Minggu, 03 Februari 2008

REKONTRUKSI NILAI-NILAI PAPUA ASLI

A. Papuanisasi

Bahwa sesungguhnya pemerintahan yang berjalan sebelum Otonomi Khusus (Otsus) Papua adalah pemerintahan despotisme (pemerintahan yang diperintah oleh orang seberang, amber). Pemerintahan despotisme itu telah berlansung sejak Papua (dulu, Irian jaya) diintegrasikan kedalam Indonesia. Praktis semua pejabat mulai dari wakil Gubernur (kecuali Gubernur secara simbol tanpa punya kekuatan dan kekuasaan politik penuh, orang Papua asli), Bupati, Camat, serta seluruh jabatan tinggi dan tertinggi di Tanah Papua hampir mulai dari pejabat eselon I sampai kebawah hampir semua jajaran pemerintahan semuanya dikuasai oleh orang-orang yang didatangkan dari pusat untuk mengabdi kepentingan kekuasaan jajahan.

Namun setelah Otsus kita semua berharap agar kita dapat bernapas agak lega, namun kenyataanya, harapan bernapas lega agak meleset juga. Hal ini disebabkan bukan karena banyak orang Papua yang ada dijajaran pejabat publik, sehingga kemandirian (independensi) mengambil keputusan politik sepenuhnya ada di tangan pejabat putra daerah asli Papua. Justeru sebaliknya, kenyataan yang kita amati, soal pemekaran Kabupaten baru, pengangkatan Gubernur, jabatan BUMN, dan jabatan non departemen banyak didominasi orang luar Papua (baca penjajah). Dalam banyak hal dan urusan dalam Era Otsus dewasa ini di Papua, praktis, menunjukkan tidak ada Otonomi Khusus alias Otsus jauh melenceng dari kerangka landasan Otonomi Khusus dalam pengertian sesungguhnya.

Indikasi ketiadaan perwujudan keputusan politik oleh pejabat putra daerah dalam era Otsus dalam wajah pemerintahan Otsus Papua terlihat dari banyaknya desakan kemauan yang menghegemoni setiap kebijakan. Semuanya diatur, Papua satu hanya menjalankannya, walau setuju atau tidak setuju, karena Jakarta menghendakinya dalam semua kebijakan pembangunan di Papua. Kalaupun ada Otsus dengan pejabat tinggi orang Papua sendiri, namun hampir dapat dipastikan semua kebijakan adalah pesanan Jakarta. Karena itu Otsus Papua sesungguhnya yang terjadi adalah adanya banyak kasus sering dan selalu harus (diintervensi) oleh dan dibawa pergi untuk diselesaikan oleh pusat kekuasaan.

Bahkan lebih dari itu banyak orang pendatang yang tetap secara rakus tanpa malu ikut memperebutkan jabatan di Tanah Papua yang konon katanya diberlakukan Otonomi Khusus (pemerintahan sendiri), lebih anehnya lagi terasa oleh kita dalam Perdasi (Peraturan
Daerah Propinsi) dan Perdasus (Peraturan daerah Khusus) mengesahkan Wakil Gubernur boleh orang pendatang alias penjajah. Jika demikian adanya Otsus sesungguhnya tidak ada, kalaupun ada tidak bermakna.

Selama ini ada istilah yang cukup populer ditelingga kita, yaitu istilah Papuanisasi. Apa itu Papuanisasi? Papuanisasi adalah mem-Papua-kan kembali Papua. Jadi Papuanisasi pengertiannya sekitar, semua pejabat publik, semua jabatan politik, semua kebijakan, semua keputusan politik harus, dari, oleh, untuk, Orang Papua. Berarti papuanisasi pengertiannya tidak terlalu jauh dari, 'semua keputusan politik, kebijakan politik, keberpihakan politik harus mengaju ke Putra daerah'. Disini saya sengaja menggunakan kata harus, mengapa? Karena alasannya kita di Papua Otonomi Khusus, bukan hanya Otonomi, tapi ada keistimewaan kata khusus. Jadi kita tidak sama, sebagaimana otonomi seluruh propinsi Indonesia.

Papuanisasi dimaksudkan untuk mengembalikan semua jabatan publik seluruh jajaran pemerintahan di Papua yang sebelumnya secara despotis dikuasai oleh orang seberang sebagai kaki-tangan kolonialis, dikembalikan kepada penduduk asli. Untuk tujuan pengawasan, agar jabatan tetap dan di kuasai anak negeri (orang Papua asli), maka dibentuklah MRP, sebagai lembaga refresentasi cultural yang diantara fungsi lainnya mengawasi dan menjaga hak-hak politik orang Papua asli. Sehingga tidak boleh mengulangi sebagaimana sebelumnya yang secara tiran dan despotis dikendalikan oleh pusat, dan keputusan dan kekuasaan politik dikembalikan kepada Orang Papua sendiri untuk memerintah atau mengatur pemerintahan sendiri tanpa ada banyak intervensi dari pusat sebagaimana sebelumnya.

Tujuan Indonesia memaksakan Otsus di Papua dengan alasan agar orang Papua mengatur pemerintahan sendiri kecuali hanya dalam beberapa hal yakni monter, militer, agama, dan hubungan luar negeri, karena satu dan lain hal, diantara satu halnya itu adalah kekhususan ciri dan karakteristik Papua yang bukan Indonesia, maka Otsus dimaksudkan untuk melakukan kembali Papuanisasi, mengatur pemerintahan sendiri dari-oleh-untuk Orang Papua bagi Papua sendiri, lain dari itu tidak.

B. Demokrasi

Papuanisasi tentu saja tidak boleh ada unsur balas dendam, misalnya karena alasan pemerintahan tiran lagi despotis kaum pendatang yang umumnya jorok, kasar dan bobrok moralnya selama ini, maka dalam era Otsus yang berarti Papuanisasi maka kita melakukan marginalisasi (penyingkiran) orang lain non Papua adalah mentalitas complex imferiority, yaitu suatu penyakit rasa rendah diri (bedakan dari rendah hati). Akhirnya kita membalas politik despotisme mereka dengan menyingkirkan mereka diera Otsus/Papuanisasi ini adalah hanya mengulangi kesalahan yang sama saja, malah kita terjerambab dalam tiranisme baru, yang berarti anomali dari demokrasi yang sesungguhnya kita punya budaya Papua yang lebih dekat bahkan persis dengan demokrasi dalam arti sesungguhnya.

Kita dan budaya serta adat Papua misalnya mitologi Irarutu, terbentang dari daerah Raja Ampat, Kokoda, Bintuni, Fak-Fak, sampai Kaimana, mengujar bahasa tras fila Papua. Menurut para ahli misalnya J.R. Mansoben, daerah ini, pola kepemimpinan masa lalu dengan raja, dan lebih dipengaruhi oleh budaya kepemimpinan dalam sistim pemerintahan yang berarti kerajaan (monarki), namun menurut Mansoben daerah itu telah lama terjadi penyesuaian dengan budaya lokal, karena itu motologi wilayah ini menunjukkan lebih pada pengertian demokrati, misalnya ceritera tentang 'Gunung Kuri', yang dimensinya pada humanisme, malah menurut saya lebih pada pengertian unityhumanisme (kesatuan manusia).

Menurut budaya Irarutu manusia berbagai ras, suku, bangsa dan warna kulit, rambut, serta aneka seni dan budaya diseluruh dunia pada dasarnya satu nenek moyang, nenek moyang mereka itu adalah orang Papua, mereka semua keluar dari Gunung Kuri dan turun
diberbagai benua membawa misi dan tugas masing-masing.

Ceritera Gunung Kuri menunjukkan bahwa Kuri mendahului paham humanisme di Eropa yang hanya beberapa abad lalu yaitu setelah pencerahan(renainsance), tepatnya pada abad ke 17 lalu, yang berarti lima abad saja. Dibandingkan dengan budaya Irarutu sejak abad 15, bahkan nilai genuin Papua lebih pada pengertian sesungguhnya demokrasi asli sebagaimana pengertian demokrasi Yunani berabad-abad usianya di hayati di Papua.

Kini kita berhadapan dengan berbagai paham baru, namun kita punya pengertian demokrasi lebih sempurna, hampir tidak ada cacat, karena budaya Papua terutama, budaya Papua yang paling asli, yang kini bertebar di pelosok dan pesisir Papua tidak ada yang tidak lain selain mengajarkan kesatuan manusia. Berarti paham pluralisme telah ada dalam budaya paling asli sekalipun di Tanah Papua dalam keisolasiannya.

Didaerah pesisir Papua, sebagaimana dimana-mana didunia, lebih cepat menerima trasformasi nilai-nilai baru, dan memang akar budaya dalam pengertian demokrasi modern selalu masuk ke daerah pedalaman harus transit dulu disini, karena itu orang Papua pesisir lebih demokratis dan punya pemahaman demorasi lebih baik dari Indonesia misalnya.

Di pesisir Papua umumnya masyarakatnya lebih terbuka, cepat menerima dan menyesuaikan dengan hal-hal baru, sehingga proses modernisasi lebih dahulu terjadi di pesisir Papua dan Pulau. Namun dalam mitologinya menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu satu dan sama, manusia bersaudara, kita hidup harus bersaudara, sebagaimana hakekat alami manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan yang lain. Karena itu wajar, mereka lebih terbuka dibanding pengamatan kita di daerah lain.

Gejala atau kesan kita yang berarti belum tentu benar, karena bertentangan dengan budaya aslinya, bahwa orang di pedalaman agak kaget (shock Cultur) sehingga sikapnya resisten terhadap gejala baru termasuk dalam hal orang baru apalagi kalau mereka itu adalah penjajah, maka diduga orang pedalaman dianggap tidak demokratis. Tapi asumsi ini terbantah, dengan alasan sangat sederhana bahwa ketika orang Eropa datang di daerah pedalaman mereka diterima biasa-biasa saja.

Belanda tidak ditentang atau dianggap penjajah, malah orang didaerah pedalaman tidak harus mengerti, kenapa mereka pulang kembali tanpa pernah pamit, meninggalkan saudara mereka, orang Papua, hingga Papua akhirnya kini bersama saudara tapi saudara jahat, tidak sebagaimana seharusnya sebagai saudara.

Sebagaimana idealnya demokrasi karena Papua penduduknya heterogen, pluralistik, majemuk tentu kebutuhan akan papuanisasi disatu pihak dan demokrasi asli dari budaya Papua yang melihat aspek kesatuan (unity)manusia, disini kebutuhan hanya untuk
diselaraskan dengan kerangka dasar budaya demokrasi yang sudah dimikili dengan demokrasi sebagai tuntutan dan sebagai yang berkembang di dunia modern.

Dengan tetap mengedepkan aspek demokrasi yang berdimensi universal dan menyeluruh, maka di Papua mengukur demokratis atau tidak semua aturan dan UU baik itu perdasus dan perdasi harus disesuaikan dengan budaya dan adat Papua. Maka yang akan didapati bahwa budaya dan adat Papua memandang domokrasi adalah milik sendiri bukan barang asing dalam budaya dan tradisi yang ada dalam ceritera mitologi di semua suku bangsa Papua. Maka penting disini bagi kita kedepan hanya butuh mengambil rujukan menata pemerintahan dari rujukan budaya asli bukan budaya lain Papua apalagi Jawa-Indonesia.

Demokrasi Papua adalah sebagaimana pengertian hakiki demokrasi. Demokrasi dewasa ini yang dikembangkan oleh Indonesia adalah demokrasi yang telah berkontaminasi dengan nilai lokalitas budaya Jawa-Indonesia. Karena itu kita harus melakukan rekontruksi kembali demokrasi dari nilai-nilai Papua sendiri yang disesuaikan dengan unsur lokalitas budaya dan adat Papua yang senantiasa selaras dengan pengertian demokrasi yang sesungguhnya. Karena itu kita dapat, dan sanggup, karena kitapun bisa mengklaim bahwa demokrasi kita, demokrasi dalam budaya Papua, lebih demokratis, tanpa campur tangan apalagi intervensi demokrasi ala Indonesia- Jawa.

Masalahnya bahwa selama ini terjadi indoktrinasi demokrasi ala Indonesia menjadi terasa sangat janggal karena tidak membumi, bahkan kita agak geli, kita merasa tidak sopan menerima demokrasi Indonesia yang kurang ajar demokrasi. Karena demokrasi Indonesia dibandingkan demokrasi kita, demokrasi Papua, demokrasi dalam budaya Papua lebih menjajikan pengertian demokrasi secara lebih utuh dan tepat dengan penghayatan dan pengertian demokrasi sesungguhnya dalam pengertian demokrasi secara universal.

Tidak ada komentar: