Jumat, 19 Juni 2009

CAPRES-CAWAPRES DAN KOMITMEN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

A. Konflik Aceh dan Papua

Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus Ambon , Poso, Ketapang dll. Aceh-Papua adalah konflik vertical, penyelesaiannya akut sepanjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua wilayah ujung Indonesia ini selalu ada gejolak separatisme. Kontak senjata antara pejuang kemerdekaan dan TNI/POLRI tak terhindarkan dan membawa banyak korban kedua pihak terutama rakyat sipil.

GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka selama ini selalu berhadap-hadapan secara militer (bersenjata) dengan TNI/POLRI. Hal ini tentu saja memperrumit dialog percepatan penyelesaian dan pembangunan didaerah tersebut.

Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh

1. Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik

Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.

Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan gaya makassar-nya. Melalui pengakuannya sendiri kita menjadi tahu bahwa dibalik perdamaian GAM-RI di Helsinki ada peran Yusuf Kalla. Sebahagian tuntutan GAM misalnya syari’at islam otomatis menimalisir letupan-letupan kontak senjata antara TNI/POLRI versus GAM bisa diredam.

Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas, Jakarta dll dalam skala local lainnya adalah Yusuf Kalla salah satu Capres RI mengakui dirinya berperan aktif menyelesaikannya. Tapi Yusuf Kalla Capres sipil, yang memang tidak pernah punya andil atau berperan sebagai apapun dalam konflik yang banyak mengorbankan rakyat sipil disana. Hal demikian tidak ada pengakuan dari tiga Capres-Cawapres RI lainnya, terutama yang berlatar belakang militer.

Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian Helsinki disela-sela kampanyenya disana. Karena itu dia bisa dan memang sanggup menjajikan pada GAM, penyelesaian keamanan kenyamanan hidup rakyat Aceh. Tapi sanggupkah dia dengan Papua dan TPN/OPM? Dan bagaimana format penyelesaian konflik secara konprehenshif bisa di wujudkan di Papua Barat diidealkan sebagai “Papua Zona Damai” tanpa kedamadaian terus-menerus itu?

Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia nanti, kelak seperti apa penyelesaian konflik di wilayah ujung Barat dan Timur Indonesia itu?

Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!

Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.

B. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP, bagi TPN/OPM di rimba raya Papua tidak dianggap sebagai solusi. Karena sejauh ini dan mungkin sampai nanti juga bahwa Otsus Papua sebagai kompromi jalan tengah bukan solusi bagi rakyat Papua. Apatah lagi perjanjian pemberian dan penerimaan (berarti, ijab-qobul) Otsus tidak pernah melibatkan TPN/OPM sesungguhnya di rimba raya Papua.

Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.

Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu Indonesia harus melibatkan mereka mencari solusi soal Papua. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

C. Solusi Konflik Papua

  1. Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
  2. Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
  3. Melakasanakan Ostsus secara konsisten
  4. Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
  5. Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
  6. Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)

Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.

Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di Papua. Yang itu berarti selalu punya peluang membunuh rakyat Papua yang dicurigai karena alas an keutuhan seperti kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay , Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Karena itu di Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kesatuan angkatan bersejata TNI/POLRI organic dan non organic. Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu tiada pernah berakhir.

Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helsinki. Apakah Papua juga sanggup di hentikan sebagaimana Aceh? Bagaimana format jitu yang akan ditawarkan oleh Capres-Cawapres atas kasus pelanggarana HAM berat sejak tahun 1962 hingga hari ini di Papua? Sanggupkah mereka menyamai prestasi Kiay Haji Abdurrahman Wahid ataukah sama seperti Megawati dan SBY seperti saat ini, terperangkap masuk pada halal-haram symbol cultural bagi rakyat Papua sehingga kembali ke titik nol lagi? Hanya pada Tuhan kita berserah diri!

Tidak ada komentar: