Konflik Primer
Konflik TPN/OPM versus TNI/POLRI di Papua merupakan konflik primer dari segala konflik sepanjang integrasi Papua kedalam NKRI। Konflik dimensi lain, yang melibatkan rakyat sipil (konflik horizontal) maupun TPN/OPM versus TNI/POLRI adalah konflik paling akut tapi juga paling sulit, untuk tidak dikatakan tidak sanggup diselesaian oleh kedua pihak lain ideology itu, entah itu oleh OPM, rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia।
Papua Barat, sejak integrasi melalui PEPERA (kata sebahagian orang Papua, sebenarnya aneksasi paksa) dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1979, maka sepanjang itupula banyak korban berjatuhan disatu pihak TPN/OPM-TNI/POLRI dan dilain pihak rakyat Papua. PEPERA tahun 1962 yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara)।
Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik। Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia।
Demikian sama halnya Aceh। Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai। Namun akhir-akhir ini agaknya Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helskiny.
Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh। Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya। Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.
Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua। Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan
Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM। Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya। Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.
Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus। Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.
Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat। Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.
Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) sudah selesai। Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!
Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP। Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua kelompok berbeda ideologi bertikai sebagai jalan tengah dari jalan kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.
Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi soal itu (Otsus Papua) dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua)। Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya sebagaimana yang terjadi di Aceh. Kecuali OPM buatan militer
Bagi OPM Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara
Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak
Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka। Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua।
Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi। Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.
Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal। Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.
Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro
Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM
Selama ini
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis। Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant। Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.
Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar