus sesuai target dan mencapai hasil sesuai UU Otsus Papua dan Papua Barat.

  2. Mengangkat putra-putri terbaik Papua sebagai Duta Besar terutama di wilayah Fasifik yang sementara ini lebih dikuasai dan didominasi kelompok Pro Merdeka.

  3. Mendorong Pemerintah daerah serta lebih banyak melibatkan kelompok masyakat diluar pemerintahan terutama LSM-LSM yang selama ini bersuar sumbang agar masuk dalam sturktur lembaga yang akan dibentuk oleh presiden yakni Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat, Sebab selama ini komponent masyarakat mantan aktivis pro Merdeka banyak berdomisili di Ibukota negara dapat terakomodasi dibawah lembaga ini.

  4. Melaksanakan Otonomi secara konsisten dengan terus memperhatikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua.

  5. Untuk itu UU Otsus BAB XII tentang Pasal 46 tentang perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi segera dilaksanakan bersama Majelis Rakyat Papua MRP, guna merehabilitasi korban-korban pelanggaran HAM selama ini..

  6. Mendorong MRP agar segera membuat aturan-aturan teknis pelaksnaan Otsus maka Peraturana Asli Propinsi (PERDASI) dan Peraturan Asli Khusus Daerah (PERDASUS) Papua segera dibuat penyusunan aturannya.

  7. Menarik seluruh aparat kemanan TNI/POLRI dari seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, agar impian Papua Zona Damai benar-benar terwujud sebagaimana hal sama dilaksanakan di Aceh.

  8. Mengangkat bebrapa Putra terbaik menjadi menteri dalam kabinet SBY-BUDIONO tahun 2009-2014 mendatang

  9. Melakukan dialog terbatas dengan mengundang kelompok TPN/OPM dan pentolan OPM yang berada di luar negeri di salah satu negara tetangga ASEAN.


Tujuannnya adalah guna terciptanya suasana berkedamaianan, berkeadilan, berkesejahteraan dan bermartabat merupakan suatu keharusan dilakukan oleh Pemerintahan Pusat yakni dalam penyusunan Kabinet SBY-BUDIONO mendatang. Serta memasuki tahapan pembangunan Papua Baru. Wujud Papua baru adalah dengan prorgram affirmatif selama ini tetap dipertahankan tapi dengan menigkatkan pelibatan kalangan lebih luas secara terarah dan terprogram. Untuk itu maka kedepan perlu mengakomodasi generasi muda Papua saat ini sebagai canel-canel baru demi terwujudnya stabilitas keamanan nasional secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat sehingga tercipta suasana aman, nyaman, damai dan sejehtera.


Papua baru yang dimaksud adalah sebuah bangunan kebangsaan dan berkenegaraan yang sesuai dengan amanah dan cita-cita kita semua। Mengingat kemerdekaan adalah sebuah pilihan untuk membawa rakyat Papua keluar dari krisis kedamaian karena terbukti makin kehilangan arah dan tujuannya. Bahkan selama 10 tahun terakhir kelangsungan Otsus secara mencolok telah dimanfaatkan oleh segelintir elit penguasa daerah dengan mengorbankan hak-hak rakyat banyak. Estafet kepemimpinan Papua harus dihasilkan melalui kebijakan khusus dalam kurun waktu


lima tahun kedepan, karena generasi tua terbukti terjebak dalam distorsi dan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara secara serius. Keberadaan kepemimpinan nasional Papua yang dihasilkan selama ini dirasakan belum memberikan perubahan secara substansial dan mendasar dikalangan rakyat Papua dewasa ini. Kebuntuan ini suka tidak suka peran dan eksistensi generasi muda Papua wajib tampil ke depan guna membela kepentingan rakyat Papua menyeluruh secara cerdas dan rovolusioner. Sebagai sebuah Propinsi yang luas dengan kekayaan alam yang besar maka Papua membutuhkan kepemimpinan baru dari generasi muda mendorong percepatan perubahan guna menyongsong peradaban baru. Agenda Papua tahun 2009-2014 ini dan kedepan harus dikritisi oleh berbagai kalangan. Otsus Papua yang menyita puluhan trilyun uang dinilai mubazir dan berpotensi gagal tanpa membawa kemajuan apa-apa selama 10 tahun (1999-2009) terakhir ini. Selebihnya Otsus Papua hanya menjadi sarana legitimasi bagi kepentingan status quo segelintir elit daerah.

Minggu, 19 Juli 2009

SOLUSI PAPUA : DIALOG

A. Akar Masalah

Integrasi Papua tahun 1962, rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia tanpa mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara). PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, masuk tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Selama 45 tahun integrasi tidak membawa kemajuan bangsa Papua.

Dewasa ini, ada gejala proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008). Sebab proses integrasi penuh rekayasa dan manipulasi antara Indonesia dan Amerika (baca: John F Kennedy dan Soekarno).

Diawali dialog pertemuan 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:

1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;

2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;

3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;

4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.

Memang ada sesuatu benar dari Gus-Dur, hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip.

UU karet tentang terorisme siap membungkam dengan alasan terorisme, kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara. UU pasal karet terorisme, menjadikan halal, membunuh, menangkap dan menyiksa, siapa saja orang Papua. Di Papua selalu saja ada darah, air mata, tanpa pernah kita tahu kapan berakhir.

D. Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.

Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu hanya bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.

Dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat diharapkan meredam anasir separatisme. Memang dana trilyunan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi bagi negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport.

Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi?

Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP menerima tapi dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog. Tapi tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.

Solusi Papua : Dialog !

Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.

Tidak ada perundingan Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri bukan dialog TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari terjadi dialog. Selama ini hanya pertemuan elit yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua. Padahal yang harus diajak berkompromi seharusnya TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya.

Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.

Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya.

Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.

TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM tetap akan terjadi selamanya. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI.

Sebab selama ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta, tanpa melibatkan tokoh intelektual Papua dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai".

Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.

Selama tuntutan mereka belum dipenuhi sepanjang jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan. Bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant.

Kamis, 16 Juli 2009

PEMBARUAN GERAKAN PAPUA: KONFLIK PAPUA DAN AKAR PERSOALANNYA

PEMBARUAN GERAKAN PAPUA: KONFLIK PAPUA DAN AKAR PERSOALANNYA

KONFLIK PAPUA DAN AKAR PERSOALANNYA

A. Konflik


Eskalasi konflik separatisme dan aksi terror akhir-akhir ini cukup menyita perhatian public nasional dan internasional. Terror dan issu separaratisme Papua memang sudah lama ada, namun yang cukup mengecutkan semua pihak karena peristiwa teroor ini waktunya bersamaan dengan Pemilu 2009, dan tensinya sangat tinggi terjadi sepanjang waktu rakyat Indonesia sedang melaksanakan pesta demokrasi. Sejumlah insiden diberbagai tempat pelosok Papua, tentu ada aktor inteletual dibalik semua peistiwa yang banyak mengorbankan rakyat kecil itu. Karena serangkaian peristiwa terror dan issu separatisme waktunya bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu Legislative dan Pemilu Presiden Indonesia.

Dalam siaran persnya kamis 15 Juli 2009 Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo dan Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) Marcus Haluk menolak tegas organisasinya terlibat dalam peristiwa penembakan di Timika yang menewaskan warga Australia. Padahal sebelumnya Sekjen KNPB Demus Wenda pernah mengakui bahwa beberapa insident seperti Tinginabut, pembakaran Gedung Rektorat Uncen, Penguasaan Lapter Kapeso, penyerangan Polsek Abepura dan Kampung Slayer Abe Pante adalah gerakan rakyat Papua yang mencari kedaulatan.

Padahal dengan adanya Otsus Papua harusnya mampu mencegah separatisme. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat meredam anasir separatisme. Itu memang sesuai dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport saja, pemerintah tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus.

Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Dimana kesalahannya dan bagaimana solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua mau diakhiri?

Menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2009, aksi terror dan separatisme tetap, malah semakin tinggi eskalasinya. Pilpres tahun 2009 diharapankan terwujud pemerintahan demokratis dan penegakaan HAM, malah dicederai oleh terror. Padahal hasil quick count SBY-Budiono pemenang sementara Pemilu 2009, yang dipilih secara langsung jujur adil dan demokratis diharapkan mampu meredam semua konflik berkepanjangan. Malah sebaliknya aksi-aksi terror dan separatisme justeru mencederai semua harapan itu. Jika tidak hati-hati ditangani bukan tidak mungkin Papua bisa lepas, dan eskalasi resistensi masyarakat akan lebih besar dan tinggi untuk memisahkan diri dari NKRI.

Serangkaian aksi terror menjelang dan pasca pemilu legislative seperti; penemuan bom di jembatan Kali Tami Jayapura, pembakaran Rektorat Uncen, Kantor KPUD, penikaman beberapa warga di Perumnas I, II, II Waena Kota Jayapura, penikaman tukang ojek di Wamena, pembakaran tangki minyak di Biak, penembakan dan pembakaran warga sipil di Kapeso Mamberamo Raya, pemenbakan warga sipil oleh anggota TNI di perbatasan RI-PNG, dan sejumlah peristiwa lainnya menjelang pemilihan Presiden sangat mengejutkan semua pihak.

Tidak begitu jelas siapa pelaku sesungguhnya dibalik semua aksi terror ini. Tapi ada kesan aparat TNI/POLRI dan TPN/OPM sama-sama bermain. Yang pasti aksi terror lebih dasyat tapi juga terorganisir terus akan terjadi lagi di Papua pada waktu akan datang, melampaui aksi terror saat ini. Aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan pelakunya sangat terlatih dan perofesional, mengingatkan kita kasus sama di Tasikmalaya oleh Naga Hijau, dan itu dilakukan satu hari sebelum pencoblosan Pemilu Legislatif tanggal 8 April tahun 2009. Jika begitu ada apa sebenarnya dan siapa pelaku sesungguhnya?

Dari ciri-ciri modus operandinya pelaku diduga keras kelompok terlatih, yang pastinya bukan OPM. Walaupun demikian pihak militer menuduh bahwa dibalik semua peristiwa aksi terror di sejumlah tempat di Papua dilakukan oleh kelompok garis keras sayap militer TPN/OPM. Di Ibukota Propinsi Papua saja aksi terror terus-menerus terjadi di sejumlah sudut kota Jayapura, misalnya pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Kampung Slayar di AB Pante, insiden Punjak Jaya, Bandar Udara Perintis Kasepo Memberamo dan sejumlah kasus lain di Papua.

Lalu siapa sesungguhnya pelaku peristiwa penembakan di Mile 52 pada 11 Juli 2009 pukul. 05.00 WIT, yang menimpa Karyawan PT Freeport Indonesia yang bekerja di Departement Expert Munical Contruction, berwarga negara Australia, Mr. Ddrew Nicholas Grant (38), bersama Mr. Lucan Jhon Biggs (pengemudi) dan Maju Pandjaitan (rekan kerja korban) di Timika Papua yang menyita perhatian Internasional karena korban penembakan warga negara asing (Austaralia)?

Sejauh ini TPN/OPM menolak keras dirinya terlibat terror ini. TNI/POLRI belum mengaku, kita masih tunggu hasil penyidikan terakhir akan mengarah ke pihak mana. Sejauh ini belum ada pengakuan dari kelompok manapun, baik TNI/POLRI maupun TPN/OPM. Selang sehari baku-tembak antara TNI/POLRI dan masyarakat kembali terjadi di Yapen Waropen.

Jelang Pemilu legislative dan Pemilu Presiden tahun 2009 paling banyak terjadi serangkaian aksi TPN/OPM dan TNI/POLRI secara sporadis di Papua Barat. Sejak tahun 2008 dirasakan intentitas kegiatan separatisme TPN/OPM dan terror TNI/POLRI dirasakan sangat tinggi di Papua. Bahkan sampai saat ini masih terus berlangsung tanpa bisa diketahui kapan berakhir. Intinya Otsus dengan banyak kucuran dana trilyunan tidak merubah apa-apa untuk meredam terror TNI/POLRI dan konflik separatisme di Papua. Harus ada solusi konpreheshif sekaligus dilakukan oleh pemerintahan yang dipilih jujur demokratis dan langsung yang dimenangkan pasangan SBY-BUDIONO kedepan untuk mengatasi peristiwa terror dan issu separatisme di papua.

B. Akar Masalah

Papua Barat (dulu, Irian Jaya), sejak integrasi melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979, maka penyelesaian konflik berkepanjangan terus terjadi belum pernah terwujud selama ini. Seakan jalan secara damai tak pernah ada ujung. Sebab sepanjang integrasi Papua selalu ada konflik dan itu menyebabkan banyak korban berjatuhan pihak TPN/OPM vs TNI/POLRI dan rakyat Papua. Mengapa ini bisa terjadi? Karena PEPERA tahun 1962, sesungguhnya rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Unisoviet), secara politik lebih condong ke Blok Timur. Karena itu wajar kalau kemudian Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno itu, maka tawarannya adalah Papua harus “dititipkan” untuk di kontrol untuk waktu sementara kepada Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak di kemudian hari.

Namun pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalannya menjadi berbeda, masalahnya jadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk- persetujuan izin penambangan ditandatangani pada tahun 1967 -sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Sejak itu Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi dibungkam habis. Mereka tidak boleh menyanyikan : Hai Tanahku Papua, dan menghormati Bintang Kejora, di seluruh pelosok Papua hanya boleh ada satu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih. Demikian berlangsung selama 45 tahun. Jangan boleh bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring dengan adanya jaminan kebebasan berbicara, persoalan Papua mulai terkuak kepermukaan. Orang-orang Papua mulai mempersoalkan dirinya didalam NKRI dan menuntut pengembalian kedaulatannya yang konon sudah merdeka pada tanggal 1 Desember tahun 1961. Belakangan orang menjadi tahu bahwa kenyataannya memang persoalan Papua sejak awal ada masalah terutama dalam proses integrasi. Karena itu dengan sendirinya persoalan Papua tidak habis selesai sampai situ.

Kampanye dan persiapan membentuk pemerintahanpun dipersiapkan pasca kejatuhan Presiden Soeharto. Satgas Papua, PDP dan kabinet bayanganpun dibentuk dalam Kongres ke II di GOR Jayapura pada tahun 2001. Mereka mulai mengaku dirinya bukan sebagai bagain dari Indonesia, keberadaannya di dalam NKRI tidak sah. Sebab proses integrasi banyak masalah menurut orang Papua. Karena itu integrasi Papua kedalam NKRI dengan sendirinya tidak sah dan cacat hukum. Bukan seperti bahasa para pejabat selama ini yang sering mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (Indonesia)”, sehingga seakan-akan tidak ada persoalan dalam integrasi Papua dalam NKRI.

Bertepatan dengan reformasi mahasiswa Indonesia orang Papua mulai buka mulut dan bicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Hal itu diawali dengan dialog 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) bertemu dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:

1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.

Hasil kongres rakyat Papua ke II ini pada akhirnya membuat sejumlah keputusan rekomendasi, misalnya pelurusah sejarah Papua, agenda dialog, dan pembentukan kabinet bayangan pemerintahan transisi membuat ketakutan tersendiri para pemimpin Indonesia. Konpensasi dari sejumlah rekomendasi Kongres Rakyat ke-II ini sangat mempenagruhi kebijakan keputusan pemerintah pusat Indonesia Misalnya PT. Freeport tetap diambil Amerika dan sedikit ganti kerugian Tanah Ulayat, maka kegiatan sosial bagi rakyat miskin dan terbelakang 7 suku Timika diperhatikan Perusahaan emas terbesar dunia milik Amerika Serikat itu pada akhirnya harus bayar pajak kepada negara Indonesia sangat tinggi saat ini.

Karena proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia, sehingga dengan sendirinya bagi orang Papua integrasi hanyalah aneksasi paksa dan karenanya cacat hukum. Bagi kebanyakan orang Papua, PEPERA yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara) adalah essensi permasalahan dari semua konflik antara TNI/POLRI dan TPN/OPM selama ini. Maka sebelum ada kemauan baik politik para pemimpin Indonesia, maka sepanjang itupula solusi penyelesaian konflik Papua tidak pernah ada titik temu.

Konflik terus berkepanjangan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Bahkan selama 45 tahun integrasi dengan Indonesia sama sekali tidak membawa kemajuan bangsa Papua. Bahkan para pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada gejala yakni suatu upaya proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, dilakukan dan sengaja dibiarkan terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).

Memang ada sesuatu yang baik, jadi maksudnya benar, dari Gus-Dur, yang tidak mampu dimengerti Presiden lain Indonesia. Misalnya hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tidak dipahami baik Presiden berikutnya. Misalnya MRP di Pasung, pencurian emas Papua oleh Freeport Amerika tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip. Hingga ada pasal-pasal UU karet tentang terorisme siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara.

Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk dan martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui dimana, dihilangkan begitu saja tanpa jejak dan pesan, kita semua tidak pernah tahu adalah wajah buruk warisan Presiden Megawati bagi orang Papua.

SBY-JK melanjutkan kebijakan itu dan terus membiarkan terjadi sepanjang pemerintahan mereka. Sehingga banyak mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua sangat menderita dan banyak ditangkap dan disiksa ditahanan Polisi. Demikian ini menyisakan luka mendalam bagi kalangan aktifis rakyat Papua. Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, dinilai kurang sopan.

Umumnya terkesan mengekang orientasi kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Bahkan dugaan kuat dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay bahwa benar ada proses genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan.

Itu berarti upaya secara terselubung pihak-pihak tertentu untuk membunuh habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika benar provokasi para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya hak bereksistensi didunia habitatnya saja tapi juga adalah menyakut mempertahankan hak hidup diri bangsa Papua.

Indonesia dengan stigma seperatisme, UU pasal karet terorisme, menjadikan dirinya semua menjadi halal, membunuh, menangkap dan menyiksa orang Papua boleh. Dan memang selama ini kita tahu, Jakarta banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Oleh sebab itu Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic. Konflik bersenjata antara pihak pejuang kemerdekaan (TPN/OPM) dan TNI/POLRI selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai.

Maka sesungguhnya konflik vertical antara TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat. Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog.

Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya antara TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.

Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.

Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.

Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi Otsus Papua dengan TPN/OPM tapi dengan Presidium Dewan Papua (PDP). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya. Kecuali selama ini kita dengar bahwa Jakarta berkompromi dengan OPM kota buatan militer Indonesia.

Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.

B. Otsus Papua

Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.

Padahal harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa diredam, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme berkempajangan diakhiri disana sebagaimana penyelesaian konflik sama Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian harapan Papua bahwa dengan Otonomi Khusus maka konflik separatisme di Papua bisa diminimalisir. Maka pemerintah Pusat banyak mengucurkan uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009, membantahkan tesis itu.

Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.

Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua bahwa dengan banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka sendiri lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi? Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP saja yang menerima tapi dengan dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.

Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.

Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat, bagi mereka terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentaliltas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Karena pemerintah terkesan memberikan Otsus Papua semata-mata agar rakyat Papua yang menuntut pemisahan diri dari NKRI agar diam.

Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya. Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.

D. OPM: Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua. Otsus bagi OPM di Pasifik dan TPN rimba raya Papua illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima Otsus bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal gerakan resmi separatisme di rimba raya Papua. Hasilnya berbeda dari yang diinginkan. Apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM sesungguhnya yang berkeliaran di negara-negara kepulauan Pasifik di rimba raya Papua.

Hanya PDP saja yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam. Bentrokan TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu sudah bisa dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

Awalnya dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM korban terus berjatuhan. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh pemuka Papua dan TNI/POLRI.

Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak diikutkan. Mereka tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.

Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dengan meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.

Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan HAM, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.

KONFLIK PAPUA DAN AKAR PERSOALANNYA

A. Konflik


Eskalasi konflik separatisme dan aksi terror akhir-akhir ini cukup menyita perhatian public nasional dan internasional. Terror dan issu separaratisme Papua memang sudah lama ada, namun yang cukup mengecutkan semua pihak karena peristiwa teroor ini waktunya bersamaan dengan Pemilu 2009, dan tensinya sangat tinggi terjadi sepanjang waktu rakyat Indonesia sedang melaksanakan pesta demokrasi. Sejumlah insiden diberbagai tempat pelosok Papua, tentu ada aktor inteletual dibalik semua peistiwa yang banyak mengorbankan rakyat kecil itu. Karena serangkaian peristiwa terror dan issu separatisme waktunya bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu Legislative dan Pemilu Presiden Indonesia.

Dalam siaran persnya kamis 15 Juli 2009 Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo dan Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) Marcus Haluk menolak tegas organisasinya terlibat dalam peristiwa penembakan di Timika yang menewaskan warga Australia. Padahal sebelumnya Sekjen KNPB Demus Wenda pernah mengakui bahwa beberapa insident seperti Tinginabut, pembakaran Gedung Rektorat Uncen, Penguasaan Lapter Kapeso, penyerangan Polsek Abepura dan Kampung Slayer Abe Pante adalah gerakan rakyat Papua yang mencari kedaulatan.

Padahal dengan adanya Otsus Papua harusnya mampu mencegah separatisme. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat meredam anasir separatisme. Itu memang sesuai dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport saja, pemerintah tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus.

Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Dimana kesalahannya dan bagaimana solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua mau diakhiri?

Menjelang Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2009, aksi terror dan separatisme tetap, malah semakin tinggi eskalasinya. Pilpres tahun 2009 diharapankan terwujud pemerintahan demokratis dan penegakaan HAM, malah dicederai oleh terror. Padahal hasil quick count SBY-Budiono pemenang sementara Pemilu 2009, yang dipilih secara langsung jujur adil dan demokratis diharapkan mampu meredam semua konflik berkepanjangan. Malah sebaliknya aksi-aksi terror dan separatisme justeru mencederai semua harapan itu. Jika tidak hati-hati ditangani bukan tidak mungkin Papua bisa lepas, dan eskalasi resistensi masyarakat akan lebih besar dan tinggi untuk memisahkan diri dari NKRI.

Serangkaian aksi terror menjelang dan pasca pemilu legislative seperti; penemuan bom di jembatan Kali Tami Jayapura, pembakaran Rektorat Uncen, Kantor KPUD, penikaman beberapa warga di Perumnas I, II, II Waena Kota Jayapura, penikaman tukang ojek di Wamena, pembakaran tangki minyak di Biak, penembakan dan pembakaran warga sipil di Kapeso Mamberamo Raya, pemenbakan warga sipil oleh anggota TNI di perbatasan RI-PNG, dan sejumlah peristiwa lainnya menjelang pemilihan Presiden sangat mengejutkan semua pihak.

Tidak begitu jelas siapa pelaku sesungguhnya dibalik semua aksi terror ini. Tapi ada kesan aparat TNI/POLRI dan TPN/OPM sama-sama bermain. Yang pasti aksi terror lebih dasyat tapi juga terorganisir terus akan terjadi lagi di Papua pada waktu akan datang, melampaui aksi terror saat ini. Aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan pelakunya sangat terlatih dan perofesional, mengingatkan kita kasus sama di Tasikmalaya oleh Naga Hijau, dan itu dilakukan satu hari sebelum pencoblosan Pemilu Legislatif tanggal 8 April tahun 2009. Jika begitu ada apa sebenarnya dan siapa pelaku sesungguhnya?

Dari ciri-ciri modus operandinya pelaku diduga keras kelompok terlatih, yang pastinya bukan OPM. Walaupun demikian pihak militer menuduh bahwa dibalik semua peristiwa aksi terror di sejumlah tempat di Papua dilakukan oleh kelompok garis keras sayap militer TPN/OPM. Di Ibukota Propinsi Papua saja aksi terror terus-menerus terjadi di sejumlah sudut kota Jayapura, misalnya pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Kampung Slayar di AB Pante, insiden Punjak Jaya, Bandar Udara Perintis Kasepo Memberamo dan sejumlah kasus lain di Papua.

Lalu siapa sesungguhnya pelaku peristiwa penembakan di Mile 52 pada 11 Juli 2009 pukul. 05.00 WIT, yang menimpa Karyawan PT Freeport Indonesia yang bekerja di Departement Expert Munical Contruction, berwarga negara Australia, Mr. Ddrew Nicholas Grant (38), bersama Mr. Lucan Jhon Biggs (pengemudi) dan Maju Pandjaitan (rekan kerja korban) di Timika Papua yang menyita perhatian Internasional karena korban penembakan warga negara asing (Austaralia)?

Sejauh ini TPN/OPM menolak keras dirinya terlibat terror ini. TNI/POLRI belum mengaku, kita masih tunggu hasil penyidikan terakhir akan mengarah ke pihak mana. Sejauh ini belum ada pengakuan dari kelompok manapun, baik TNI/POLRI maupun TPN/OPM. Selang sehari baku-tembak antara TNI/POLRI dan masyarakat kembali terjadi di Yapen Waropen.

Jelang Pemilu legislative dan Pemilu Presiden tahun 2009 paling banyak terjadi serangkaian aksi TPN/OPM dan TNI/POLRI secara sporadis di Papua Barat. Sejak tahun 2008 dirasakan intentitas kegiatan separatisme TPN/OPM dan terror TNI/POLRI dirasakan sangat tinggi di Papua. Bahkan sampai saat ini masih terus berlangsung tanpa bisa diketahui kapan berakhir. Intinya Otsus dengan banyak kucuran dana trilyunan tidak merubah apa-apa untuk meredam terror TNI/POLRI dan konflik separatisme di Papua. Harus ada solusi konpreheshif sekaligus dilakukan oleh pemerintahan yang dipilih jujur demokratis dan langsung yang dimenangkan pasangan SBY-BUDIONO kedepan untuk mengatasi peristiwa terror dan issu separatisme di papua.

B. Akar Masalah

Papua Barat (dulu, Irian Jaya), sejak integrasi melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979, maka penyelesaian konflik berkepanjangan terus terjadi belum pernah terwujud selama ini. Seakan jalan secara damai tak pernah ada ujung. Sebab sepanjang integrasi Papua selalu ada konflik dan itu menyebabkan banyak korban berjatuhan pihak TPN/OPM vs TNI/POLRI dan rakyat Papua. Mengapa ini bisa terjadi? Karena PEPERA tahun 1962, sesungguhnya rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Unisoviet), secara politik lebih condong ke Blok Timur. Karena itu wajar kalau kemudian Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno itu, maka tawarannya adalah Papua harus “dititipkan” untuk di kontrol untuk waktu sementara kepada Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak di kemudian hari.

Namun pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalannya menjadi berbeda, masalahnya jadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk- persetujuan izin penambangan ditandatangani pada tahun 1967 -sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Sejak itu Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi dibungkam habis. Mereka tidak boleh menyanyikan : Hai Tanahku Papua, dan menghormati Bintang Kejora, di seluruh pelosok Papua hanya boleh ada satu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih. Demikian berlangsung selama 45 tahun. Jangan boleh bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring dengan adanya jaminan kebebasan berbicara, persoalan Papua mulai terkuak kepermukaan. Orang-orang Papua mulai mempersoalkan dirinya didalam NKRI dan menuntut pengembalian kedaulatannya yang konon sudah merdeka pada tanggal 1 Desember tahun 1961. Belakangan orang menjadi tahu bahwa kenyataannya memang persoalan Papua sejak awal ada masalah terutama dalam proses integrasi. Karena itu dengan sendirinya persoalan Papua tidak habis selesai sampai situ.

Kampanye dan persiapan membentuk pemerintahanpun dipersiapkan pasca kejatuhan Presiden Soeharto. Satgas Papua, PDP dan kabinet bayanganpun dibentuk dalam Kongres ke II di GOR Jayapura pada tahun 2001. Mereka mulai mengaku dirinya bukan sebagai bagain dari Indonesia, keberadaannya di dalam NKRI tidak sah. Sebab proses integrasi banyak masalah menurut orang Papua. Karena itu integrasi Papua kedalam NKRI dengan sendirinya tidak sah dan cacat hukum. Bukan seperti bahasa para pejabat selama ini yang sering mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (Indonesia)”, sehingga seakan-akan tidak ada persoalan dalam integrasi Papua dalam NKRI.

Bertepatan dengan reformasi mahasiswa Indonesia orang Papua mulai buka mulut dan bicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Hal itu diawali dengan dialog 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) bertemu dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:

1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.

Hasil kongres rakyat Papua ke II ini pada akhirnya membuat sejumlah keputusan rekomendasi, misalnya pelurusah sejarah Papua, agenda dialog, dan pembentukan kabinet bayangan pemerintahan transisi membuat ketakutan tersendiri para pemimpin Indonesia. Konpensasi dari sejumlah rekomendasi Kongres Rakyat ke-II ini sangat mempenagruhi kebijakan keputusan pemerintah pusat Indonesia Misalnya PT. Freeport tetap diambil Amerika dan sedikit ganti kerugian Tanah Ulayat, maka kegiatan sosial bagi rakyat miskin dan terbelakang 7 suku Timika diperhatikan Perusahaan emas terbesar dunia milik Amerika Serikat itu pada akhirnya harus bayar pajak kepada negara Indonesia sangat tinggi saat ini.

Karena proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia, sehingga dengan sendirinya bagi orang Papua integrasi hanyalah aneksasi paksa dan karenanya cacat hukum. Bagi kebanyakan orang Papua, PEPERA yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara) adalah essensi permasalahan dari semua konflik antara TNI/POLRI dan TPN/OPM selama ini. Maka sebelum ada kemauan baik politik para pemimpin Indonesia, maka sepanjang itupula solusi penyelesaian konflik Papua tidak pernah ada titik temu.

Konflik terus berkepanjangan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Bahkan selama 45 tahun integrasi dengan Indonesia sama sekali tidak membawa kemajuan bangsa Papua. Bahkan para pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada gejala yakni suatu upaya proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, dilakukan dan sengaja dibiarkan terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).

Memang ada sesuatu yang baik, jadi maksudnya benar, dari Gus-Dur, yang tidak mampu dimengerti Presiden lain Indonesia. Misalnya hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tidak dipahami baik Presiden berikutnya. Misalnya MRP di Pasung, pencurian emas Papua oleh Freeport Amerika tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip. Hingga ada pasal-pasal UU karet tentang terorisme siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara.

Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk dan martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui dimana, dihilangkan begitu saja tanpa jejak dan pesan, kita semua tidak pernah tahu adalah wajah buruk warisan Presiden Megawati bagi orang Papua.

SBY-JK melanjutkan kebijakan itu dan terus membiarkan terjadi sepanjang pemerintahan mereka. Sehingga banyak mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua sangat menderita dan banyak ditangkap dan disiksa ditahanan Polisi. Demikian ini menyisakan luka mendalam bagi kalangan aktifis rakyat Papua. Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, dinilai kurang sopan.

Umumnya terkesan mengekang orientasi kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Bahkan dugaan kuat dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay bahwa benar ada proses genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan.

Itu berarti upaya secara terselubung pihak-pihak tertentu untuk membunuh habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika benar provokasi para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya hak bereksistensi didunia habitatnya saja tapi juga adalah menyakut mempertahankan hak hidup diri bangsa Papua.

Indonesia dengan stigma seperatisme, UU pasal karet terorisme, menjadikan dirinya semua menjadi halal, membunuh, menangkap dan menyiksa orang Papua boleh. Dan memang selama ini kita tahu, Jakarta banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Oleh sebab itu Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic. Konflik bersenjata antara pihak pejuang kemerdekaan (TPN/OPM) dan TNI/POLRI selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai.

Maka sesungguhnya konflik vertical antara TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat. Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog.

Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya antara TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.

Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.

Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.

Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi Otsus Papua dengan TPN/OPM tapi dengan Presidium Dewan Papua (PDP). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya. Kecuali selama ini kita dengar bahwa Jakarta berkompromi dengan OPM kota buatan militer Indonesia.

Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.

B. Otsus Papua

Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.

Padahal harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa diredam, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme berkempajangan diakhiri disana sebagaimana penyelesaian konflik sama Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian harapan Papua bahwa dengan Otonomi Khusus maka konflik separatisme di Papua bisa diminimalisir. Maka pemerintah Pusat banyak mengucurkan uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009, membantahkan tesis itu.

Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.

Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua bahwa dengan banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka sendiri lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi? Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP saja yang menerima tapi dengan dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.

Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.

Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat, bagi mereka terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentaliltas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Karena pemerintah terkesan memberikan Otsus Papua semata-mata agar rakyat Papua yang menuntut pemisahan diri dari NKRI agar diam.

Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya. Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.

D. OPM: Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua. Otsus bagi OPM di Pasifik dan TPN rimba raya Papua illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima Otsus bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal gerakan resmi separatisme di rimba raya Papua. Hasilnya berbeda dari yang diinginkan. Apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM sesungguhnya yang berkeliaran di negara-negara kepulauan Pasifik di rimba raya Papua.

Hanya PDP saja yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam. Bentrokan TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu sudah bisa dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

Awalnya dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM korban terus berjatuhan. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh pemuka Papua dan TNI/POLRI.

Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak diikutkan. Mereka tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.

Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dengan meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.

Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan HAM, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.