Minggu, 03 Februari 2008

MENTALITAS LEMAH DAN BUDAK

Sunnguh, saya selaku Orang Papua, tetap terikat ikatan primordialisme Papua saya, mungkin termasuk juga dengan perjanjian parah tokoh agamawan yang menyatakan bahwa Tanah Papua sebagai zona damai. Namun saya sebagai "orang muda" yang penuh gejolak dan semangat perjuangan untuk pembebasan Tanah Airku Papua Barat, merasa ada yang ingin disampaikan beberapa hal untuk dipertimbangan kembali tapi tidak untuk diikuti, karena ini bukan anjuran, hanya sekedar mengingatkan dampak tidak langsung dari akibat apa yang oleh para tokoh agamawan Perjuangan Damai dalam pembebasan Papua.

Padahal untuk menciptakan Papua sebagai zona damai harus dengan perlawanan. Karena kenyataan sesungguhnya Papua tidak damai adanya selama tidak pernah ada keldaulatan. Herankah pembohongan para tokoh Agama ini? Papua sebagai zona damai, dan ketetapan para tokoh agamawan bahwa perjuangan Papua Merdeka ditempuh dengan perjuangan damai. Oleh sebab itu sekarang dan selanjutnya kita menempuh perjuangan Papua dengan cara-cara damai.

Tapi sadarkah kita bahwa masing-masing keputusan selalu memiliki konsekuensinya sendiri? Konsekonsi yang saya maksudkan disini adalah menciptakan sikap lemah dan kalah. Maksud sebenarnya, karena itu, ini paling berbahaya, apalagi masih hidup, dipelihara, dan masih bernapas pada abad mutakhir diera ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini untuk memelihara makluk yang namanya perbudakan, manusia dengan mentalitas budak, takut, rendah diri, dan memelas kasihan.

Demikian penilaian saya sebagai orang awam bahwa, konsekuensi tidak langsung keputusan Papua Tanah Damai oleh para agamawan, sama saja dengan perbudakan manusia Papua dan menjauhkan mereka dari diri mereka, tidak mengembangkan diri,budaya dalam konteks perampasan hak dan kemerdekaan diri mereka sama dengan menjauhkan mereka dari diri mereka.

Nyatnya kita masih saja mau melangengkan dari penghapusan sistim buruk yang tidak manusiawi antar sesama manusia. Padahal perbudakan sudah dihapus ratusan tahun yang lalu, karena itu tidak boleh ada makhluk yang namanya PERBUDAKAN, apalagi itu di Papua yang dengan latar belakang budaya mereka yang yang tahu harga diri, dan penguasa-penguasa alam yang tangguh.

Perang Dalam Budaya Papua= Agama

Perlawanan dengan cara yang ditetapkan para tokoh agama Papua dapat berdampak menciptakan mentalitas manusia Papua budak dan lemah. Dipandang dari sudut budaya Papua ketetapan dan pesan moral para agamawan sesungguhnya sangat bertentangan. Padahal menurut saya agama adalah gejala baru bagi orang Papua. Orang Papua mayoritas bermukim di Pegunungan Tengah Papua masih menjaga adat mereka.

Orang Pegunungan Tengah masih sangat berat dan erat kuat pengaruhnya dalam adat mereka terus berlangsung kini. Mereka masih menghayati nilai-nilai utama leluhur mereka dengan perang sebagai sendi kehidupan dan kesuburan. Misalnya di Wamena, Suku Dani, perang memegang peran sentral dalam tatanan nilai kehidupan sosial agama, ekonomi dan politik. Agama bagi mereka adalah perang.

Karena itu Walowak, adalah kematian asal yang selalu meminta dan menuntut tumbal. Tuntutan dan permintaan pembalasan sebagai tumbal oleh walowak, menjadi lembaga keagaman adat dan kepercayaan (religi) yang disebut dengan Kaneke. Kaneke yang disimpan Honay adat, tabu, suci, karena itu bagi perempuan, anak-anak tidak dapat masuk Honay sebagai lembaga adat. Ap Warek, adalah jumlah tumbal korban yang lalu tersimpan rapi di honay.

*** ***

Tidak ada komentar: