PENDAHULUAN
Banyak pertanyaan dengan thema sama sebelum ini diajukan anak-anak Papua Barat, seperti: "Kapan Papua Merdeka?" Oleh Ismail Asso, "Kapan Saya Bisa Merdeka", oleh Awom Manukwari, dan sebagainya. Tapi sejauh ini belum ada, atau belum sanggup dijawab
oleh kita semua.
Walaupun demikian saudara "Ehud Ham" (nama sebenarnya?) dalam SPM news, sudah mencoba menggagas FORUM sebagai tempat diskusi, guna mencari format perjuangan yang harus ditempuh, dan sebahagian kiat-kiat apa yang sebaiknya dipersiapkan oleh kita, Rakyat Papua Barat itu, secara parsial sudah di diusakan dan dijawab oleh Saudara Ehud Ham.
Maka saya disini hanya menambahi dan mencoba mempertanyakan ulang agar kita memiliki kesadaran sama. Kesadaran sama untuk mencari jalan keluar dari masalah besar dan berat seperti ini. Untuk itu maka langkah pertama kita mengharuskan diri berangkat dari beberapa pertanyaan seperti : apa, bagaimana dan mengapa, agar mengerti, mengetahui sumber hambatan dari kelemahan itu.
Namun jawaban menyeluruh atas pertanyaan demikian tidak memadai atau malah tidak mungkin, apalagi oleh hanya seseorang, bahkan sekalipun lembaga/intitusi seperti TPN/OPM dan PDP/DAP terasa tidak memungkinkan. Bukan karena salah pertanyaannya,
tetapi pertanyaan seperti ini sesungguhnya adalah refleksi (renungan pribadi), atas ketidakpuasan Tanah Air dan Suku Bangsanya di jajah dengan merampas seluruh harta kekayaanya oleh orang lain sebagai penjajah.
Oleh sebab itu pertanyaan seperti ini tidak dibebabankan kepada institusi apalagi pribadi-pribadi dari individu orang Papua untuk menjawabnya. Mengingat kewajiban membela Bangsa dan Negara serta Tanah Air Papua Barat adalah suatu kewajiban bersama seluruh manusia Papua dimanapun dan kapanpun sepangjang kolonisasi Indonesia dan antek-anteknya masih terus berlangsung dengan imbas akibatnya semakin parah dan berbahaya, bagi hidup dan keberlangsungan existence Bangsa Papua Barat kedepan ini.
Maka salah satu cara usaha kita adalah penting menyadari penjajahan itu dan kelemahan kita sendiri dalam usaha menempuh membebaskan diri dan bangkit melawannya segera secara bersama-sama adalah kegunaan thema pertanyaan sama disini. Karena paling-paling kita semua menyadari kenyataan akan kewajiban bela negara beserta segala isi buminya berangkat dari refleksi pemikiran seperti ini. Dan untuk itu tulisan ini mencoba mempertajam pertanyaan sama agar kita semua anak negeri Papua Barat segera menyadari betapa kewajiban mulia ini harus dipikul secara bersama-sama adalah jawaban yang diharapkan atas pertanyaan sama lainnya.
Sehingga kewajiban membela dan memperjuangkan Papua Merdeka tidak hanya tugas dan kewajiban satu dua orang atau lembaga, namun menjadi kesadaran seluruh anak negeri Papua Barat. Dalam hal ini kita sering dingatkan misalnya Tuan Andy Ayamiseba,
(tokoh Nasionalis OPM, yang berdomisili di Vanuatu); "bahwa mulai dari menteri RI Fredy Numberi sampai dengan Gubernur Bas Suebu adalah OPM", hanya bagaimana upaya kita mengoptimalkan potensi semua OPM dan masing-masing memainkan perannya. Usaha demikian sesungguhnya tidak lain sebagai usaha nasionalisasi gerakan perjuangan untuk mewujudkan Nasionalisme. Usaha seperti ini yang seringkali terhalangi oleh egoisme primordial.
Tulisan ini mencoba membangun suatu kesadaran nasionalisme Papua Barat dari sisi, perspektif pemikiran, sehingga kita dapat berpijak dari satu landasan Nasionalisme Papua Barat yang kokoh, elaborasi lanjut dari pemikiran ini yang di harapkan adalah pembaharuan (inovasi) semua gerakan pada satu titik yakni mewujukan Papua Damai, Papua Merdeka dan berdaulat penuh.
KELEMAHAN BANGSA PAPUA
Sebelum memasuki pembahasan lain penting lebih dahulu menyadari kelemahan diri,Bangsa Papua Barat, adalah amatlah penting, agar kita tidak melulu menyalahkan kesalahan diri kepada penjajah Indonesia. Agar dengan kesadaran kesalahan dalam bangsa sendiri dapat membangkitkan Nasionalisme Papua Barat dalam artian yang sesungguhnya. Untuk itu untuk mengetahui kesalahan diri sendiri, Bangsa Papua Barat, sebagai bagian dari insropeksi diri amatlah penting didahulukan dulu disini.
Untuk mengetahui dan mengukur sehingga menjadi tahu, paham, sadar dan mengerti masalah kita akan kelemahan diri sendiri itu, terlebih dahulu harus merumuskan apa-apa kekurangan-kekurangan kita itu. Untuk itu ilmu logika dan filsafat sebagai ilmu kritis sebagaimana Filosof Yunani, Aristoteles, menyediakan beberapa pertanyaan pokok yakni : Apa, Bagaimana dan Mengapa, perlu dimunculkan disini lebih dahulu.
Pertanyaan seperti: "Mengapa Kita di jajah Bangsa Indonesia? "Kenapa Kita tidak Mampu berdaulat"? Apa kekurangan kita itu, agar Papua Barat dapat Berdaulat? Apa yang harus dilakukan orang Papua Barat? Adalah pertanyaan penting, dari sekalian banyak pertanyaan yang dirumuskan, dalam menjawab permasalahan yang kita hadapi Papua Barat pada masa ini. Untuk kegunaan menjawab semua kekurangan dan kelemahan kita untuk mengetahuinya kita membatasi hanya pada tiga sebagai alat pokok yakni Apa, Bagaimana dan Mengapa.
Banyak jawaban yang diberikan sebelum ini, tapi umumnya kita sering salah menyadari bahwa sumber segala sumber ada pada penjajah Indonesia, Amerika dan Belanda atau bangsa-bangsa lain didunia, terutama tatkala PEPERA tahun 1963 itu, karena tidak memenuhi one man one voot. Tapi penting juga menyadari bahwa bukan kesalahan tapi
kelemahan ada pada diri kita, Bangsa Papua Barat.
Kalau begitu apa saja kelemahan itu? Kelemahan kita, Bangsa Papua Barat itu banyak tapi disini bukan tempatnya mengulang-ulang sesuatu yang sudah diketahui dan disadari bersama akan kelemahan itu. Tapi pentingnya disini adalah menyadari kelemahan masa lalu itu sebagai semangat untuk bangkit kembali secara bersama merebut kembali akan hak dan kewajiban merebut kemerdekaan yang dirampas oleh Indonesia-Amerika.
Selanjutnya pertanyaan pokok dan menentukan adalah, "bagaimana". Sehingga bagaimana caranya kita kembali merebut kemerdekaan kita yang konon diproklamasikan 1 Desember 1961 itu? Adalah bukan lagi mengapa? Tapi lebih pada kenyataan kita saat ini, bagaimana caranya. Cara agar kita dapat berdaulat kembali dari kenyataan para penjajah yang mencuri, membunuh, merampok, memperkosa semua sumber daya alam dan manusia Papua Barat yang terus secara tidak waras alias gila yang semakin memprihatinkan berlansung kini. Bbagaimana caranya kita membebaskan diri dari ini
semua adalah pertanyaan pokok.
Bagaimana seharusnya kita dan bagaimana caranya kita membebaskan diri menuju Papua Damai, Papua Merdeka dari penindasan diatas Tanah Air sendiri? Adalah suatu pertanyaan yang senantiasa dibutuhkan untuk dikerjakan bukan untuk menjawab dengan diam tanpa usaha melawan dan menentang Penjajah Indonesia, Amerika, dan lain-lain kapitalisme yang berlangsung di Papua Barat dewasa ini.
Satu sumber penjajahan yang penting disadari adalah hegemoni sosial budaya. Budaya yang dicekoki pada bangsa kita oleh penjajah adalah bukan budaya kita sendiri, tapi budaya penjajah, kita tidak menyadari hal ini, cara bertindak kita, cara berfikir, tingkah laku, dalam diri kita sebagai manusia Papua, bukan cara berbicara sebagai orang Papua, kita berfikir juga bukan cara berfikir sebagai orang Papua, bertindak bukan sebagai orang Papua.
Kita sebagaimana pernah dikatakan Dr. Phil Erari menjadi manusia yang aneh, karena kita berbicara bukan dengan bahasa sendiri, bertindak dengan bukan dengan kemauan sendiri, berfikir bukan dengan pikiran kebebasan diri kita sendiri. Tapi semua adalah
semua kehendak penjajah Indonesia.
Kita terkuasai semua oleh hegemoni budaya Penjajah Indonesia yang Asia. Semua selera Indonesia, bukan selera dan kemauan kita orang Papua sendiri. Kita tidak menentukan kebebasan kita sendiri dalam budaya sebagai orang Papua. Tapi semua sudah dipaketkan untuk kita anut oleh penjajah. Disinilah esensi atau hakekat dari penjajahan itu. Namun kita tidak biasa pernah menyadarinya senantiasa, dan kita terlarut didalamnya. Kita menjadi manusia aneh dimuka bumi.
Adapun beberapa kelemahan yang kita miliki sekarang ini sehingga ada gap antar sesama kita Papua adalah gap antara kultur budaya Papua yang umumnya berdomisili di pegunungan tengah dan kultur Pulau atau dekat laut. Hal ini sangat kontras dalam gerakan perjuangan sehingga untuk menyatukannya menjadi satu payung adalah hanya pernah ada dalam kongres ke II tahun 2001 yang kemudian melahirkan PDP dengan satu tokoh Nasionalis Demokrat yang kharismatik sekelas Theys Hiyo Eluay.
Sejak kematian tokoh ini Papua kini ibarat bayi kesakitan. Kita krisis pemimpin yang sekharismatik dan sekelas Theys untuk saat ini. PDP dibawah Tuan Thom Beanal sangat rapuh dan lemah, ibaratnya hidup segan mati tak mau, demikian kondisi PDP saat ini,
sehingga beberapa waktu lalu TPN/OPM di rimba raya melakukan kongres "terbatas", sekalipun tidak representatip tapi dapat dimaklumi untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di PDP. Disinilah letak kelemahan kita saat ini.
Adapun kelemahan lain kita adalah mudah percaya pada orang lain, dan kira orang Papua tidak memiliki kepercayaan diri, budaya kita mulai rapuh, adat kita sudah kita ganti dengan agama adalah sumber segala sumber yang paling dominant kelemahan krisis kepercayaan diri kita dari sisi budaya. Karena itu kita lebih yakin dan percaya pada orang amber daripada orang Papua sendiri. Indikasi ini dapat diamati pada budaya dekat laut.
Kalau orang Ambon atau orang Jawa ngomong karena mereka mengajar kita agama dan sekolah maka kita menganggap segala kebaikan dan kebenaran ada padanya dengan mengabaikan kebaikan dan kebenaran diri sendiri, ini sesungguhnya sangat berbahaya bagi self of confident (kepercayaan diri), kita dan orang kita sendiri, orang Papua sesungguhnya mampu dan lebih bisa dari orang luar, berangkat dari mengagung-agungkan tidak dari dalam sendiri tapi lebih percaya pada yang dari luar diri sendiri, musibah krisis kepercayaan diri bermula disini.
Seorang Papua dari Pegunungan Tengah dianggap kurang sanggup karena itu tidak diakui sebagai kebenaran dan kebaikan hanya lantaran nilai-nilai baru duluan diterima lewat transportasi laut dari penjajah dengan berbagai istilah bagi penduduk asli di pegunungan maupun dihulu sebagai kanibal, primitif dan akhinya pedalaman.
Stigmatisasi demikian sudah terinternalisasi dalam proses awal transformasi nilai-nilai baru di cekoki pada orang Papua sejak kehadiran pihak asing menjadi melekat dan terbenarkan sebagai sugesti dan hingga hari ini terus berlangsung.
Kelemahan konsolidasi dan koordinasi atau secara sistematis Papua dapat melahirkan tokoh kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan kualitas sehingga dapat diterima kepemimpinanya adalah oleh akibat intervensi budaya Papua oleh budaya asing. Oleh
sebab itu perlu dipikirkan kembali upaya rekayasa ulang untuk mencari dan mempersiapkan pemimpin Papua yang baru untuk mengisi krisis kepemimpinan dewasa ini.
Beberapa kelemahan yang penting disadari kita adalah :
1. Moralitas
Soal moralitas adalah kekurangan dan kelemahan paling utama mau ditempatkan disini, bukan karena orang Papua jarang pergi ke Gereja, atau ke Masjid, bukan pula karena orang Papua kurang percaya pada Tuhan. Orang Papua banyak yang berdo'a baik pagi
maupun menjelang malam hari, orang Papua banyak yang sembayang/sholat dan puasa tetapi yang tidak sedikit pula orang Papua menegak minuman keras, main perempuan (bukan isterinya sendiri), anak-anak remaja bergaul bebas (free sex). Bukan ini yang mau dimaksudkan disini dibawah judul kecil ini.
Walaupun soal ini adalah soal paling penting juga paling utama namun tugas untuk menyampaikan ini adalah para Pendeta, Pastor, dan Ulama. Dan yang paling penting adalah upaya pembinaan sejak dini dari dalam keluarga sendiri itu lebih penting dalam soal yang dimaksudkan diatas.
Kalau berbicara soal moralitas selain yang di sebutkan diatas banyak lain lagi yang harus menjadi tugas rutin para pendeta, pastor dan ulama, diantaranya, korupsi para pejabat, perselingkuhan para ulama, pemerkosaan kebebasan para ustadz sendiri, korupsi oleh para pendeta dan para pastor sendiri yang menduduki jabatan publik bukan hal baru bagi kita.
Tapi Moralitas yang dimaksudkan disini lebih pada budaya malu pada diri sendiri. Kita harusnya malu kalau tidak percaya pada diri sendiri, pada budaya sendiri, pada orang sendiri, bukan percaya pada orang asing, amber dan para pembawa ajaran kebaikan palsu yang asing dalam budaya kita.
Karena itu saling percaya dan saling melindungi budaya dan orang sendiri adalah kelemahan moral bobrok kita. Kita menghianati kesepakatan bersama dengan menerima Otonomi khusus Papua, kita mau menerima menjadi atau mencalonkan diri sebagai calon pejabat yang dipromosikan oleh penjajah, yang sesungguhnya itu sebagai alat memecah belah (devide et impera) semangat juang kesatuan dan persatuan untuk menuju Papua Damai, Papua Merdeka.
Ketua PDP meninggalkan posnya dengan menerima tawaran jabatan sebagai komisaris PT Freeport, Wakil ketua PDP, meninggalkan posnya dengan menerima jabatan kolonial sebagai MRP buatan kolonialis, Yap salossa (Gubernur era Otsus Papua Pertama, Almarhum 2006) mencalonkan diri jadi Gubernur Papua dengan meninggalkan PDP sebagai anggota Panel. Yoris Raweyai meninggalkan posnya dan berkampanye NKRI dari Jakarta setelah menjadi anggota DPR RI dari Golkar, kembali mencalonkan diri tanpa rasa malu sama sekali disaat rakyat dan beberapa organ perjuangan masih menentang pembentukan Propinsi IRJABAR, malah Yoris Raweyai mencalonkan diri sebagai Gubernurnya dengan melawan semua sistem dan kesepakatan Papua Merdeka. Singkatnya semua anggota DPRD dan DPR RI DPD RI, para Bupati di 38 wilayah pemekaran NKRI di Papua dewasa ini adalah mantan para sesepuh dan anggota PDP.
Mau menerima dan mencalonkan diri dalam jabatan apapun di era Otsus Papua adalah kelemahan moralitas yang saya dimaksudkan dari judul kecil diatas tulisan ini. Inilah sesungguhnya kita tidak patuh pada hati nurani kita sendiri tapi gampang mempercayai orang, menerima tawaran orang, kemauan orang, perintah orang semua yang barbau asing mudah kita terima dan membiarkan hati nurani kita adalah kelemahan moralitas bangsa Papua Barat.
Kita bahkan mudah percaya mulut manis dengan iming-iming semua fasilitas dari kolonialis dengan mengabaikan kehendak diri sendiri untuk berdaulat, Papua Merdeka. Inilah yang mula-mula terjadi pada para tokoh dan elit pemimpin Papua di tahun 1940-an dan 1960-an.
Beberapa Tokoh dan kepala suku di bawa keliling Indonesia oleh Soekarno, diberi minum beer, disuguhi paha putih ( perempuan WTS?), dan jalan-jalan menikmati hiburan mewah dengan keliling Indonesia. Kita tahu ini semua tapi kita kembali menghulanginya dan terus akan mengulangi adalah kelemahan moralitas orang Papua.
Mentalitas kita adalah mentalitas budak. Karena itu mentalitas kita rapuh, tidak kokoh, mudah diintervensi, gampang dibujuk, lemah terhadap tawaran nilai baru dan gampang diatur-atur orang asing, amber, mudah diperintah-perintah orang lain dan kita mau juga melaksakan perintahnya dengan kemasan tawaran menggiurkan, wanita, uang, dan jabatan. Ini semua adalah kelemahan dan bobroknya moralitas manusia Papua yang berlangsung pada masa lalu, kini dan akan datang (?).
Manusia Papua tidak memiliki prinsip sendiri, tapi menganut dan menerima prinsip para penjajah dengan mengabaikan keutamaan nilai sendiri, tidak menghargai budaya sendiri adalah kelemahan moralitas dimaksudkan disini.
2. Pendidikan
Kita tahu bahwa dalam masyarakat manapun didunia para penjajah tidak mau atau tidak rela negeri jajahannya, para penduduknya berpendidikan apalagi memberi pendidikan. Kondisi ini terjadi juga di tanah air kita Papua. Penjajah tidak pernah membangun infrastruktur serta supra struktur yang memadai untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu, bagi anak negeri Papua. Kenyataan kondisi saat ini di Papua terutama didaerah pegunungan Tengah Papua menjadi saksi paling telanjang, bahwa dalam era abad ke 21 yang super modern ini kita menyaksikan - atau kita sebagai bagian dari mereka -masih ada masyarakat yang kehidupannya masih primitif alias tanpa pernah mengenyam bangku pendidikan.
Sekalipun kondisi saat ini agak ada perbaikan, dengan adanya banyak lembaga pendidikan, secara kualitas dan kuantitas belum memenuhi standar kelayakan pendidikan bermutu. Apalagi jika kita sejenak mengingat kembali dalam era tahun 1960-an-1970- an kita dapat menyaksikan keadaan yang sangat memperihatinkan generasi kala itu. Mungkin Alex Hesegem (Wakil Gubernur) bisa seperti sekarang bukan menamatkan pendidikannya di Kurima tempat kelahirannya (Kurima kini termasuk Kab. Yahukimo). Karena hal itu tidak memungkinya sang Wagub yang anak kepala suku ini.
Jika dibandingkan kondisi sesungguhnya keadaan lembaga pendidikan tahun 70-an kita sulit membayangkan, betapa tidak seorang siswa SD YPPK/YPK (lembaga pendidikan kristen yang dibangun para missionaris), untuk melanjutkan SMP jaraknya antar propinsi ukuran di Jawa. Apalagi SMA belum ada kecuali harus ke Jayapura, ukuran di Jawa antar negara, sebanding ke Singapura atau, ke Malaysia atau mungkin ke Brunei Darussalam. Perguruan tinggi hanya satu di UNCEN sampai sekarang ini. Perbandingannya jika di Kurima satu sekolah dasar terdaftar 100 orang siswa, maka semua siswa dapat dipastikan gugur dan tidak melanjutkan tingkat lanjutan SMP di sebabkan jarak sekolah tingkat lanjutan yang sangat jauh dan tidak dapat terjangkau oleh siswa.
Hal ini disebabkan oleh kebiasaan watak dari pemerintahan kolonialis dimana-mana karena merasa takut dan khawatir penduduk negeri jajahannya kalau tahu hak dan kewajibannya akan berontak pada pemerintahan kolonialis yang sah. Maka untuk itu biasanya penjajah berusaha membuat bodoh penduduk anak negeri jajahan. Hal demikian juga dilakukan Belanda pada bangsa Indonesia selama 300 tahun penjajahannya di Hindia Belanda.
Disini kita semua rakyat Papua menjadi maklum jika kualitas dan pelayanan pendidikan buruk dan tidak memenuhi standar pendidikan semata-mata disengaja oleh penjajah dan bagian alat politik pendidikan dengan tidak menyediakan pendidikan lanjutan, sehingga anak negeri jajahan menjadi terbelakang dan tetap bodoh tanpa menuntut apa-apa dari kejahatan terselubung dengan kedok kebaikan memajukan dan membangun penjajah agar lebih beradap sesuai standar dan selera budaya penjajah.
Karena itu misal kasus di Pegungungan Tengah tadi siswa yang menamatkan SD katolik di Kurima tidak dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjutan kecuali mereka harus pindah ke Mulia yang belum samasekali ada kenalan. Namun dari sampel 100 siswa kalau ada juga yang menempuh jarak ratusan kilometer untuk melanjutkan tingkat lanjutan SMP, maka perbandingannya dari 100 siswa hanya dua-tiga orang siswa, tapi jika mau melanjutkan SMU/SMA dimana? Sekolahnya tidak ada, alias pemerintah tidak menyediakan tingkat lanjutan untuk tiga anak tadi agar bisa melanjutkan tingkat lanjutannya, otomatis gugur semua.
Belum lagi muatan yang bias hegemoni budaya mereka yang asing dalam budaya sendiri. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh LP3S, menemukan kasus pengajaran anak-anak SD di Papua dengan kurikulum yang sudah dipaketkan dari Jakarta. Siswa SD di Papua bingung tatkala guru membacakan dan siswa secara bersama harus mengikuti dalam pelajaran latihan membaca. Tatkala guru membaca : INI BUDI, INI WATI, siswa Papua, mengira BUDI dan WATI itu makluk seperti apa, hewan kah, sapi, atau barang seperti apa, sebab nama-nama itu begitu asing ditelingga mereka dan dalam lingkungan budaya mereka sehari-hari sendiri.
Belum lagi kualiats tenaga guru, buku-buku, kurikulum, buku pedoman, hingga tulisan ini ditulis kondisi ini masih berlangsung disejumlah daerah terpencil di seluruh Papua. Ini artinya apa? Bahwa untuk menuju Papua Merdeka atau Papua Damai, kenyataan kita hadapi dengan mayoritas penduduk dengan angka hampir 90 % penduduk Papua tidak dapat baca tulis alias buta aksara. Logikanya jika dalam era tahun 70-an misalnya ada seorang pemuda yang ganteng datang dari Negeri Belanda, dia seorang mahasiswa di Universitas ternama dan terutama di negeri itu. Nama pemuda dari pulau Serui itu adalah Frit Kirihio (pemuda itu kini tinggal menetap di Jakarta sebagai orang tua pengangguran) . Dia datang ke istana Bogor menemui Soekarno untuk tujuan penentuan nasib sendiri Papua Barat. Kalau benar bisa kita merdeka kala itu sekarang sudah bagus atau seperti apa, kita belum pernah dapat membayangkannya, namun kondisi itu masih berlanjut hingga dewasa ini tanpa ada perubahan yang significant.
Kita sulit membayangkan juga kualitas para aparat yang mengisi jabatan instansi pemerintahan kala itu, kira-kira seperti apa? Persis seperti Indonesia, banyak korupsi. Jangankan zaman itu, di zaman ini saja, Contoh kala kita terima otonomi khusus dalam era ini banyak sekali ijazah palsu atau mereka yang menyelesaikan pendidikannya dengan ijazah persamaan setelah menjadi pejabat publik yang bergengsi. Kita jangan lupa Gubernur kita sekarang pelantikannya berlarut-larut hanya masalah ijazah. Kita belum punya data kepastian ada tidak PNS kita di Papua yang buta huruf, tapi keyakinan saya ada banyak didaerah Kabupaten pemekaran baru.
Kita kembali kesoal pendidikan, bahwa kenyataanya negara penjajah sering menerapkan kebijakan ganda, pada negeri jajahan mereka termasuk dalam hal ini di Papua Barat agar penduduknya tidak berpendidikan dan tidak mengetahui sehingga tidak banyak menuntut, atau membongkar kedok kejahatan kolonialisme mereka yang sangat mematikan masa depan negeri jajahan. Mentalitas depedence atau ketergantungan mulai dari ketiadaan kecerdasan berfikir secara obyektif rasional. Upaya kecerdasan rakyat dimatikan dengan membiarkan orang-orang jajahan hidup tanpa pendidikan. Anak-anak negeri jajahan paling tinggi berpendidikan sampai SMA atau kalau mengeyam perguruan tinggi dengan kurikulum dan pengajaran serta buku standar di paketkan pihak penguasa. Hal ini terus berlangsung di tanah air Papua cukup memprihatinkan semua kita. Apalagi ada MKDU, tentang antropologi, sebagai mata kuliah wajib semua jurusan yang diajarkan di Uncen karangan Koenjraningrat tentang mitologi kurang ilmiah, bahwa orang Papua pernah berkeliaran di daerah Jawa Timur, untuk apa ini semua dengan kedok ilmiah? kelanggengan kolonisasi penjajah.
Penulis sengaja mengemukakan semua kelemahan ini bukan semata-mata membuka kedok sendiri tapi memenuhi tujuan judul tulisan tentang beberapa kelemahan bahwa esensinya, kelemahan itu ada diseputar pendidikan. Artinya masyarakat kita dalam banyak laporan menunjukkan tingginya angka buta aksara alias banyak yang tidak tahu baca tulis terutama di daerah pegunungan tengah Papua sejak dulu hingga dewasa ini masih berlangsung. Tujuan menyinggung soal pendidikan disini untuk membuktikan bahwa kelemahan orang Papua sebagai diutarakan diatas nyata adanya. Sehingga ada perhatian semua pihak terutama pemerintah daerah sendiri, bahwa untuk menuju Papua damai, soal pendidikan adalah amatlah mendasar. Dengan memberi rekomendasi penulis menghimbau bagaimana mengatasinya adalah usulan yang sangat perlu diperhatian para Bupati, dan Gubernur, bahwa dalam era Otsus dengan kelimpahan banyak rupiah yang mengalir ke Papua lebih banyak di alokasikan pada sektor pendidikan, dengan memberi beasiswa, baik didalam negeri maupun di luar negeri.
Jika Papua mau keluar dari kelemahan dan kebodohan akibat banyak tidak berpendidikan atau buta aksara, usulan saya, bahwa lembaga pendidikan dengan fasilitas lengkap, dan guru adalah faktor utama peserta didik dapat berhasil guna mempersiapkan anak-anak Papua kelak untuk membangun diri, negeri dan bangsanya penting bukan dipikirkan saja tapi langsung dikerjakan sekarang oleh para Bupati. Masing-masing Bupati secara periodik dapat mengirim anak-anak Papua disejumlah negara Eropa, Amerika dan Australia, Jepang dan Korea. Sepulangnya mereka sudah dapat melakukan berubahan besar ditanah air adalah harapan dan kepastian jika investasi pendidikan ini diperhatikan. Gubernur dapat mengumpulkan para Bupati dan mengintruksikan agar masing-masing Kabupaten dapat mengirimkan putra-putri terbaiknya di sejumlah negara Eropa, Australia dan Asia atau Amerika/Latin. Bagian ini saya sudahi dengan rekomendasi untuk diperhatikan oleh Gubernur dan segera mengintruksikan para Bupati agar sesegera mungkin mengutus duta pelajar anak-anak Papua di berbagai negara dalam berbagai jurusan keluar negeri.
Agar kelemahan-kelemahan (baca bagian I) antara moralitas dan pendidikan sebagai penting sehingga sebagai penyebab utama yang meruntuhkan sikap independensi menjadi lemah, mudah tergoda dengan kenikmatan yang sesaat adalah sikap kelemahan oleh akibat kurangnya moralitas dan pendidikan di Papua. Umumnya oleh akibat kebijakan nasional penjajah menyebabkan rakyat kita di Papua Barat menjadi buta politik, dan implikasinya depedence sikap dan kecenderungan kita lemah. Karena itu polityic education, oleh berbagai lembaga keagamaan, dan organisasi kepemudaan lainnya penting terus di lakukan terutama Front Pepera, AMP, BEM, HMPJ, AMPTPI dan lain-lain harus terus di lakukan di lapisan masyarakat paling bawah (grass root).
Dalam sektor lain kita juga selama ini kurang menyadari, tapi ini harus diketahui bahwa ada kebijakan tidak populer penjajah menerapkan kebijakan nasionalnya untuk membuat sikap kita merasa butuh terus kehadiran penjajah adalah dengan cara semua sarana produksi dan industri kebutuhan bahan-bahan pokok dibuat di negeri seberang. Kondisi saat ini belum ada induntri atau pabrik pakaian, makanan atau minuman, kita bisa mendapatkannya dengan biaya yang sangat mahal.
Hal ini diperparah lagi dengan kolonisasi para kolonialis dengan membuat kebijakan nasionalnya dengan penyediaan bahan-bahan pokok semua didatangkan dari negeri penjajah diseberang lautan adalah bagian dari usaha sistematis menjauhkan anak negeri dari aspek lalulintas pergaulan dunia. Kebutuhan pokok misalnya sandang, papan, dan pangan tidak dicoba disediakan oleh anak negeri, semua di sediakan diluar adalah upaya-upaya yang kita maksudkan dengan upaya pembosaian atau pengkerdilan suatu daerah dari pergaulan lalulintas manusia lain di wilayah jajahan. Mentalitas kita menjadi dan dibuat oleh penjajah sesuai dengan rencananya menjadi ketergantungan yang berlebihan (dependent) kepada penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar