Kamis, 11 Juni 2009

ESENSI KONFLIK DI PAPUA

Konflik Primer

Konflik TPN/OPM versus TNI/POLRI adalah konflik paling utama dari semua konflik berbagai dimensi di Papua barat. Proses integrasi adalah masalah dasarnya. Inilah dasar masalah utamanya dari segala konflik sepanjang integrasi Papua kedalam NKRI. Konflik dimensi lain, mengikuti akibat belum tuntasnya penyelesaian permasalahan itu dan terus berlarut-larut adalah penyebab utamanya. TPN/OPM-TNI/POLRI bermula dari adanya permasalahan atau lebih tepat kesalahan dalam soal menyelesaiakan Papua sejak awal. Pada akhirnya kini menjadi bias, melibatkan rakyat sipil (konflik horizontal) maupun TPN/OPM versus TNI/POLRI adalah konflik paling akut tapi juga paling sulit, untuk tidak dikatakan tidak sanggup diselesaian oleh kedua pihak lain ideology itu, entah itu oleh OPM, rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia.

Papua Barat, sejak integrasi melalui PEPERA (kata sebahagian orang Papua, sebenarnya aneksasi paksa) dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1979, maka sepanjang itupula banyak korban berjatuhan disatu pihak TPN/OPM-TNI/POLRI dan dilain pihak rakyat Papua. PEPERA tahun 1962 yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara).

Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, memang banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Di Papua nun jauh sana banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic.

Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai. Namun akhir-akhir ini agaknya Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helskiny.

Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh. Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.

Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya anatara TPN/OPM dan Jakarta . Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan dengan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.

Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.

Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.

Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat. Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.

Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) sudah selesai. Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!

Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP. Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua kelompok berbeda ideologi bertikai sebagai jalan tengah dari jalan kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.

Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi soal itu (Otsus Papua) dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya sebagaimana yang terjadi di Aceh. Kecuali OPM buatan militer Indonesia yang sejauh ini dilibatkan dalam penyelesaian persoalan Papua selama ini bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya. Hasilnya sudah jelas sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.

Bagi OPM Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua dengan dirinya. Otsus dianggap illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal bersenjata di rimba raya dan sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Sebagai akibatnya tentu hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkepentingan dari kompromi itu apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM.

Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta . Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.

Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak ikut-ikutan rebutan jabatan Otsus tapi tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, Ham dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong.

Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia , bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia . Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua.

Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.

Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan Ham, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.

Potensi Konflik Sekunder

Agama

Didalam Al-Qur’an (kitab suci umat Islam) kita diperintahkan oleh Allah SWT, untuk senantiasa belajar dari sejarah umat manusia masa lalu, demikian pesan-pesan Cak-Nur (Nurcholish Majid, seorang cendikiawan muslim terkemuka Indonesia) dalam buku kumpulan artikel yang dihimpun oleh penerbit paramadina. Oleh sebab itu contoh baik dan gampang bagi kita di Papua adalah penjajahan portugis kemudian Belanda di Indonesia selama 300 tahun mau diangkat disini dengan tujuan kita mengambil hikmahnya.

Pada mulanya kaum pribumi Indonesia menganut agama animisme, lalu masuk agama Hindu dan Budha yang dating dari India, belakangan islam muncul dan menjadi jaya di pantai utara Jawa dengan kerajaan Demaknya, Samudera Pasai di Aceh dan Malaka di Malaysia. Namun proses islamisasi hanya dikalangan kerajaan dan para pedagang di pisisr pantai, tapi rakyat kebanyakan di pedalaman dan dipegunungan belum tersentuh nilai-nilai islam malah dalam perkembangannya sinkretisme.

Lalu pertanyaannya sekarang mengapa dapat dan bisa akhirnya sanggup pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Pesisir Kalimantan, Maluku Utara hampir seluruhnya beragama islam? Karena pada saat penjajah Barat (Belanda-Portugis) datang cari buah Pala (Maluku) di kawasan ini, agama Islam di jadikan oleh rakyat setempat sebagai alat pertahanan dan perlawanan dari penjajah rakus Eropa yang beragama Kristen. Kaum pribumi Indonesia sebagai rakyat jelata dipimpin oleh para ulama melakukan perlawanan terhadap penjajah dan islam dijadikan sebagai alat pemersatu dan perjuangan pertahanan dalam perlawanannya dengan penjajah yang datang menguasai negeri mereka oleh orang Eropa Kristen.

Hal demikian ini bisa saja terjadi dimana-mana, dan persis seperti itu juga terjadi di Tomor Leste kemarin lalu. Tokoh utama negara baru itu ideologinya berorientasi ke paham marxisme yang atheistis, Mari’ Al-Katairi lain lagi, dia seorang muslim keturunan Arab, tapi kita tahu bahwa mayoritas rakyat Timor Leste sangat menghormati Uskup Bello. Artinya Indonesia dianggap penjajah muslim yang merampas kemerdekaan hak menentukan nasib sendiri rakyat Timor Leste yang Katolik. Padahal mayoritas suku dipedalaman Timor Leste sesungguhnya dominant kepercayaan tradisi lama. Mereka masih menganut dan menghayati nilai-nilai lama mereka (animisme). Dengan masuknya invasi pasukan TNI/POLRI dikawasan itu maka dengan sendirinya mempercepat proses katolikisasi, persisi sama hal terjadi juga demikian di Hindia Belanda (Indonesia) dulu, bahwa adengan datangnya penjajah Portugis yang beragama Kristen dan belakangan Belanda membantu proses islamisasi dikalangan penduduk asli pribumi Indonesia menjadi secara cepat dan bertahap.

Bagaimana dengan Papua?

Sejak penyerahan kekuasaan dan kontrol atas bangsa Papua dari tangan Belanda ke pada Soekarno oleh PBB tahun 1962 melalui PEPERA, maka secara berangsur tapi pasti para missionaris Barat berkebangsaan Belanda ikut angkat kaki dari bumi tercintanya Papua Barat. Selain sedikit di daerah pesisir Utara Papua (Manukwari, Biak , Serui dan Jayapura) menerima pengaruh agama Kristen Protestan dan Selatan (Merauke) dikatolikkan penduduknya. Penduduk mayoritas Papua Barat terutama di Pegunungan Tengah Papua baik di pesisir, tengah, lereng, lembah dan pulau, belum diagamakan secara sempurna.

Jika demikian faktanya sejak kapan orang Papua mayoritas penganut agama besar dunia diluar agama umum kaum yang dianggap penindas (penjajah)? Sejak integrasi dengan Indonesia . Proses agamaisasi Papua bukan agama mayoritas penduduk penguasa terus berlangsung saat ini dan akan berlangsung pada tahun-tahun yang akan datang. Intinya agama dimana saja dapat dijadikan alat distingsi, differensiasi pertahanan eksistence diri dari penindasan kaum penjajah beragama lain. Agama sudah terbukti dimana-mana dijadikan alat pertahanan, pembeda, perlawanan, perlindungan bagi kaum pribumi yang tertindas berhadapan dengan penjajah beragama lain dan itu terjadi saat ini dimana-mana. Demikian harusnya terjadi atau jangan terjadi disini.

2. Ekonomi

Pengangkutan kekayaan alam secara tidak waras alias gila oleh penjajah Inggris di India yang menyengsarakan pribumi dinegeri itu. Rakyat India dibuat tak berdaya, mereka menjadi miskin papa, mereka hanya tenaga kasar, buruh pabrik dan tenaga kuli lainnya di perusahaan tambang yang di kuasai penjajah dari kekayaan alam milik pribumi. Demikian di Indonesia pada masa lalu, rakyat pribumi dibuat miskin oleh Belanda dari tanah mereka yang sesungguhnya sangat subur di Jawa. Semua sektor pertanian dan perkebunan di kuasai sepenuhnya oleh Belanda. Rakyat Indonesia dijadikan hanya tenaga buruh kasar. Hasil kekayaan alam Indonesia yang kaya raya di bawa pergi oleh Belanda ke negerinya dan Eropa akhirnya kita ketahui sekarang ini menjadi kaya raya dengan kemakmuran super luar biasa makmur saat ini.

Dari dua kasus pola-pola penjajahan bangsa Eropa di bidang pertanian, pertambangan, dan pengangkutan sumber daya alam pribumi ke negeri mereka ini maka di Indonesia muncullah SDI (Serikat Dagang Islam) kemudian SI (Serikat Islam) sebagai cikal bakal organisasi perjuangan perlawanan kemerdekaan rakyat pribumi Indonesia embrionya dari organisasi ini. Kesadaran pribumi akan perjuangan perlawanan di semangati oleh agama Islam terjadi di seluruh Hindia Belanda mulai dari Jawa, pesisir Kalimantan, Sulawesi , Maluku dan Sumatera. SDI sendiri tujuan awalnya adalah mengimbangi dan menampung para pedagang muslim yang umumnya pribumi terhadap pasar perdagangan yang dikuasai oleh VOC dari Eropa Kristen.

Tujuan SDI mau menampung dan mengimbangi perekonomian yang dikuasai penjajah asing Eropa. Untuk itu mereka harus kuasai asset ekonomi dari sumber daya alam mereka sendiri. Pada akhirnya mereka mampu melahirkan pengusaha pribumi dibidang perdagangan, Sejumlah usha kain dan tenun batik sebagai basis ekonomi rakyat dan perputaran uang dari, untuk, oleh, dari sesama pribumi dan muslim sanggup dihidupkan mereka. Dalam perputaran roda ekonomi pribumi ini sanggup menampung, membeli, menjual dan menyediakan bahan dasar perdagangan didalam kalangan pribumi muslim sendiri. Demikian hal sama terjadi juga di India dengan penguasaan rakyat terhadap asset garam di negeri itu pada awal-awal perjuangan kemerdekaan mereka.

Bagaimana dengan Papua?

Karakter dan mentalitas (berarti soal budaya) rakyat Papua dibentuk oleh alam yang sangat kaya raya. Dan itu akan membuat dan orang Papuanya menjadi bermentalitas konsumeristik. Alam menyediakan segalanya untuk kebutuhan dasar, kebutuhan primer, dan orang Papua hanya tinggal memungutnya tanpa harus bekerja keras. Rakyat Papua dimanjakan oleh alam yang begitu melimpah ruah hasilnya. Karena itu akibatnya apa yang didapat hari ini dihabiskan untuk konsumsi hari ini juga, besok tinggal memungut lagi.

Mentalitas ini terbawa sampai zaman berubah ditambah hidup dalam dunia yang semakin kompetitif seperti sekarang ini oleh akibat globalisasi. Jika ini dibiarkan terus-menerus tanpa diarahkan oleh pemerintah misalnya pelatihan enterprenshif (latihan kewirausahaan). Maka akibatnya orang pribuminya prustasi dan akibat jeleknya adalah merusak, Biasanya pelampiasannya merusak barang-barang orang, misalnya barang gadangan milik pendatang, mengambil barang orang secara paksa, meminta secara paksa, membakar pasar, tokoh, kios milik orang pendatang. Ini semua terjadi akibat tiadanya keberpihakan penguasaan asset ekonomi dan sumber daya alam pada mereka. Sementara oleh alam mereka terbentuk mentalitas: apa yang didapat hari ini di habiskan hari ini juga.