Minggu, 03 Februari 2008

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN PAPUA MERDEKA

PAPUA BELUM MAMPU MERDEKA

Banyak alasan, Papua belum mampu merdeka terbenarkan, sehingga banyak orang mengatakan, termasuk pihak internasional bahwa Papua adalah sebuah Pulau dengan suku-sukunya yang masih saling berperang antar sesama mereka. Disana masih ada tradisi memotong (mengayau) kepala manusia, kanibal (makan manusia). Secara umum, 'kesan' (berarti belum tentu benar), bahwa Papua adalah sebuah Pulau yang dihuni oleh suku-suku dengan dominan perang antar sesama suku. Singkatnya Papua indentik dimata Internasional adalah masyarakat yang belum beradab.

Dengan alasan ini belum banyak perhatian pihak Internasional untuk mendukung kedaulatan Papua agar mengatur negerinya sendiri tapi untuk sementara, cukup "dititipkan" saja dulu, kepada Indonesia untuk membangun Papua. Ini adalah alasan classic selama ini yang rasional bagi cara berfikir yang dibentuk oleh opini tentang keterbelakangan Papua. Cara pandang ini utamanya dimiliki oleh Amerika Serikat, dan sebahagian negara anggota PBB lainnya. Bahkan, 'issu Papua orang tahu tapi tidak populer'; demikian laporan situs OPM dalam internet beberapa waktu lalu; ketika komentar seorang politikus Eropa, opininya tentang issu gerakan Papua Merdeka.

Mengapa hal ini menjadi terbenarkan? Alasan utamanya adalah karena GERAKAN PAPUA MERDEKA, tidak ditempuh dengan gerakan intelektual. Gerakan Intelektual dimaksudkan disini, adalah perjuanga yang terorganisani dengan melibatkan semua komponent komunitas Papua, dalam satu barisan perjuangan misalnya dalam gerakan Perjuangan OPM, dan atau juga PDP. Sehingga perjuangan Papua adalah perjuangan rakyat semesta. Sehingga pelibatan semua demikian menghasilkan revolusi gerakan serentak dan resistence yang kuat, akan keinginan mewujudkan Negara Papua berdaulat penuh sebagai sebuah bangsa dan negara terasa wajar dan masuk akal, bagi dukungan internasional.

Perjuangan gerakan Papua, tidak sebagaimana OPM, PDP malah mencekoki rakyat Papua dengan teori perjuangan Papua kepada rakyat Papua Barat, bukan dengan semangat perjuangan dengan nilai-bilai Papua sendiri, tapi perjuangan dengan konsep dan teori asing bagi kebanyakan rakyat Papua. Konsep perjuangan idealnya adalah perjuangan yang diwarnai oleh nilai-nilai damai Papua sendiri, (mohon tidak dikacaukan dengan gerakan, PERJUANGAN DAMAI, versi tokoh-tokoh agama yang dominan di PDP, yang sepenuhnya didukung tokoh Agama Islam Tradisional NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus-Dur). Padahal bungkusan perjuangan damai versi agama yang isinya kekerarasan, pada saat yang sama kekerasan berlangsung, dan itu nyata terjadi di Papua Barat.

MULTI CULTURALISME PENDUDUK PAPUA

Karena itu, hemat penulis untuk Papua dengan multi culturalisme, (seperti : etnis, agama, suku dan bahasa) sulit menghasilkan Revulusi gerakan perjuangan yang berhasil, sebaliknya hanya membiarkan kekerasan berlangsung dan kita terus menyatakan perjuangan damai. Oleh sebab itu Papua dengan dominan adat dan budaya, konsep revolusi agama sebagaimana; Amerika Latin dengan teori Teologi Pembebasan, atau Revolusi Islam semisal oleh para Mullah di Iran dibawah pimpinan Ayatullah Imam Khumaini, atau juga sebagaimana di Timor Leste yang lebih Dominan Katolik dengan gerakan Moral yang kuat seperti tokohnya yang meraih hadiah Nobel perdamaian, Uskup Bello, sangat amat jauh dari harapan, malah sebaliknya kekerasan terus belangsung sebagai akibatnya.

Dengan demikian kesimpulannya bahwa konsep perjuangan damai, sekali lagi, PERJUANGAN DAMI, tidak relevant, (atau; tidak nyambung) dengan konteks sosial dan budaya Papua. Singkat perjuangan dengan tanpa memperhatikan konteks sosial budaya Papua sendiri tidak ada hasil sama sekali bagi harapan revolusi perjuangan yang diharapkan sebagaimana konsep perjuangan damai para tokoh PDP. Justeru sebaliknya kita terjebak pada taktik penjajah dan sepenuhnya kita terjebak pada keinginan dan menerima semua usul dan tawaran dan solusi penjajah. Dengan kata lain 'perjuangan damai adalah taktik penjajah dan strategi penjajah untuk menjajah Papua, dengan melumpuhkan karakter agar mentalitas dan cara berfikir dibuat menjadi dependent, bermentalitas complex impriority.

Papua betapapun mayoritas Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan, tapi saat ini, sentra-sentra ekonomi perkotaan dikuasi oleh (Muslim). Seluruh perkotaan di Papua, yang dominant penduduk beragama Islam; walaupun mereka para pendatang (Amber); tapi mereka tetap nantinya; menjadi warga negara Papua Merdeka. Nantinya mereka akan tetap menjadi warga dan penduduk Papua, dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai konsekuensi logis akulturasi dan inkulturasi kebudayaan.

Sintesa antara penduduk lokal dan pendatang adalah terwujudnya integrasi pendatang dan pribumi sebagai satu kesatuan wujud dalam nasionalisme Papua. Karena itu proses asimilasi harus dilihat dan diterima sebagai alat pengokoh demokrasi dan HAM. Contoh demikian ini banyak terjadi didunia bagian lain, seperti Amerika, Brazil, prancis dan Timur Tengah sejak ribuan abad lalu. Tapi kita tidak memaksa, kelak Papua merdeka, mengusir atau menghambat usaha orang tinggal atau pergi dari Tanah Air tercinta Papua Barat.

Sensus penduduk oleh BPS (Papua dalam angka 2000; kerja sama Bappeda Propinsi Papua), menunjukkan bahwa penduduk di kota Jayapura, yang lebih banyak adalah beragama Islam. Walaupun banyak pendatang Suku Dani dan Ekari di sekitar Jayapura, belum didata secara seluruhnya sebagai warga penduduk Ibukota Jayapura didalamnya, bisa menjadi hasilnya demikian.

Inilah alasannya bahwa, kita sebagai aktivis, PAPUA MERDEKA, dewasa ini belum memiliki asumsi sama, tentang batas nasionalisme, sebagai konsekuensi logis, bahwa sebagai bangsa modern, idealisme Negara Papua Barat, yang akan diwujudkan para aktivis Papua Merdeka, apakah juga termasuk orang pendatang, Amber, Muslim, ataukah nantinya Papua Merdeka kelak memperlakukan mereka ini (para warga sipil Melayu Muslim Asia {Bugis, Buton, Makasar, BBM dan Jawa, Madura, NTB, AMBON, Timor serta Melayu Sumatera), sebagai juga penjajah?

Hal ini ditambah lagi persepsi dari dalam (in side) gerakan internal para penduduk urban Asia Muslim, apakah mereka sejauh ini tidakkah mengambat Perjuangan Papua merdeka, ataukah merasa sebagai bagian tak terpisahkan dari negara Papua Barat, merdeka kelak ? Adalah sejumlah agenda yang segera diatasi dan OPM harus memberikan batasan makna perjuangannya bagaimana, sebagai suatu strategi perjuanga rakyat total. Usaha pendefisian demikian penting artinya sebagai kematangan sebuah gerakan perjuangan, dapat diperhitungkan oleh Internasional.

Semua ini sangat bergantung pada sikap, interaksi, selama ini antara sesama penduduk Papua. Apakah ada terobosan pemikiran baru dari kalangan internal para penduduk Papua, baik pribumi maupun pendatang (Amber) untuk saling mau menerima sebagai sesuatu yang nature ataukah kita harus steril adalah kedewasaan berfikir. Disini kita dituntut agar bersikap realistis bahwa asimilasi dalam batas-batas tertentu berlangsung secara alami Contoh kasus, banyak mahasiswa Pegunungan Tengah sudah melakukan perkawinan diluar suku sendiri seperti sejumlah anak-anak Papua yang merantau, jumlahnya mayoritas, baik dikota study Menado maupun di Jogja dan Surabaya.

Disamping ada usaha rekayasa sebagaimana Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat dalam era tahun 1950-an, dapat pula terjadi antara para urban sipil Asia dan Pribumi Papua. Rekayasa sosial bersama yang mengarah pada pembauran dalam pembaruan (inovasi) penduduk yang dari dulu memang multi etnis terutama dipesisir/pulau, sehingga bisa membentuk pemikiran dan pandangan masyarakat awam kedua belah pihak (terutama kita pegunungan yang lama terisolir, menerima mereka, dan diterima mereka) adalah terobosan pemikiran baru terlepas pro kontra.

MISKIN INTELEKTUAL

Terobosan pemikiran intelektual dimaksudkan disini urgensinya adalah apakah kita semua terus mau bertahan pada sikap eksklusif atau inklusif, sangat bergantung pada intelektualisme para pejuang Nasionalis Papua Merdeka, dan internal para warga penduduk Papua semuanya, terutama penduduk sipil pendatang. Barangkali masalah ini sederhana, tapi yang paling fundamental bahwa : "Papua Belum Mampu Mereka", diukur oleh dunia internasional, akan menjadi tampak disini.

"Papua penduduknya primitif, belum beradab, bodoh dan terbelakang". Demikian kata Ali Murtopo; dan lanjutnya; "kita (Indonesia) hanya menginginkan harta kekayaannya saja, bukan penduduknya".

Sebenarnya pernah diakui Koentjaraningrat (1994), seorang antropolog dari Indonesia dalam bukunya "Irianjaya, Membangun masyarakat Majemuk", mengklasifikasi masyarakat Papua bahwa daerah yang paling banyak melahirkan intelektual Papua yang pertama adalah daerah Biak dan kedua adalah Sentani Jayapura. Itu ceritera 30 tahun yang lalu, sekarang keadaannya banyak berubah, kini banyak terjadi pemerataan persebaran intelektual, bahwa kita, Bangsa Papua Barat, sudah banyak memiliki para pemikir, baik tua, apalagi, yang muda tersebar disemua wilayah Papua.

Hanya masalahnya, adakah pemikir-pemikir pembaharu (inovator) Papua dewasa ini sebagaimana, Thomas Wanggai dengan Bintang 14-nya dengan klaim Melanesia-nya terdiri (melingkupi), dari wilayah Fasifik (Timor, Maluku, sampai Micro/Macronesia), atau juga Arnold Ap, dengan lagu-lagu, "Mambesak"-nya mampu membangkitnya Nasionalisme sampai melampaui batas wilayah sebagai Negara Papua Barat dewasa ini? (Jos Adjondro, 2000), dan juga jangan pernah lupa Black Brathers, sebuah club music paling populer era tahun 60-an sampai 80-an awal yang banyak digemari rakyat Indonesia oleh syair-syair dan lirik lagu yang menghipnotis para pengemarnya, yang kemudian diusir oleh Soekarno, terutama oleh judul lagunya; "Lonceng Kamatian" dan "Hari Kiamat", yang menyindir langsung Soekarno sebagai Presiden bangsa kolonialis Indonesia kala itu.

Adalah masalah tersendiri untuk merumuskan apa yang dimaksudkan sebagai Waltanchaung, (Falsafah negara Papua Barat), yang konon telah merdeka tanggal 1 Desember tahun 1960 itu. Apakah falsafah negara Papua Merdeka kelak yang dimaui oleh para pejuang dan pemimpin Papua dewasa ini, apakah negara berideologi terbuka (liberal), ataukah tertutup (konservati), dan akan diwarnai oleh dominasi agama seperti Indonesia dengan Malaysia yang banyak mendadani negaranya agar agak kelihatan Islami dengan dandanan atribut islam, walau ideologinya yang di pakai bukan islam? Adalah masalah lain yang belum dirumuskan bersama dalam gerakan perjuangan OPM dewasa ini menurut saya sesungguhnya sangat penting diperhatiakan untuk kedepannya.

Tapi saya sebagai masyarakat awam dalam gerakan, bahwa yang diimpikan oleh semua para pejuang, termasuk penulis artikel ini, bentuk negara yang diharapkan adalah republik demokratik. Hal ini jika dilihat dari multi culturalisme penduduk, bukan saja setelah adanya penduduk urban yang nasibnya sesungguhnya juga terjajah di negerinya sendiri, misalnya penduduk Transmigrasi dari Jawa. Atau oleh adanya kedetakan kultur Melanesia misalnya penduduk urban misalnya Buton, Eks penduduk Timor Leste pro NKRI yang kini ditempatkan oleh Kolonialis di perbatasan dan Arso sebagai Transmigrasi Swakarsa dan Penduduk Timor Barat (Kupang dan Flores atau juga Ambon dan Key)

Saya sangsi, sekaligus optimis, bahwa pemerataan intelektual Papua dewasa ini cukup memadai, itu yang membuat saya optimis, tapi membuat saya sangsi, karena pemikirannya masih emosional, fragmentaris, tidak radikal dan fundamental. Mungkin ini yang dimaksudkan Arkalius Baho, dalam galauan hatinya, agar Papua memiliki gaya dan karakter menulis khas Papua, sehingga tercipta pemikir atau gaya menulis sama sekali berbeda (walaupun itu tidak mungkin, dan sepenuhnya bisa dan benar, lihat keberatan Abe)- dari selama ini ada yang kita miliki. Mengingat belum pernah ada satupun anak Papua menawarkan alternatif terobosan pemikiran baru yang bersifat inovatif.

Sehingga tercipta harapan rekan Arki, dan agaknya Arki, menghendaki adanya semacam gaya (berarti, memodifikasi) menulis (berarti juga, pemikiran intelektual) , khas Papua, tanpa mengekor gaya menulis atau cara berfikir penjajah. Berarti tawaran Arkalius Baho adalah ajakan untuk munculnya sebuah gerakan intelektual guna memodifikasi pemikiran terserak dan kaku selama ini, dengan inovasi (pembaharuan pemikiran) baru. Substansi pesan pembacaan kita mungkin berbeda karena itu bisa saja kesimpulan kita bisa beda dan lain antara saya dan kawan-kawan yang sudah komentar diatas semua. Namun ada satu stimulus yang menarik buat saya; "Jangan Adopsi cara menulis ilmiahnya penjajah", demikian pesan akhir Arki.

BAHAYA HEGEMONI BUDAYA PENJAJAH

Saya akui bahwa kita dapat menyaksikan bahwa; yang tahu, mengerti, bisa, mampu, sanggup, benar dan yang ilmiah itu, yang menghinggapi alam pikiran Rakyat Pribumi Papua Barat dewasa ini, bagai penyakit terjangkiti dalam masyarakat Papua, adalah alam pikiran penjajah. Hal ini dapat teramati bila kita menggunakan analisis dialektika wacana, dengan pisau analisis, dialektika wacana maka sangat terbaca dengan jelas terang benderang, bahwa usaha dominasi budaya penjajah lewat berbagai media selama ini melahirkan cara pandang di pihak orang Papua, terutama Pribumi, bahwa yang "bisa" dan "tahu" hanyalah penjajah. Sengaja diberi petik, mengingat, tahu dan bisa itu sendiri dalam hal apa. Yang pasti bahwa kecenderungan cara pikir ini telah mendominasi rakyat Pribumi Papua Barat, sebagai akibatnya.

Dominasi (hegemoni) budaya oleh indoktrinasi ideologi NKRI dalam berbagai alat sebagai medium di Papua Barat adalah sangat berbahaya untuk disadari. Indonesia sebagai pihak penjajah, melakukan berbagai usaha, untuk mencemari pemikiran lemah dipihak terjajah dan superior di pihak penjajah adalah penjajahan sistematis yang juga barangkali tidak disadari oleh kebanyakan kita bila tanpa mengunakan pisau wacana analisis, sebagai pengupasnya.

Ini sangat berbahaya! complex impriority (rasa rendah diri), bermula dari sini. Hal ini disebabkan oleh akibat hegemoni budaya penjajah yang mendominansi dalam hidup dan kehidupan rakyat tercinta Papua Barat, yang merambah merasuk disemua lini kehidupan manusia Papua Barat yang memiliki karakter budaya Fasifik dan punya harga diri sendiri lain sama sekali dari budaya Penjajah Indonesia yang Asia. Akibat fatalnya adalah bahwa; mengakui diri dan orang sendiri tidak tahu, belum mampu, tidak bisa, sebaliknya bahwa yang tahu dan bisa hanya para penjajah adalah sama saja melecehkan diri sendiri, menghina diri sendiri dan Tuhan sebagai pencipta, kalau kita mempercayainya sebagai Pencipta. Contoh kasus sebagai berikut :

Pertama ; Seorang teman, pemuda Dani, pulang ke Wamena dari Perantauan menuntut ilmu, dalam masa liburan. Dalam kesempatan tu ada kejadian begini; "Teman saya dari itu, ketemu dengan seorang Tua di sudut Kota Wamena, tepatnya Pasar Nayak Wamena. Walaupun koteka, mungkin sebagai tren Otsus Papua, Paitua Dani ini punya Hand Phon (HP). Hand Phonnya ini, mungkin saja, dibelikan oleh salah seorang anaknya yang pejabat (PNS) di Kabupaten Jayawi jaya. Waktu kami duduk sama-sama sambil bicara-bicara, tiba-tiba, ada dering suara panggilan masuk dari HP Paitua. HP-nya bisa bunyi tapi suaranya kurang jelas. Rupanya ada salah settingan, karena itu dia harap agar suara Hp-nya dibesarkan, sehingga bisa menerima suara panggilan masuk dengan jelas.

Kepada siap dia percayakan untuk tujuan itu? Dihadapannya, kami ada tiga orang. Dua orang, kami anak Wamena, mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Kami (saya dan temana saya) sebagai; Anak Suku Dani, lahir dari rahim ibu Wamena dan ayahnya juga Dani, profesi (teman saya), mahasiswa S2 tingkat akhir. Dan satu, Mas Parto, asal Jawa Timur, rambut lurus, kulit coklat hitam, profesi kuli bangunan, pendidikan SD tidak tamat. Siapa yang dipercayakan Paitua ini untuk memperbaiki HP-nya agar suaranya besar? Dia memilih, Mas Parto, kuli bangunan, dari Jawa Timur, yang tidak tamat sekolah SD. Mengapa? Papitua pikir, (logika Paitua, asumsi umum Orang Dani dewasa ini). Karena dia Mas-Mas, dari Jawa lagi, pasti semuanya tahu. Mengapa ini terjadi? Hanya kesan, Paitua makan kesan, menjadi salah asumsi.

Sebagai akibat hegemoni budaya Indonesia-Jawa selama ini, muncul kesan umum dikalangan masyarakat Papua, bahwa kesan; wah, baik, maju, hebat di tampilkan dalam berbagai media, elektronik, cetak, dan lain-lain selama ini oleh penguasaan di tanah jajahan Papua Barat seperti misalnya; Cenderawasihpos, RRI, TVRI, dan semua media elektronik Swasta lainnya, membuat kesan lain, contoh kasus misalnya Paitu Dani diatas. Hal demikian tidak hanya Paitu itu, tapi semua rakyat Pribumi Papua, dan ini sangat mempengaruhi opini orang Papua. paitua Dani yang koteka ini, dalam soal tekhnologi komunikasi Hand Phon (HP) dia tidak percaya kami, anak-anaknya sendiri dianggapnya tidak tahu, buta teknolgi alias bodoh, hanya lantaran kami tetap anak Papua dan Wamena.

Kedua, saya sendiri dalam tahun 1995 dari perantauan pulang ke Wamena. Saat itu Bupatinya JB Wenas dari Menado. Wamena sangat maju sebagai kota Wisata, banyak turis mancanegara, perkembangan dan pembangunan sedang digalakkan, roda ekonomi maju pesat. Diantara perkembangan kemajuan itu diantaranya adalah, juga mungkin, 'makan pinang'. Saya tentu tidak makan pinang sebagimana para muda-mudi Dani kala itu.

Karena saya tidak biasa, saya tidak mau makan pinang dan mencobanyapun saya tidak berminat, karena itu saya dianggap tidak maju dan dikatakan; "Tidak Tahu Makan Pinang". Asumsi dibalik kata ini adalah bahwa; "Makan pinang adalah maju", "pernah ke luar Kota Wamena", singkatnya, dianggap maju. Saya heran, makan pinang dianggap 'Tidak Tahu'. Apakah makan pinang sebuah proses ilmiah sehingga dikatakan, Tahu Makan Pinang? Tidak! Orang Muda Dani makan kesan, menjadi asumsi, sehingga terbentuk persepsi salah bahwa makan pinang adalah sebuah "lambang kemajuan", adalah pengaruh dari masyarakat pesisir Papua yang terlanjur, dianggap benar, apalagi ungkapannya, 'tahu makan pinang'.

Malah lebih parahnya lagi saya dianggap belum pernah tahu ke Jayapura hanya lantaran saya tidak mau makan pinang, oleh sebab itu saya di justifikasi tanpa proses di uji, langsung dihukum putuskan para pemuda/pemudi Dani yang hitam manis imut-imut itu, sebagai orang yang tidak maju, tidak tahu alias bodoh. Ini sangat parah, makan pinang tidak dengan proses belajar sebagimana ilmu tapi adalah tradisi, kebiasaan saja, malah saya dianggap tidak tahu makan pinang alias bodoh.

Kembali pada pembahasan kita bahwa Papua dan kita sebagai bagian darinya tentu mempunyai keinginan; sebagaimana harapan Arki, memiliki ke-khasan, cara, metode, menulis sebagai bagian dari 'Dialektika Perubahan', tentu harus dirumuskan. Walupun secara berbeda 100% sama sekali, tidak mungkin, imposible. Karena semuanya saling terkait antara satu dan lain baik dalam budaya, tekhnologi dan ilmu pengetahuan umumnya, sebagai masuk akal dari globalisasi.

Paling-paling kita berharap elaborasi kekhasan dari yang kita miliki sebagai inkulturasi, tidak mungkin semurni-murninya, itu saja, dan itu tercipta dengan sendirinya atau kita merekayasanya sendiri. Tapi hanya satu, bahwa pesan secara ekstrinsik dari Arki; kemampuan dan kemandirian dari hegemoni dan penjajahan budaya dan peradaban dominan penjajah harus di kritisi, disikapi secara ilmiah mana yang central dan feriveral. Agar kita tidak terjebak oleh kesan dan makan opini mereka secara mentah, menelannya bulat-bulat tanpa di kunyah (seperti orang makan Papeda), sebagaimana dalam kedua kasus contoh diatas.

Menurut saya relevansi pesan Arkalius Baho disini. Lain tidak! Sebagaimana Jepang, satu-satunya negara bukan Barat; yang mampu maju secara moden dengan pengalihan teknologi Barat dengan imitasi, dan menciptakannya secara baru sama sekali. Papua harus, secara sama sekali lain dan baru, memiliki kekhasan dan dapat memulainya dengan wacana ilmiah dengan pemikiran secara fundamental bukan emosional dan dangkal.

Bangsa Jepang untuk melakukan rekayasa teknologi (imitasi) mengirim mahasiswanya keluar dan bertebar di semua negara Eropa dan Amerika, pasca perang Fasifik atau Bom Atom Hirosima-Nagasaki oleh Amerika dan Sekutunya tahun 1945. Sekarang Jepang tidak kalah maju dari Barat adalah satu-satunya negara dan bangsa non Barat. Komputer buatan Amerika sebesar meja makan, jepang memodifikasinya menjadi leptop, Hp ukuran As, besar karena jepang orangnya kecil dan pendek memodifikasinya sesuai dengan ukuran tubuh mereka, Hp kecil, masuk dalam saku baju/celana.

Untuk menulis dan dialektika perubahan dimunculkan secara sama sekali lain dan baru untuk Papua; yaitu dengan cara menulis secara lokomotif baru, khas Papua bukan gaya selera penjajah, bisa dengan pola perubahan sistem pendidikan dengan muatan lokal, penyusunan kurikulum, dalam era otonomi khusus memang, adalah wajar dan masuk akal diberlakukan di Papua barat, dan inilah tugas kaka Bas dan Alex.

Tapi saya sendiri tidak mengerti bahwa, mengapa, "Menulis dan Dialektika Perubahan", belum ada dalam tradisi anak-anak kita dewasa ini? Kita bisa memulainya dari sekarang, agar kita juga dapat, mampu, bisa, untuk menemukan, adanya karya dengan pemikiran secara reflektif dari kita, anak-anak Papua, khas Papua. Tapi juga apakah ini dimaksudkan Arkalius Baho? Inikah Kelemahan Kita Itu?. Selama ini yang saya dapati kita saling memaki, menghujat, emosional, trush cliem, tidak terkoordinasi, tapi menganggkat diri sebagai pemimpin Papua dan lain sebagainya. Semua itu tidak lain adalah oleh akibat langsung dari kurangnya disiplin diri dan langkahnya (lemahnya), intelektual terlibat dalam gerakan perjuangan Papua Merdeka.

Budaya intelektual yang kita punyai dewasa ini hanya pemikir 'pemamah' (baca, plagiat), sehingga, kita belum banyak merumuskan konsep-konsep negara Papua Barat, akan seperti apa jika kelak merdeka, dalam hal ini menyangkut persepsi nasionalisme, langsung pada falsafah (waltanchaung). Dan kita belum banyak melakukan terosan baru yang dapat mempengaruhi perubahan itu sendiri. Sehingga masuk akal jika selama ini ada kesan umum masyarakat internasional bahwa; Papua tetap menjadi issu feriveral (pinggiran) dalam konstelasi perpolitikan internasional.

Hal ini terbukti dari laporan situs resmi OPM, beberapa waktu lalu yang melaporkan bahwa issu Papua ditingkat Internasional (PBB), menunjukkan oleh opini itu bahwa issu kemerdekaan Negara Papua Barat, dikenal tapi tidak populer alias lemah. Bahkan mereka (PBB) pernah dengar tapi bukan maen streem dalam agenda sidang umum PBB selama ini.

Kesimpulan

Sebagai akibatnya, oleh lemahnya budaya inteletual dikalangan para aktivis dan pejuang Papua Merdeka adalah penyebab utama, issu Papua Merdeka sangat lemah di PBB. sehingga menyebabkan, pembentukan opini internasional tentang Papua sangat soak (lemah). Menurut saya kita saat ini belum memiliki budaya intelektual yang pada kajian-kajian intelektual baik menyangkut; waaltanchaung (falsafah negara), nasionalisme dalam pluralitas suku bangsa, agama dan penduduk dewasa ini di Papua Barat.

Akhirnya, ini apakah penyebab lain, enggannya intelektual kita Joshua R Mansoben, antropolog pertama Papua dewasa ini dalam pengakuan kompas beberapa waktu lalu "tidak tertarik dengan issu Politik", padahal dia adalah seorang pakar antropologi yang berarti pakar politik papua, dia lebih tertarik pada keilmuan dari pada paktisi politik. Itukah dong bilang kitong tra tau bikin pisang goreng?

Wallahu'alambishowab.

Tidak ada komentar: