Sabtu, 16 Februari 2008

MENGAKHIRI KONFLIK AKUT PAPUA

Dari sudut pandang kebanyakan rakyat Indonesia, Papua adalah daerah “ghorbi”, yaitu suatu daerah "asing" yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya menepatkan Papua sebagai daerah penuh gejolok perang, konflik, “kekerasan”, dan akhirnya daerah darul harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, sebagai akibatny, bangsa West Papua, kurang mendapat prioritas perhatian “dari hati” Indonesia , terutama oleh 87% mayoritas pendudunya.

Pada gilirannya menepatkan Papua pada urutan terakhir dalam priorita perhatian bagi kebanyakan mayoritas penduduk Indonesia. Papua masuk ranting terakhir skala prioritas untuk memperdulikannya. Karena itu usaha mau tahu secara serius pihak mayoritas penduduk Indonesia atas konflik social politik berkepanjangan di Papua Barat selalu marginal, bukan focus perhatian dan kepedulian, sejak daerah itu di serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962.

Papua yang senantiasa dirundung “masalah” bagi kebanyakan penduduk sebagai “gangguan” bagi stabilitas keamanan dan politik Indonesia berskala nasional dan internasional. Maka mayoritas Indonesia sikapnya apatis, dalam rangka usaha mencari solusi penyelesaian berbagai konflik social politik di Papua Barat secara bermartabat. Bahkan luput dari perhatian kepedulian apalagi simpati dan empati, atas masalah yang dihadapi Papua Barat. Seakan semua stigma diatas tadi membenarkan asumsi bahwa Papua adalah urutan prioritas terakhir dalam pilihan memperhatikannya.

Kesan lain yang sudah terbangun selama ini, Papua identik dengan daerah yang mayoritas penduduknya bukan penganut agama Islam. Hal ini misalnya terlihat dari sikap wakil rakyat dari latar belakang partai-partai yang berasaskan Islam seperti PPP, PKS, PBB dan partai Islam nasionalis seperti PAN dan PKB. Berbeda sikapnya dalam hal penyelasaian kasus Aceh, anggota parlemen partai-partai ini lebih memperhatikan konflik sama di Aceh daripada Papua yang identik Kristen dalam hal skala prioritas legislasi bantuan penyelesainya. Papua selalu marginal dalam usaha mencari solusi penyelesaian konflik social politik bagi Indonesia .

Sebagai akibatnya perhatian nasib Papua “tenggelam”, terlupakan oleh dominasi kesan yang terbangun selama ini bagi mayoritas penduduk Indonesia yang penduduknya terbesar muslim dunia. Padahal sejak lebih awal Islam sudah tumbuh dan berkembang di Papua. Penganut agama Islam itu sendiri terdiri dari masyarakat penduduk Asli sejak abad ke 16, sebelum agama-agama besar lain datang diantar ke bumi Cenderawasih. Analisa kesimpulan demikian ditarik, dari kurangnya perhatian kebanyakan penganut agama Islam dari 300 juta jiwa seluruh penduduk Indonesia . .

Karena itu wajar bahwa masalah konflk sosial politik di Papua tidak mungkin tanpa melibatkan kelompok penganut agama Islam sebagai cerminan penduduk pemukim Papua secara seluruhnya. Walaupun penganut agama Kristen Protestan mayoritas dikalangan penduduk asli di Utara, (berkat jasa dua missionaries dari Jerman yaitu Otto dan Geisler yang datang ke Pulau Mansinam, Manukwari pada tanggal 5 Pebruari tahun 1885), di Papua juga ada agama Katolik yang dominant di Selatan sekitar Merauke.

Papua menunjukkan bahwa di sentra-sentra perkotaan Papua banyak urban beragama Islam adalah bagian dari populasi pendududuk Papua yang berjumlah 2 juta jiwa itu. Jumlah penganut Islam seluruhnya adalah penduduk Papua hari ini tanpa membedakan secara diskriminatif “amber” atau pendatang dan penduduk asli, sehingga tidak persis sensus penduduk BPS, yang menunjukkan selama ini misalnya penganut Islam hanya 25% saja dari seluruh penduduk.

Kalau di data semua, tanpa kecuali, misalnya TNI/POLRI non organik, transmigrasi, urban mandiri, guru-guru, tentara dan para pejabat pemerintah seluruhnya. Maka sesungguhnya penduduk Papua yang beragama Islam tidak kurang banyaknya dari setengah juta jiwa penduduk Papua. Selama ini yang didata BPS, jumlah penduduk Papua tidak termasuk “Aparat” pasukan non organik dan berbagai jawatan frofesi lainnya.

Maka pada tempatnya disini penulis mau mengajak Indonesia, agar penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua secara adil, damai dan bermartabat dengan membuka dialog antara Jakarta dan rakyat Papua sesuai tuntutan nilai-nilai keadilan Islam universal dan konstitusi Indonesia sebagai jaminannya.

Oleh sebab itu harapan penulis ingin disampaikan, pertama, penyelesaian masalah konflik akut di Papua Barat secara adil dan damai. Kedua, penegakan HAM dan Demokrasi dan permasalahannya di Papua Barat dan ketiga, Paradigma Baru Menuju Papua Damai, bagi perjuangan pembebasan Papua dalam rangka kesiapan sikap dan mental orang Papua menghadapi perubahan atas berbagai masalah social politik, kebudayaan dan agama di Papua Barat harus di selesaikan secara bersama dan bermartabat sesuai nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemanusiaan penuh kedamaian.

Demikian juga agar kita peduli pada proyek maha amat mendasar bagi hak bereksistensi orang Papua di “dunia”-nya adalah bagian dari jaminan konstitusi Indonesia sendiri ”…kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan…dst”, mau diakui secara jujur disini, karena juga tidak bertentangan dengan konsep keadilan dan musyawarah dalam agama Islam, agama anutan mayoritas penduduk Indonesia dan juga penulis

Penulis adalah pemerhati masalah Papua tinggal di Ciputat

Tidak ada komentar: