Kita hanya membuang waktu saja melakukan perdebatan, yang sesungguhnya hanya membuang waktu, apalagi thema perdebatannya dichotomi antara gunung-pesisir/pulau disatu pihak dan senior dan yunior dilain pihak. Energi dan pikiran seharusnya, kita kerahkan untuk bagaimana, bukan lagi cara mana, dan jalan mana, dipertanyakan kembali disini, tapi bagaimana gerak menuju persatuan dan kesatuan nasionalisme Papua, yang sudah ada tinggal hanya, apa yang harus dilakukan sesegera mungkin dan itu harus sekarang juga kebutuhannya. Tapi kenyataanya sesuatu yang sudah lewat kembali dipertanyakan sampai akhirnya kita saling membela diri atau mempertahankan kebenaran argumentasi sebagai benar dengan menyalahkan yang lain, adalah suatu kesia-sian yang merugikan gerakan kita sendiri.
Karena itu saya terus terang, menganggap saya sendiri (Ismail Asso) dan HW orang yang "mabuk" dan masuk dunia maya (internet dalam keadaan "meter". Sebab dalam komunikasi sesama anak bangsa, tidak menggunakan otak dengan logika pikiran yang benar, tapi kacau, persis orang "mabuk". Ketika kita bicara dengan Tuan Octovianus Mote, yang diangkat adalah soal Gunung dan Pesisir, memperhadapkan- hadapkan, demikian juga yang dilakukannya dengan Tuan Andy Ayamiseba sebelumnya. Padahal Tuan Octo, jelas maksudkan dalam konteks nasehat pada Yunior, Ismail Asso atau juga pada HW, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba.
Lalu saya merasa kurang mantap, jadi seharusnya jangan ada, misalnya pemimpin muda tinggal diluar negeri dan Jawa, dalam rantauan, masih ada yang berfikir pesisir-gunung macam itu sangat meragukan tapi juga merugikan gerakan dan persatuan kita, sehingga akhirnya kita memalukan dihadapan diri sendiri, rakyat papua, pada penjajah dan juga internasional. Lebih parahnya dan ini fatal akibatnya, mengaku berjuang untuk Papua M, tapi masih berfikir distingtif, dichothomis, partial, seakan negara Papua Barat itu ada dua, atau sehingga akhirnya, kita diperhadapkan pada mau berjuang yang mana; Pesisir atau Gunung. Itu absurd, tidak masuk akal.
Kita selaku pemimpin Muda Papua jangan lagi berfikir distingtif dengan mempertanyakan ulang apalagi bawa-bawa simbol dichotomi antara sesama element anak bangsa sebagai dari mana tempat lahir, dan itu dihinggapi pada kita-kita yang diharap menjadi pejuang dan merebut wilayah kalau boleh sebagaimana gagasan Thomas Wanggai meliputi semua wilayah Melanesia dari Timor, Maluku, sampai Kepulauan Fasifik Ras Melanesia itu baru saya angkat topi buat anda para pemimpin muda. Demikian juga penghargaan bisa kita berikan dan diharap atau diakui sebagai hebat kalau sekualiatas dengan Arnold AP, budayawan dan atropolog, yang secara sistematis menciptakan lagu Membesak, menembus batas wilayah PB yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961.
Tapi kita yang muda-muda malah ditambah lagi mengaku pejuang Bangsa West Papua membuat wacana dichotomis yang tidak produktif, atau malah mundur kebelakang. Karena rakyat Papua yang dikampungpun tahu bahwa bicara soal Papua apalagi masalah M, adalah semua orang Papua, atau malah lebih maju lagi, seluruh penduduk PB hari ini, tanpa dichotomi. Tapi kalau masih ada pikiran distingtif, nanti ada pertanyaan begini, Papua yang mana? Kalau begitu Papua yang mana mau anda perjuangkan, sebagai pemimpin muda itu penduduk Papua yang mana? Kalau bicara Papua itu ya, satu, bangsa West Papua. Pertanyaan khusus bisa dimunculkan disini misalnya Ismail Asso atau maksud HW, dengan Pesisir atau Pantai itu, maksudnya Negara West Papua yang mana yang mau anda perjuangkan?
Dulu sa deng teman-teman (komen) di Jawa ada banyak kejadian begini. Sa deng teman-teman, komen semua Papua, dimana asal dan darimanapun kami lahir dan besar (pesisr/pulo/ gunung), juga orang tua amber kelahiran Papua, semua orang Jawa menganggap kami orang Papua sama saja. Kami dianggap satu, sama dan selesai. Lalu ada berita gambar dalam tayangan di TV, ada gambar orang Papua pake koteka, atau lain-lain keterbelakangan. Siapapun kami, ko mo dari pesisir ato puloka, anak orang Bugis, Buton, Jawa, dan Melayu, orang lain (Jawa, Indonesia) dong tra anggap siapa ko, dong pukul rata habis. Dong pikir sama saja, padahal sa tau, sa pu teman ada yang tra merasa koteka, tapi itu ko pu mau, ko pu pikiran, tapi dorang? Orang lain (Australia atau Indonesia), dong tra mo tau, koteka, gunung-pesisir/ pulo itu semua termasuk ko, sa atau siapun kita hanyalah Papua satu dan sama.
Contoh kecil kemarin Persipura dong main bola disenayan, Jack Mania menunjukkan sikap perang pada semua pendukung persipura tanpa ampun. Pendukung persipura sendiri terdiri dari anak-anak besar lahir di Papua, siapapun mereka, dari ayah-ibu dari mana lahir, tapi saya amati semangat nasionalisme ditunjukkan disana adalah anak-anak Papua, ada yang dari Ambon, Timor, Buton, Bugis, Makassar, Menado atau orang tua Melayu atau Jawa sekalipun mereka menyatu dalam panji nasionalisme dan heroisme nasional Papua. Hasilnya dong bunuh anak jack mania satu, dan semua barang-barang tata kota Jakarta habis di rusak oleh anak-anak Papua dalam semangat nasionalisme Papua. Saya intip dan dan saya amati secara intelektual dangkal saya, hasilnya saya berkesimpulan bahwa, anak-anak itu menunjukkan sikap nasionalisme Papua, tanpa membedakan, ayah dan mama siap, gunung-pulau, pesisir, keturunan atau apapun simbol dochotomi, tenggelam begitu saja dihadapan nasionalisme Papua.
Semua itu Ko ato Sa, singkatnya; Sa deng Ko, yang ada hanya Komen, Pesisir atau Gunung, --juga mama Jawa (Asia) papak Dani, Ekari (orang gunung), (mohon dimengerti banyak anak koteka gunung di Jawa sebagai mahasiswa banyak maitua Jawa dan anaknya, tapi bukan kura-kura ninja), --itulah cita-cita negara West Papua yang diproklamirkan 1 Desember 1961, tanpa ada antara sa deng ko, tapi ko ato sa, yang ada hanya sa, West Papua. Demikian deng pandangan orang luar dan cita-cita kemerdekaan Papua Barat, satu dan sama. Kita, komen semua, tetap satu dan sama, juga tetap koteka, jubi, gunung, pulo, pesisir, tetap satu, Bangsa West Papua.
Tapi kalau di Jayapura, kita mengalami sebagaimana alam pikiran, seperti saya atau mungkin Saudara HW dan memang terbukti kalau kita ada di Jayapura era tahun 70-an dan 1980-an, (sekarang juga masih ada)-- ada banyak pola penduduk, dua pola budaya pesisir-gunung-pulau, atau antara amber atau Papua. Maka jika anak-anak Papua terlihat kontras yaitu konteks pikiran sempit sebagaimana saya dan HW, itu memang ada, dan itulah proyek devide et impera yang kami dua tidak menyadarinya. Masih adakah pikiran demikian ini sekarang dalam konteks Bangsa Papua mau merdeka? Apalagi dihinggapi tokoh-tokoh muda Papua dan tinggalnya di Jawa dan diluar negeri lagi? Demikiankah pikiran harapan pemimpin muda Papua? Tapi sayangnya masih ada, orang itu saya dan HW, mengelikan! Coba baca kutipannya berikut ini :
"Papua Barat pasti merdeka, lambat atau cepat! Karena
Saudara Radongkir, Saudara Wainggai dan kita semua
kerja sama-sama dengan strategi kita masing-masing."
Membaca kutipan diatas kita semua mungkin, dan saya secara pribadi memang merasa heran, menapa kami terlibat sejauh itu, dengan mudah membagi kerja perjuangan dengan strategi sendiri? Saya dan semua lain yang muda juga dengan kata-kata HW ini: "trategi kita masing-masing". Berarti kita seperti juga HW adalah tipe pemimpin muda yang indisipliner, yang tidak taat asas, prinsip dan dasar-dasar perjuangan organisasi. Hal demikian terlihat juga dalam diskusi dengan senior, seperti dengan Tuan Andy Ayamiseba beberapa waktu lalu dan selanjutnya dengan Octo Mote, menunjukkan hal ini. Menurut saya gaya kita semua yang muda juga HW selain indisipliner, tidak taat asas-asas perjuangan OPM yang berbahaya bagi organisasi perjuangan bersama. Konklusinya benar apa yang dikatakan oleh Sdr Daniel Radongkir bahwa :
"jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR".
Kesimpulannya saya menganggap bisa benar bahwa HW dan kita yang lain semua dapat dikatakan punya agenda sendiri yang terselubung, suatu tuduhan yang sebenarnya tanpa dasar tapi bisa terbenarkan, berdasarkan fakta-fakta argumentasi diatas, sehingga kita juga HW, terjebak pada tuduhan bahwa; bukan berjuang untuk Bangsa West Papua, diluar negeri (Australia) atau di Jawa sana, tapi destructor, tapi juga lebih mungkin mencari popularitas. Hal ini posisi kita semua bersama HW, bisa dianggap benar sebagaimana oleh Sdr Daniel Radongkir katakan sebagaimana kutipan, sebagai "saran dan nasehat" kepada kita semua, agar waspada terhadap hal seperti ini, lengkapnya kutipan itu sbb :
"Kepada seluruh rekan seperjuangan, jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuangan dengan gaya ekslusif-manipulati f, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR".
Akhirnya kita patut menyayangkan progresifitas anak-anak pejuang muda Papua dan Saudara HW yang over, sehingga terkesan tidak sopan atau tidak taat asas-asas pada organisasi perjuangan dalam agenda perjuangan bersama dalam membebaskan diri dalam kungkungan penjajahan NKRI. Kita akhirnya terus di jajah NKRI, pemikiran dikhotomi bahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa Papua Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar