Sabtu, 16 Februari 2008

MENGAKHIRI KONFLIK AKUT PAPUA

Dari sudut pandang kebanyakan rakyat Indonesia, Papua adalah daerah “ghorbi”, yaitu suatu daerah "asing" yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya menepatkan Papua sebagai daerah penuh gejolok perang, konflik, “kekerasan”, dan akhirnya daerah darul harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, sebagai akibatny, bangsa West Papua, kurang mendapat prioritas perhatian “dari hati” Indonesia , terutama oleh 87% mayoritas pendudunya.

Pada gilirannya menepatkan Papua pada urutan terakhir dalam priorita perhatian bagi kebanyakan mayoritas penduduk Indonesia. Papua masuk ranting terakhir skala prioritas untuk memperdulikannya. Karena itu usaha mau tahu secara serius pihak mayoritas penduduk Indonesia atas konflik social politik berkepanjangan di Papua Barat selalu marginal, bukan focus perhatian dan kepedulian, sejak daerah itu di serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962.

Papua yang senantiasa dirundung “masalah” bagi kebanyakan penduduk sebagai “gangguan” bagi stabilitas keamanan dan politik Indonesia berskala nasional dan internasional. Maka mayoritas Indonesia sikapnya apatis, dalam rangka usaha mencari solusi penyelesaian berbagai konflik social politik di Papua Barat secara bermartabat. Bahkan luput dari perhatian kepedulian apalagi simpati dan empati, atas masalah yang dihadapi Papua Barat. Seakan semua stigma diatas tadi membenarkan asumsi bahwa Papua adalah urutan prioritas terakhir dalam pilihan memperhatikannya.

Kesan lain yang sudah terbangun selama ini, Papua identik dengan daerah yang mayoritas penduduknya bukan penganut agama Islam. Hal ini misalnya terlihat dari sikap wakil rakyat dari latar belakang partai-partai yang berasaskan Islam seperti PPP, PKS, PBB dan partai Islam nasionalis seperti PAN dan PKB. Berbeda sikapnya dalam hal penyelasaian kasus Aceh, anggota parlemen partai-partai ini lebih memperhatikan konflik sama di Aceh daripada Papua yang identik Kristen dalam hal skala prioritas legislasi bantuan penyelesainya. Papua selalu marginal dalam usaha mencari solusi penyelesaian konflik social politik bagi Indonesia .

Sebagai akibatnya perhatian nasib Papua “tenggelam”, terlupakan oleh dominasi kesan yang terbangun selama ini bagi mayoritas penduduk Indonesia yang penduduknya terbesar muslim dunia. Padahal sejak lebih awal Islam sudah tumbuh dan berkembang di Papua. Penganut agama Islam itu sendiri terdiri dari masyarakat penduduk Asli sejak abad ke 16, sebelum agama-agama besar lain datang diantar ke bumi Cenderawasih. Analisa kesimpulan demikian ditarik, dari kurangnya perhatian kebanyakan penganut agama Islam dari 300 juta jiwa seluruh penduduk Indonesia . .

Karena itu wajar bahwa masalah konflk sosial politik di Papua tidak mungkin tanpa melibatkan kelompok penganut agama Islam sebagai cerminan penduduk pemukim Papua secara seluruhnya. Walaupun penganut agama Kristen Protestan mayoritas dikalangan penduduk asli di Utara, (berkat jasa dua missionaries dari Jerman yaitu Otto dan Geisler yang datang ke Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Pebruari tahun 1885), di Papua juga ada agama Katolik yang dominant di Selatan sekitar Merauke.

Papua menunjukkan bahwa di sentra-sentra perkotaan Papua banyak urban beragama Islam adalah bagian dari populasi pendududuk Papua yang berjumlah 2 juta jiwa itu. Jumlah penganut Islam seluruhnya adalah penduduk Papua hari ini tanpa membedakan secara diskriminatif “amber” atau pendatang dan penduduk asli, sehingga tidak persis sensus penduduk BPS, yang menunjukkan selama ini misalnya penganut Islam hanya 25% saja dari seluruh penduduk.

Kalau di data semua, tanpa kecuali, misalnya TNI/POLRI non organik, transmigrasi, urban mandiri, guru-guru, tentara dan para pejabat pemerintah seluruhnya. Maka sesungguhnya penduduk Papua yang beragama Islam tidak kurang banyaknya dari setengah juta jiwa penduduk Papua. Selama ini yang didata BPS, jumlah penduduk Papua tidak termasuk “Aparat” pasukan non organik dan berbagai jawatan frofesi lainnya.

Maka pada tempatnya disini penulis mau mengajak Indonesia, agar penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua secara adil, damai dan bermartabat dengan membuka dialog antara Jakarta dan rakyat Papua sesuai tuntutan nilai-nilai keadilan Islam universal dan konstitusi Indonesia sebagai jaminannya.

Oleh sebab itu harapan penulis ingin disampaikan, pertama, penyelesaian masalah konflik akut di Papua Barat secara adil dan damai. Kedua, penegakan HAM dan Demokrasi dan permasalahannya di Papua Barat dan ketiga, Paradigma Baru Menuju Papua Damai, bagi perjuangan pembebasan Papua dalam rangka kesiapan sikap dan mental orang Papua menghadapi perubahan atas berbagai masalah social politik, kebudayaan dan agama di Papua Barat harus di selesaikan secara bersama dan bermartabat sesuai nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemanusiaan penuh kedamaian.

Demikian juga agar kita peduli pada proyek maha amat mendasar bagi hak bereksistensi orang Papua di “dunia”-nya adalah bagian dari jaminan konstitusi Indonesia sendiri ”…kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan…dst”, mau diakui secara jujur disini, karena juga tidak bertentangan dengan konsep keadilan dan musyawarah dalam agama Islam, agama anutan mayoritas penduduk Indonesia dan juga penulis

Penulis adalah pemerhati masalah Papua tinggal di Ciputat

LAUT MEMISAHKAN DARAH MENYATUKAN

Pertemuan Dengan Orang Kulit Hitam Amerika.

Ceriteranya Begini :

Suatu ketika tahun 1990-an (persisnya saya lupa), dalam usaha membuka keisolasian orang di Lembah Balim (Suku Dani) dan juga Suku Asmat, Yayasan Asmat, dibawah pimpinan mba Tutut (anak almarhum Soeharto, Presiden RI kala itu), rombongan seni dan budaya yang terdiri dari para seniman ukir Suku Asmat dan seniman atraksi Perang antar Suku dari Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua, di ajak keliling dunia termasuk ke Amerika.

Orang-orang Papua dari Lembah Balim yang beribu-ribu tahun generasinya hidup dalam keisolasiannya itu, seumur-umur dalam hidupnya baru pertamakali di bawa keluar dari kampung halaman mereka di Lembah Balim Wamena oleh Yayasan Asmat, untuk tujuan promosi Seni dan Budaya Indonesia-Papua. Rombongan datang ke Amerika. Betapa main kagetnya mereka, shock cultur, ternyata disini banyak orang Papua, sama seperti mereka. Tapi bedanya mereka hidup bersih, maju, sudah dapat mengoperasikan dan memanfaatkan tekhnologi maju terkini

Walau sudah terpaut jauh dalam perilaku dan cara hidup, antara primitif dipihak orang Papua dan super modern dipihak orang kulit hitam Amerika, orang Papua tidak pusing dengan itu semua, mereka hanya tahu bahwa orang kulit hitam adalah saudara mereka yang sesungguhnya (kalau begitu pimpinan pembawa rombongan bukan juga saudara? Diantara masalah psikologi lainnya bisa ditimbulkan sebagai pertanyaan disini), karena itu diantara mereka terjalin hubungan mesra dan keakraban yang membuat iri hati bagi yang lain menyaksikan ditempat itu.

Orang Papua dari Lembah Balim Wamena dan Asmat seakan tidak ada jarak saat itu tatkala bertemu dengan sejumlah orang kulit hitam di Amerika, walau baru pertama kali ketemu diantara mereka (orang kulit hitam Amerka dan kulit hitam Indonesia), tapi tidak ada kesan keraguan dipihak orang-orang primitif Papua itu, malahan berani menyatakan diri mereka satu sama dan bersaudara. Semua itu tidak lepas dari satu hal yaitu mereka satu ras, satu etnis, etnis kulit hitam.

Mereka merasa tidak asing dibandingkan dengan orang Indonesia yang selama ini. Mereka merasa lebih akrab dekat bersaudara dengan orang kulit hitam Amerika, karena mereka sama, mirip, sejenis, seras, orangnya sama persis dengan diri mereka, orang Amerika kulit hitam. Orang-orang Papua yang umumnya buta huruf dan tidak sempat mengenyam pendidikan formal seumur hidupnya itu, banyak menyisakan pertanyaan dalam hati mereka.

Disini ada kelurga mereka, tapi mereka siapa? Dalam hati merasa kaget, terharu, heran, aneh dan berbagai perasaan lain. Mau menyapa langsung, halangan komunikasi, bahasa mereka lain, saling tidak mengerti, perjumpaan hanya sentuhan jabat tangan dan rangkulan layaknya perjumpaan antara dua saudara lama tak berjumpa, komunikasi tidak langsung, tapi mereka menyadari betul, bahwa mereka bertemu kelurga setelah lama berpisah. Tetapi tetap menyisakan pertanyaan didalam hati, mengapa mereka bisa berpisah? Karaguan muncul lalu sirna lagi, mereka bersaudara, satu keturunan nenek moyang. Tapi apa buktinya?

Rasa keraguan silih berganti, dibuyarkan oleh tanda, hanya ada satu tanda yang menjadi saksi dan bukti mereka satu dan sama dari satu kelurga, satu keturunan, tapi keturunan ke berapa? Tapi kembali lagi banyak pertanyaan dipatahkan oleh hanya satu bukti, ras mereka yang persis sama, ras kulit hitam dan rambut keriting. Walaupun baru dan pertama kalinya mereka ketemu, mereka tidak ragu menganggap saudara, karena kulit, rambut sama dengan diri mereka sendiri sama persis ras negroid.

Tapi alangkah kagetnya mendapati diri mereka, ada yang lebih maju dan beradab dari perkiraan sebelum mereka oleh pembawa rombongannya. Mereka terharu, saudara mereka ada yang lebih maju. Tapi bagi orang Papua dari Lembah Balim ada banyak menyisakan pertanyaan kala itu, karena disamping mereka tidak dapat berkomunikasi langsung, siapa diri mereka dan mengapa ada disini, dan bagaimana ceriteranya mereka bisa berpisah, padahal tanda (rambut, kulit) secara jujur bercerita sendiri. Mereka satu nenek moyang, entah siapa nenek moyang itu. Tapi mengapa dan ulah siapa mereka lama dipisahkan dengan akibat-akibatnya?

Adalah misteri pertanyaan yang tak terlontarkan, pertanyaan mau dibawa pulang kekampung halaman, tanpa tuntas mengerti mengapa demikian. Kecuali sedikit, komunikasi terbatas, itupun oleh pemandu. Tapi "pertemuan kembali", sesama, setelah lama berpisah, sangat mengharukan. Pertemuan 1x hanya berlangsung beberapa hari dalam lawatan promosi seni dan budaya Papua --(patung suku asmat dan budaya perang suku Lembah Balim, diantara tema agenda tour mereka) --tiba-tiba mereka bertemu kembali dengan kelurga mereka, setelah lama berpisah, tanpa disangka.

Sebelum berpisah mereka saling rangkulan dengan meneteskan air mata, tanpa pernah bisa tahu kapan dan dimana bisa berjumpa kembali, karena semuanya tidak mungkin terulang kembali bagi rombongan seni yang peserta semuanya terdiri dari orang Papua semua dan tidak pernah mengenyam pendidikan, kecuali kalau ada kesempatan sama oleh pimpinan rombongan, bagi rombongan orang Papua adalah kesulitan tanpa harapan bisa berjumpa kembali. Dalam kesempatan perpisahan itu ada pidato perpisahan seorang walikota, dari salah satu negara bagian yang walikotanya seorang kulit hitam. Dalam pidatonya yang tidak dimengerti rombongan orang-orang Papua itu, sang Wali kota mengucapkan beberapa kata :

"Laut telah lama memisahkan kita, tapi darah mempertemukan kita kembali disini".

Seakan Sang Wali Kota, tahu mau menjawab langsung dengan menebak perasaan para tamu suadaranya, misteri pertanyaan apa yang ada dibenak pikiran orang-orang Papua, yang tidak tahu bahasa inggris itu. Wali Kota mengerti, dia menyadari akan hal itu, dan kembali mau meyakinkannya bahwa benar mereka saudara, tapi lama berpisah : Laut telah lama memisahkan mereka tapi darah akhirnya kembali mempertemukan. Mereka larut dalam tangis perpisahan.

Orang Papua yang baru masuk dunia "lain" dunia modern Amerika, mereka menampilkan tata cara adat budaya mereka dengan salam khas Wamena mereka, salaman dengan rangkulan badan erat-erat disertai lagu ratapan perpisahan dengan air mata kerinduan kembali akan perpisahan ini tanpa pernah tahu kapan bisa berjumpa kembali.

Ada satu hal yang menarik dan membuat terharu disini bagi saya adalah, masing-masing kedua kelurga yang lama dipisahkan oleh laut itu, tanpa memperhatikan etika pergaulan modern, dan juga layaknya, Sang Wali Kota dari negara super modern. Merek larut dalam keharuan pertemuan pertama dan terakhir mereka selamanya.

Senin, 11 Februari 2008

INDEPENDECE PERJUANGAN PAPUA

KEBEBASAN PEMIKIRAN LEBIH PENTING, CATATAN UNTUK SAUDARA HW

Setelah membaca surat "klarifikasi", Saudara HW, saya berkesimpulan bahwa agenda paling penting dan mendasar selain pembebasan wilayah kedaulatan negara Papua Barat adalah pemikiran rakyat Papua umumnya dan lebih khusus para pejuang generasi muda. Pembebasan tanah Papua dengan batas wilayah teritorialnya sebagai negara Papua Barat (West Papua), yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961, (saya tidak pernah tahu HW ikut proklamasi yang mana, anatara Bintang Kejora dan Bintang Empat belas), yang tak kalah penting adalah pembebasan pemikiran para pejuang Papua penting.

Pembebasan pemikiran bagi pejuang muda layaknya saya (IA) dan HW, mau dimaksudkan dan fokus perhatian tulisan disini adalah suatu keniscayaan. Karena selama ini para pejuang pembebasan Papua selalu menuai kegagalan oleh kedangkalan pemikiran dan kurangnya refrensi berpengaruh pada persepsi pejuang dalam mengambil keputusan perjuangan pembebasan.

Kegagalan selama ini disebabkan gerakan perjuangan Papua tidak dibangun diatas kerangka teori yang benar dan sistematis. Sehingga tidak terorganisir, berpengaruh aksi dilapangan. Semua berangkat dari kurangnya refrensi teori politik perjuangan pembebasan dan masih "mentah"nya dalam program perencanaan. Sebagai akibatnya perjuangan selalu gagal ditengah jalan tanpa tindak lanjut oleh organ perjuangan lain.

Dari dulu perjuangan tidak ditempuh secara terorganisir, terkoordinasi antar berbagai kekuatan secara sinergitas untuk memainkan peran masing-masing dan fungsi perjuangan yang saling menunjang. Tapi sebaliknya terkesan perjuangan ditempuh secara sporadis, jalan sendiri, tanpa koordinasi, dan terorganisasi antar sesama potensi pejuang Papua.

Selama ini perjuangan pembebasan Papua hanya manuver segelintir orang bersifat partial dan sporadis, tidak beres selesai. Kesan karena itu, hanya mencari popularitas saja, dan mengaku dapat legitimasi rakyat dan menjatuhkan pejuang lain sebagai kaki tangan BIN, NKRI, Binaan kolonialis, pertanda bahwa kita selama ini belum mengorganisir diri dan terkoordinasi baik antar pejuang tapi berjalan masing-masing.

Padahal suatu perjuangan, apalagi perjuangan mendirikan sebuah negara, berarti sebuah organisasi besar. Maka mutlak perlu sebuah organisasi sebagai bayangan organisasi negara yang akan didirikan. Dan ini harusnya terlihat dalam organisasi perjuangan. Tapi apakah organisasi perjuangan negara yang akan di impikan sebagai negara Papua Barat itu, reinkarnasinya nanti oleh PDP, OPM, ataukah MRP? Tidak jelas , organ mana, sebagai cikal bakal organisasi besar, negara Papua barat. Berarti dibutuhkan kerja bersama, organisasi bersama para pejuang dalam perjuangannya.

Kegagalan perjuangan pembebasan pejuanga Papua sebagai akibat kegagalan memahami gerakan sistematis dan terorganisir selama ini. Hal ini penting mau diperhatikan disini karena menyangkut waltanchauung (falsafah negara), terutama menyangkut keutuhan nasional Papua Barat kedepan. Kelemahan juga terlihat berbagai aksi anak-anak muda Papua yang terkesan sporadis tanpa perencanaan matang dan terarah.

Pejuang muda kurang refrensi guna pembebasan negerinya, Papua Barat. Sebab perjuangan tanpa konsep dan perencanaan matang hasilnya adalah kesesatan, partial, tidak konprehenshif sekaligus. Sebaliknya teori tanpa praktek mimpi, angan-angan, tanpa aksi penerapan gagasan hanya utopia saja. Suatu gagasan tanpa dipraktekkan tidak ada artinya, karena itu, seseorang harus mampu mempelopori gagasannya dengan praktek langsung ditengah masyarakat.

Pentingnya pembahasan tema disini adalah, guna mencari formulasi baru, mencari akar permasalahan kelemahan, bagi penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh. Perdebatan untuk karena itu bertujuan untuk mencari solusi bukan sebaliknya. Dan manfaat lainnya adalah pendidikan politik (politic education), bagi rakyat dari belenggu penjajahan pikiran mau diakhiri disini.

Maka memahami teori perjuangan secara mapan dari berbagai refrensi adalah salah satu usaha membebaskan diri dari kesesatan pikiran dan aksi perjuangan pembebasan. Demikian juga bahwa penerapan suatu konsep yang dipahami secara bersama senantiasa dapat diaplikasikan dilapangan dari orang-orang yang ikut terlibat diskusi manfaatnya diterapkan dilapangan.

Karena itu agenada lain paling penting bagi Papua menurut adalah agenda pembebasan pikiran bagi pejuang generasi muda. Pembebasan pemikiran aktivis Papua, dirasakan kurang refrensi, sehingga tidak pernah melahirkan suatu ledakan revolusi rakyat secara massal berpengaruh kecuali rombongan permohonan suaka Herman Wainggai ke Autralia dianggap lebih baik tapi tidak elaborasi pejuang di belahan lain.

Karena selama ini kita dalam pemikiran seringkali sulit melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat mitos tidak masuk akal dan tidak pasti. Artinya rasa kebergantungan (dependence) terhadap obyek diluar diri sangat tinggi pada pejuang muda Papua. Sehingga pembebasan Papua tidak konprehenshif tapi dirasakan partial .

Oleh sebab itu, jika tidak ada pemikiran independent dari kaum muda seperti halnya saya dan HW, bukan saja kegagalan terus menerus, tapi kesesatan mencapai tujuan pembebasan. Padahal sebagai pionir sekaligus motorik pergerakan, generasi muda Papua, tidak boleh kekurangan refrensi. Sehingga harapan merdeka digantungkan pada Tuhan, dan kita membiarkan semua terjadi secara alami sesuai kehendak-"NYA" .

Jika pemikiran demikian masih ada pada kaum muda niscaya harapan membebaskan diri tanpa mau diusahakan sendiri oleh manusia Papua, hasilnya kapanpun Papua tidak merdeka, terus dijajah. Membudak pada Tuhan tanpa mau berusaha sendiri adalah suatu paham vatalisme berbahaya. Padahal wacana tentang ini di Eropa melahirkan Agama Protestan yang memisahkan diri dipolopori oleh Martin Luhter dari Jerman anti thesa dari dominasi Tuhan (atau Gereja) yang membelenggu kebebasan manusia.

Jika harapan kemerdekaan sepenuhnya diharapkan dari Tuhan, --(padahal Dia , sama sekali tidak mau tahu, malah tidak mau pusing, tentang wacana Papua, ko mo merdeka... ato ko mo hidupka... ato mati bodok-bodoka... ato terus dijajah NKRI ka, Tuhan tidak peduli) --adalah suatu paham vatalisme, berbahaya nasib perjuangan pembebasan. Sangat riskan memang, jika paham demikian masih bercokol di otak dan menghinggapi pikiran para generasi muda Papua. Padahal paham vatalisme lebih berbahaya dari racun HIV/AIDS Papua sekalipun, jika paham demikian masih dibiarkan terus hidup dan bercokol diotak rakyat Papua, sampai kapanpun rakyat tidak akan bisa merdeka. Malahan akibatnya percepatan proses ecosida, dan genosida sekaligus.

Kalau begitu generasi muda Papua mau pilih mana, membiarkan Papua dengan paham vatalismenya? Yaitu suatu teori pemikiran yang memberikan peran kepada Tuhan berlebih dan mematikan kreatifitas dan usaha sendiri atau dalam konteks ini, Tuhan buat kita merdeka, orang Papua diam tanpa mau berusaha susah payah, sebab semua rencana Tuhan, Dia kemerdekaan bangsa Papua. Ataukah rakyat Papua berusaha sendiri memerdekakan (membebaskan) diri sendiri?

Paradigma pemberian otoritas berlebih kepada Tuhan adalah kemundurun, jika dibiarkan maka hasilnya unnihilasi etnis Papua dan harapan merdeka dengan batas teritory West Papua hilang dari peta dunia. Pemikiran HW, menurut saya karena itu agak berbahaya bagi pembebasan. Malahan mengulangi kesalahan PDP, karena pemikiran HW, mirip PDP, yang banyak dikritisi dalam berbagai kesempatan. Perjuanga dengan memberi peran reformasi pada Tuhan bukan membebaskan dan mendamaikan, sebaliknya, menggagalkan idealisme Papua, dengan berbagai akibat dan kerugian tidak sedikit. Karena teori PDP, yaitu "pendekatan damai" terbukti bukan kedamaian tapi kekacauan baru, dan dampak kekerasan seperti pemekeran daerah, penyakit HIV/AIDS, pengerukan kekayaan alam, proses ekosida secara sistematis. Perjuangan damai tidak menyelesaikan masalah tapi banyak masalah baru. Karena teori ini implikasinya yaitu :

1. Krisis Kepemimpinan, yang berakibat pada
2. Ketiadaan kepastian politik Papua Barat
3. Kebuntuan penyelesaian masa depan Papua Barat Merdeka
4. Survival eco-sida dan manusia sekaligus (genosida)
5. Mentalitas complex imperiority di pihak seluruh pemimpin Papua
6. Sikap mental depedent di pihak rakyat Papua.

Sebagai akibatnya, biasanya menyerahkan nasib pada Tuhan, persis harapan HW dan teori perjuangan PDP, pada saat kekerasan berlangsung. Sebagai akibat ketidakmampuan, ada suatu pembenaran yaitu teori disub-dience, yang juga menghinggapi alam pikiran HW dan PDP, termasuk pemimpin lainnya Papua. Teori ini sesungguhnya menurut Prederick Nietzche pelarian dari rasa kekalahan hidup, untuk hidup sebagai Tuan, tanpa Tuhan. (Frans Magnis, 13 Tokoh Etika, (Jakarta, Kanisius, 1997).

Jika para pemimpin mengantungkan nasib perubahan kepada Tuhan, maka hasilnya sudah ditebak, Papua tidak pernah bisa merdeka. Sebab para pemimpinnya memiliki mentalitas membudak pada Tuhan dan menyerahkan nasibnya pada Tuhan. Padahal vatalisme sejak dini dikritik habis Friedrich Nietzsche. Karena akibatnya justeru mentalitas budak, kalah, tidak mampu, membiarkan diri tidak berusaha, menunggu keadilan Tuhan.

Apakah kita menyerahkan ketidakpastian nasib pada Tuhan, penjajah, kapitalis Amerika? Saya tidak rela menyerahkan kepada siapapun termasuk Tuhan. Silahkan saja sebahagian kita, tapi saya sungguh, tidak mau menyerahkan kepada siapun. Tanah saya tidak pernah mau menyerahkan kepada siapapun walau sejengkalpun entah kepada, Amerika, penjajah termasuk tidak juga kepada Tuhan. Sebab suku dan bangsa saya, bangsa Papua adalah Tuan dari Tanah Air Papua, bukan siap-siapa, apalagi konsepsi Tuhannya para penjajah.

Saya bukan tanpa bukti, Lembah Balim pada waktu orang-orang Barat bawa agama, dibunuh, ditolak, dan status tanah tetap dimiliki manusia sejati, manusia Papua, tanpa mau menyerahkannya pada Tuhan. Tanah kami tidak pernah mau menyerahkan kepada siapapun termasuk kepada Tuhan, kecuali hak pakai untuk tempat ibadah. Manusia Papua, siapapun diajarkan oleh nenek moyangnya, bahwa kepemilikan tanah adalah kepemilikan kolektif marga atau klen. Karena itu sama sekali tidak masuk akal dengan kata-kata HW berikut ini :

"Hal ini saya sampaikan karena BAHASA YANG KITA TULIS DI INETRNET TIDAK SELAMANYA sejalan dengan pikiran manusia PAPUA BARAT, tapi didalam kuasa PIMPINAN TUHAN ALLAH BAPA DISORGA maka semua latar belakang strategi -strategi kehidupan pandangan yang berbeda akan disatukan dalam kedaulatan rencanaNYA, dan itu sudah pasti, pasti dan pasti DI WAKTUNYA ALLAH maka saudara dan saya sebagai seorang yang beriman atau kepada kita semua sebagai political activisit akan duduk dan bicara untuk kepentingan umatNYA di tanah INJIL...TANAH PAPUA BARAT!"

Orang Papua tidak boleh menyerahkan tanah, isi kekayaan alamnya kepada siapapun termasuk penjajah dan Amerika. Pencurian emas di Timika menurut konsepsi Adat-Budaya Papua pantangan. Kita tidak boleh menyerahkan tanah air kita Papua Barat kepada siapapun, termasuk pada Tuhan. Kita adalah penguasa dan pemilik sah Tanah Papua, bukan Tuhan, bukan UUD Pasal 33 ayat 2. Atau Amerika dengan UU palsu kapitalis untuk mencuri emas di Timika, Minyak dan Gas di Bintuni oleh BP, menurut hukum Adat Papua tidak sah. Mereka pencuri, perampok, tidak saja manusia tapi juga agama diatas tanah kedaulatan wilayah manusia sejati dan penguasa sesungguhnya, manusia Papua.

Karena itu perjuangan tanpa pemikiran independent sesat, aksi tanpa teori gagal. Tapi teori tanpa aksi hanya mimpi atau utopia. Paling penting pejuang muda Papua seperti Saudara HW, dan saya banyak menelaah teori misalnya teori, Karl Marx, Frederick Nietzche, seperti 'Mentalitas Tuan dan Budak', agar dalam misi mulianya, tidak sesat jalan. Jika tidak perjuangan hanya parsial, tidak konperhenship, akibatnya ekosida.

Perjuangan Papua membebasakan diri dari penghinaan dan penistaan tanpa koordinasi dan organisasi selalu dan selamanya sebagaimana rombongan saudara HW ke Australia, hanya manuver tanpa follw up, akhirnya mati, begitu saja, lalu apakah saudara--saudara kita itu akan dipulangkan atau tetap tinggal di tanah sambungan dari tanah dan negeri leluhurnya sendiri hasilnya tidak tahu. Sebab perjuangan tanpa pembebasan pemikiran para pejuangnya sendiri hasilnya sudah diketahui, menggantungkan harapan pada Tuhan. Tapi paling penting diingatkan disini apakah Papua tetap mau menyerahkan kepada Tuhan agar memerdekakan orang Papua. Ataukah harus kita sendiri, orang Papua, yang harus berusaha sendiri tanpa mengharapkan siapa, orang lain, termasuk Tuhan, mau membebaskannya? Silahkan pilih sendiri, jalan mana yang mau ditempuh, dengan berbagai imlplikasi masing-masing sebagai akibat.

Saya disini hanya mau kastau saja, kawan-kawan generasi muda Pejuang Papua mau pilih mana, jalan pikiran HW dengan teori, menunggu Tuhan bekerja, atau orang Papua mau berusaha sendiri memperjuangkan kemerdekaannya, dengan berbagai cara dan usaha, jawabannya dikembalikan pada para pembaca sekalian. Tapi bagi saya pribadi bahwa kalau wacana pemikiran seperti Saudara HW begini mau dibiarkan terus hidup, implikasinya yaitu sikap kebergantungan (dependent) total tanpa mau usaha sendiri oleh manusia, manusia Papua. Contoh kasus hasil keputusan kongres Papua ke II PDP di GOR Jayapura (Port Numbay), dengan pendekatan "perjuangan damai ", implikasinya mentaliltas depedent, complex imperiority (rasa rendah diri) dipihak rakyat Papua saat ini berlangsung, yang tanpa pernah disadari oleh rakyat dan para pemuka masyarakat Papua sekaligus.

Jika wacana pemikiran vatalisme masih bercokol di otak generasi muda Papua sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan masa depan perjuangan kebebasan bangsa dan negara Papua Barat, maka hasilnya dapat diprediksi dari sekarang bahwa nasib dan harapan merdeka terus terkatung-katung, sementara nyawa, harta kekayaan alam dikuras habis oleh kolonialisme dan kapitalisme internasional. Jika masih ada banyak dari kita, rakyat dan pejuang muda Papua, dalam otak pemikirannya mengandung virus persis dimaui HW, yaitu vatalisme dengan banyak peran perjuangan diserahkan kepada Tuhan, manusia Papua hanya menunggu dan terus menunggu, Kapan Papua Merdeka, akan hasilnya juga terus demikian atau dengan kata lain Papua terus dijajah oleh bangsa asing.

Demikian jugakah arus utama pemikiran orang Papua hari ini? Jawabannya ya, demikian, terbukti kita tidak pernah sanggup merdeka sebagai implikasinya. Sesuatu harapan berlebih kepada Tuhan, yang telah dijelaskan diatas tadi, yaitu dominasi pemikiran teologis secara dangkal kapanpun selamanya gagal. Karena itu teori dan pemikiran demikian harus diganti sekarang. Yang membuat Papua dan membebaskan belenggu nasib orang Papua bukan Tuhan tapi orang Papua sendiri. Padahal teori kebergantungan nasib pada Tuhan ditolak di Barat kristen dan ini terbukti di Barat maju bahkan kemajuan Eropa, dalam usahanya membebaskan diri dari dominasi otoritas Tuhan (baca, Gereja) telah melahirkan apa yang dinamakan Aufklaruung, englaitmen, sebagai akibat gerakan renainsance, dan hasilnya sekarang Barat maju dan unggul dalam peradaban.

Jika pejuang Papua sekarang terus mau mempertahankan konsep perjuangan sebagai anti thesis dari penjajahan tanpa usaha mencari sintesa yaitu menolak teori doktrin otoritas Tuhan, bukan sebagaimana alam pikiran HW dan PDP yang mau diketengahkan kembali kepada kita dalam perjuangan pembebasan Papua. Hasilnya dibuktikan oleh PDP sendiri sebelumnya, kekayaan alam dicuri didepan mata dengan legitimasi pasar bebas, kapitalisme dan UU kolonialisme sebagai pembenar, pencurian dan perampokan juga pembunuhan secara sistematis semisal HIV/AID, akan terus berlangsung sebagaimana sekarang.

Dominasi paradigma berfikir HW, jika mau dibiarkan dianut rakyat Papua Barat, apalagi mau dianut oleh pejuang muda, sebagai pejuang garda terdepan pembebasan Papua, tanpa ada usaha perjuangan sendiri, tentu saja hasilnya ditebak sendiri, sebaliknya, seharusnya sebagai kaum muda Papua membuang jauh-jauh pemikiran mesianisme yang membelenggu kebebasan manusia Papua, dengan pemikiran inovatif dan pembangunan gerakan sistematis terorganisasi, tentu hasilnya akan berbeda. Maka apa yang diharapkan rakyat Papua seluruhnya pada pejuang muda hari ini dan esok tentu akan ada hasilnya.

Tapi jika sebaliknya? Hanya harapan ketidak pastian, menggantungkan nasib sepenuhnya kebaikan isi hati Tuhan? Demikian juga terkungkung alam pikiran kaum revolusioner pembebas Papua, bagaimana rakyat seluruh Papua dapat berharap bebas dari kungkungan alam pikiran yang akibatnya nasib penistaan dan penghinaan oleh bangsa lain sebaai penjajah yang secara telanjang dipertontonkan hari ini dan akan terus berlanjut beberapa waktu kedepan mau diakhiri? Terserah Para Pejuang Muda Papua.