Pertemuan Dengan Orang Kulit Hitam Amerika.
Ceriteranya Begini :
Suatu ketika tahun 1990-an (persisnya saya lupa), dalam usaha membuka keisolasian orang di Lembah Balim (Suku Dani) dan juga Suku Asmat, Yayasan Asmat, dibawah pimpinan mba Tutut (anak almarhum Soeharto, Presiden RI kala itu), rombongan seni dan budaya yang terdiri dari para seniman ukir Suku Asmat dan seniman atraksi Perang antar Suku dari Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua, di ajak keliling dunia termasuk ke Amerika.
Orang-orang Papua dari Lembah Balim yang beribu-ribu tahun generasinya hidup dalam keisolasiannya itu, seumur-umur dalam hidupnya baru pertamakali di bawa keluar dari kampung halaman mereka di Lembah Balim Wamena oleh Yayasan Asmat, untuk tujuan promosi Seni dan Budaya Indonesia-Papua. Rombongan datang ke Amerika. Betapa main kagetnya mereka, shock cultur, ternyata disini banyak orang Papua, sama seperti mereka. Tapi bedanya mereka hidup bersih, maju, sudah dapat mengoperasikan dan memanfaatkan tekhnologi maju terkini
Walau sudah terpaut jauh dalam perilaku dan cara hidup, antara primitif dipihak orang Papua dan super modern dipihak orang kulit hitam Amerika, orang Papua tidak pusing dengan itu semua, mereka hanya tahu bahwa orang kulit hitam adalah saudara mereka yang sesungguhnya (kalau begitu pimpinan pembawa rombongan bukan juga saudara? Diantara masalah psikologi lainnya bisa ditimbulkan sebagai pertanyaan disini), karena itu diantara mereka terjalin hubungan mesra dan keakraban yang membuat iri hati bagi yang lain menyaksikan ditempat itu.
Orang Papua dari Lembah Balim Wamena dan Asmat seakan tidak ada jarak saat itu tatkala bertemu dengan sejumlah orang kulit hitam di Amerika, walau baru pertama kali ketemu diantara mereka (orang kulit hitam Amerka dan kulit hitam Indonesia), tapi tidak ada kesan keraguan dipihak orang-orang primitif Papua itu, malahan berani menyatakan diri mereka satu sama dan bersaudara. Semua itu tidak lepas dari satu hal yaitu mereka satu ras, satu etnis, etnis kulit hitam.
Mereka merasa tidak asing dibandingkan dengan orang Indonesia yang selama ini. Mereka merasa lebih akrab dekat bersaudara dengan orang kulit hitam Amerika, karena mereka sama, mirip, sejenis, seras, orangnya sama persis dengan diri mereka, orang Amerika kulit hitam. Orang-orang Papua yang umumnya buta huruf dan tidak sempat mengenyam pendidikan formal seumur hidupnya itu, banyak menyisakan pertanyaan dalam hati mereka.
Disini ada kelurga mereka, tapi mereka siapa? Dalam hati merasa kaget, terharu, heran, aneh dan berbagai perasaan lain. Mau menyapa langsung, halangan komunikasi, bahasa mereka lain, saling tidak mengerti, perjumpaan hanya sentuhan jabat tangan dan rangkulan layaknya perjumpaan antara dua saudara lama tak berjumpa, komunikasi tidak langsung, tapi mereka menyadari betul, bahwa mereka bertemu kelurga setelah lama berpisah. Tetapi tetap menyisakan pertanyaan didalam hati, mengapa mereka bisa berpisah? Karaguan muncul lalu sirna lagi, mereka bersaudara, satu keturunan nenek moyang. Tapi apa buktinya?
Rasa keraguan silih berganti, dibuyarkan oleh tanda, hanya ada satu tanda yang menjadi saksi dan bukti mereka satu dan sama dari satu kelurga, satu keturunan, tapi keturunan ke berapa? Tapi kembali lagi banyak pertanyaan dipatahkan oleh hanya satu bukti, ras mereka yang persis sama, ras kulit hitam dan rambut keriting. Walaupun baru dan pertama kalinya mereka ketemu, mereka tidak ragu menganggap saudara, karena kulit, rambut sama dengan diri mereka sendiri sama persis ras negroid.
Tapi alangkah kagetnya mendapati diri mereka, ada yang lebih maju dan beradab dari perkiraan sebelum mereka oleh pembawa rombongannya. Mereka terharu, saudara mereka ada yang lebih maju. Tapi bagi orang Papua dari Lembah Balim ada banyak menyisakan pertanyaan kala itu, karena disamping mereka tidak dapat berkomunikasi langsung, siapa diri mereka dan mengapa ada disini, dan bagaimana ceriteranya mereka bisa berpisah, padahal tanda (rambut, kulit) secara jujur bercerita sendiri. Mereka satu nenek moyang, entah siapa nenek moyang itu. Tapi mengapa dan ulah siapa mereka lama dipisahkan dengan akibat-akibatnya?
Adalah misteri pertanyaan yang tak terlontarkan, pertanyaan mau dibawa pulang kekampung halaman, tanpa tuntas mengerti mengapa demikian. Kecuali sedikit, komunikasi terbatas, itupun oleh pemandu. Tapi "pertemuan kembali", sesama, setelah lama berpisah, sangat mengharukan. Pertemuan 1x hanya berlangsung beberapa hari dalam lawatan promosi seni dan budaya Papua --(patung suku asmat dan budaya perang suku Lembah Balim, diantara tema agenda tour mereka) --tiba-tiba mereka bertemu kembali dengan kelurga mereka, setelah lama berpisah, tanpa disangka.
Sebelum berpisah mereka saling rangkulan dengan meneteskan air mata, tanpa pernah bisa tahu kapan dan dimana bisa berjumpa kembali, karena semuanya tidak mungkin terulang kembali bagi rombongan seni yang peserta semuanya terdiri dari orang Papua semua dan tidak pernah mengenyam pendidikan, kecuali kalau ada kesempatan sama oleh pimpinan rombongan, bagi rombongan orang Papua adalah kesulitan tanpa harapan bisa berjumpa kembali. Dalam kesempatan perpisahan itu ada pidato perpisahan seorang walikota, dari salah satu negara bagian yang walikotanya seorang kulit hitam. Dalam pidatonya yang tidak dimengerti rombongan orang-orang Papua itu, sang Wali kota mengucapkan beberapa kata :
"Laut telah lama memisahkan kita, tapi darah mempertemukan kita kembali disini".
Seakan Sang Wali Kota, tahu mau menjawab langsung dengan menebak perasaan para tamu suadaranya, misteri pertanyaan apa yang ada dibenak pikiran orang-orang Papua, yang tidak tahu bahasa inggris itu. Wali Kota mengerti, dia menyadari akan hal itu, dan kembali mau meyakinkannya bahwa benar mereka saudara, tapi lama berpisah : Laut telah lama memisahkan mereka tapi darah akhirnya kembali mempertemukan. Mereka larut dalam tangis perpisahan.
Orang Papua yang baru masuk dunia "lain" dunia modern Amerika, mereka menampilkan tata cara adat budaya mereka dengan salam khas Wamena mereka, salaman dengan rangkulan badan erat-erat disertai lagu ratapan perpisahan dengan air mata kerinduan kembali akan perpisahan ini tanpa pernah tahu kapan bisa berjumpa kembali.
Ada satu hal yang menarik dan membuat terharu disini bagi saya adalah, masing-masing kedua kelurga yang lama dipisahkan oleh laut itu, tanpa memperhatikan etika pergaulan modern, dan juga layaknya, Sang Wali Kota dari negara super modern. Merek larut dalam keharuan pertemuan pertama dan terakhir mereka selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar