Kamis, 14 April 2011

PAGUYUBAN ETNIS PERSPEKTIF ISLAM


By : Ismail asso*


Dari sudut pandang ilmu social (sociology) paguyuban etnik adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan HAM. Paguyuban etnis sebagai akibat wajar adanya kemajemukan (pluralitas) itu yang secara alami sebagai sunatullah (dalam arti bahwa adanya beraneka ragam suku, etnik, suku, marga dan juga agama adalah rencana Tuhan), primordialisme adalah natural law.


Institusionalisasi organisasi kelompok masyarakat etnis biasanya untuk menunjukkan eksistensi kewargaan atau keikutsertaan kelompok masyarakat itu kepada kelompok etnis lain dalam kebersamaan warga kota (masyarakat madani, civil society) dalam kehidupan bersama disuatu kawasan yang disebut masyarakat kota. Karena itu paguyuban etnis kesukuan dibentuk didasari oleh kebutuhan seperti itu.


Paguyuban kesukuan di Papua menunjukkan gejala adanya demokrasi dan kebutuhan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) aneka etnis masyarakat kota, ada harapan, agar saling mengakui eksistensi diri masing-masing kelompok sehingga dalam menata kehidupan bersama itu ada pengakuan orang lain untuk bisa hidup berdampingan.


Konsolidasi Umat


Diakui atau tidak, umat Islam Papua, terlepas dari tujuan positif pendirian paguyuban kedaerahan atau etnis itu, jika kita kembali pada nilai-nilai hakiki yang diajarkan oleh agama Islama. Terutama hal itu teladan Islam zaman Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat Madinah. Maka sesugguhnya gejala pembentukan paguyuban etnik seperti nampak terlihat menggejala umum masyarakat urban muslim di Papua belakangan ini, maka itu pada hakekatnya gejala jahiliyah modern.


Kalau kita harus konsisten dengan nilai-nilai islam paripurna secara puritan maka dengan sendirinya gejala jahiliyyah modern seperti itu sesugguhnya bertentangan dengan nilai Islam par exelance sebagai pengikat anasir primordial. Bagi agama Islam turunnya ayat terakhir pada Haji Wada’ (QS. Al-Maidah : 3) telah sempurna sebagai sarana pemersatu kemajemukan dan Al-Qur’an serta Al-Sunnah jaminan kebenaran.


Karenanya menghadapi momentum Pemilukada Papua seperti sekarang ini konsolidasi internal umat Islam tidak ada jalan lain, selain solusinya, musyarakat muslim Papua harus kembali kepada Islam. Sarana perekat kemajemukan dari aneka primordialisme etnik masyarakat muslim Papua tidak lain tidak bukan, satu-satunya solusi sarana perekat itu adalah Islam. Bagi umat islam, agama islam sebagai sarana pengikat semua aspek primordial ashobiyah (kebangsaan).


Solusi masyakat muslim Papua adalah mereka harus kembali pada sarana perekat itu dan untuk tujuan itu jembatannya melalui Ormas Islam. Walau harus diakui jujur disini bahwa Ormas seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, MUI, FKMPT atau MMP sarat rekayasa kepentingan politik pragmatism. Namun sisi positifnya semua etnis dari aspek primordialisme suku harus terintegrasi (lebur) dalam satu bendera Islam dan itu terbukti ampuh dan berhasil menang dimana-mana sebagai alat pemersatu.


Maka wajar kalau kemudian saat ini menjadi kebutuhan semua paguyuban suku-etnis patut meleburkan aspirasi politiknya melalui satu pintu, melalui pintu bendera Islam. Penting dihindari adalah kepentingan kelompok etnis atau suku diatas kepentingan umat. Konsolidasi Muslim Papua melalui Ormas karenanya urgen. Tujuannya meleburkan semua suara paguyuban etnis-suku itu dengan kembali kepada Islam dalam satu ikatan ukhuwah Islamiyah. Pragmatisme gagasan tulisan ini tertuju khusus kepada Umat Islam Papua-Papua Barat dalam menghadapi Pemilukada 2011-2016.


Namun inspirasi demikian tidak hanya urgen bagi masyarakt tertentu tapi semua penentu kecenderungan berbagai Ormas dan Partai politik. Kenyataan memang dalam banyak fakta lapangan sulit terwujud mengingat dimensi keberagamaan dan watak politik sangat duniawi. Namun optimism bahwa suara Umat Islam Papua sangat besar menjadi domain PILGUB dikedua wilayah. Karena itu semua tergantung para pemimpin Ormas Islam Papua, sejauh mana proses kaderisasi mereka selama ini. Adakah kader  Muslim Papua sudah dipersiapkan sejauh ini? Ataukah Ormas Islam hanya dijadikan atau diperebutkan pribadi bagi tujuan kepentingan lain lebih sempit?


Untuk mengetahui itu konsolidasi internal Ormas Islam urgens perlu saat ini. Tujuannya penyamaan konsepsi dan persepsi semua kader Ormas maupun Parpol berbasis massa Islam. Sinergitas konsepsi dan persepsi Ormas dan Parpol basis massa Islam dapat membentuk tim gabungan Ormas. Dalam pada itu persiapkan kader untuk didorong dalam kepemimpinan Papua kedepan. Konsolidasi internal umat Islam Papua, tidak hanya bermaksud untuk tujuan sesaat, namun proses kaderisasi Muslim papua jauh kedepan lebih penting diperhatikan disini.


Tulisan ini dimaksudkan untuk tujuan itu. Siapapun dan kelompok Ormas manapun kepentingan kemaslahatan Papua bersama tujuan utama. Karena itu harus diingatkan disini bahwa keunggulan kuantitas jika tidak ditunjang kualitas konsolidasi menyeluruh senantiasa lemah. Maka proses kaderisasi Ormas Islam secara sistematis penting dan perlu menjadi perhatian bersama tokoh-tokoh muslim Papua.


Tujuan tulisan ditujukan kepada Umat Islam Papua, agar jangan sampai terjebak pada wadah-wadah sektarian seperti paguyuban etnis, jahiliyyah modern. Harus disadari kepentingan bersama dalam jangka waktu jauh kedepan lebih utama, (Walal akhiratu khoirul laka minal ula.(QS. Al-Dhuha:4). Kita semua dituntut tanggungjawab men-setting itu sejak dini. Jika tidak apalagi tanpa disadari maka umat islam Papua bisa jadi bagaikan air busa (persis Hadits Nabi).


Hal ini bermula dari keprihatinan penulis mengamati adanya gejala umat Islam Papua gemar membentuk paguyuban etnis. Seharusnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai guardiance cukup bagi umat Islam. Gejala menjamurnya paguyuban etnis-suku bagi masyarakat muslim urban Papua sebagai akibat menggejalanya penyakit ananiyyah (egoism) kesukuan (qobilah) dan ashobiyyah, menandakan kekeroposan aqidah Islamiyyah pada stadium tinggi cukup mengkhawatirkan kita semua. Padahal Islam sebagai sarana perekat ampuh semua aspek primordialisme dalam konteks pluralitas masyarakat Papua.


Keprihatinan penulis tatkala memperhatikan menggejalanya dikalangan Umat Islam Papua bahwa akhir-akhir ini gemar menghidupkan aspek primordialisme dan yang itu tidak lain dimaksudkan gejala tumbuhnya paguyuban etnis di Papua sebagai jahiliyyah modern. Karena gejala pengorganisasian itu ditumbuhkan sengaja atau tidak sengaja dikalangan urban umumnya berlatarbelakang islam.


Umat Islam bukannya bersatu, jadi seharusnya kembali pada tatanan nilai-nilai Islam classic paripurna dalam semangat ukhuwah islamiyyah, lalu ukhuwah basyariyah dan akhirnya ukhuwah wathoniyah sebagaimana perangkat sosial itu ada dalam kenyataan Papua praxis hari ini, yaitu ciri masyarakat yang kita hidupi bersama ada atau hayati bersama dialam ini, dialam nyata Papua.


Jika kita hayati secara sadar, ciri masyarakat majemuk Papua persis sama dengan masyarakat Madinah zaman Nabi. Masyarakat urban kota Papua adalah sesungguhnya sebagai ciri masyarakat kosmopolit, masyarakat madani (civil sosiety) seperti persis konteks masyarakat Madinah setelah Nabi Hijrah dari Makkah. Sebab ciri utama masyarakat kota (masyarakat madani, sivil society) yang dibentuk Nabi Muhammad kala itu hingga lahirnya Konstitusi Madinah (Piagam Madinah) karena disana terdapat beragam suku dan agama yakni Yahudi, Nasrani dan juga orang yang belum beragama (Cak-Nur, 1999).


Kaum muslimin yang hijrah (urban, jama’ muhajirin) harusnya menghayati nilai ini secara lebih baik sebagaimana nilai-nilai itu diajarkan Islam melalui Nabi Muhammad SAW dengan memberi contoh membentuk (membangun) masyarakat kota di Madinah. Sebab alasan lahirnya Konstitusi Madinah dalam konteks masyarakat Yatsrib (nama kota itu sebelum diganti Madinah) kala itu persis sama dengan konteks masyarakat Papua yang nyata kita hidupi bersama ada hari ini.


Piagam Madinah kontekstualisasinya itu adanya di Papua. Walau tanpa harus membahasakan itu disini karena orang allergy dengan konsep Piagama Madinah, tapi kita tidak bisa pungkiri dalam kenyataannya contoh persis karakteristik Masyarakat Madinah -terlepas konteks ruang dan waktu -adanya di Papua dewasa ini.


Kecuali itu tulisan ini selain membuka wacana baru yang terpenting adalah kesadaran konsolidasi internal Ormas dan Parpol Islam dalam menghadapi momentum Pemilukada. Mengingat Umat Islam Papua dalam pengamatan penulis terakhir gemar menghidupkan symbol-symbol jahiliyah (pra Islam zaman Nabi) yakni munculnya firqoh-firqoh (kelompok) sektarianisme primordial. Fenomena paguyuban bernuansa ashobiyyah (kebangsaan) seperti itu pada akhirnya nufarriqu bainana wabauinahum, jadi maksud saya disini gejala seperti itu lebih menunjukkan kita retak, kita tidak bersatu dalam kesatua-paduan Papua. yang sesungguhnya itu semua jerat-jerat konflik horizontal sesama warga kota (sipil). (habis).



*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua.




Tidak ada komentar: