Jumat, 21 Agustus 2009

PAPUA DAN POLITIK AKOMODASI SBY


Kullukum roo’in wakullukum masuulin ‘an ro’iyyatihi.


 Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintakan pertanggungjawaban kepemimpinannya”. (Al-Hadits)
Penulisan tulisan ini dengan asumsi secara pribadi bahwa, sesuatu yang gagal kita raih semua, lantas tidak kita meninggalkan semua. Qoidah ushul fiqh (filsafat hukum islam) ini mengandaikan pada kita bahwa apa yang harusnya, berarti yang ideal bagi kita seperti keinginan mayoritas rakyat Papua sementara ini belum mampu diraih semua bukan berarti kita juga harus meninggalkan semua. Artinya dalam usaha menuju tujuan ideal, kita tidak boleh meninggalkan sesuatu kenyataan kejadian didepan mata sebagai bagian dari hak kita. Kita tidak boleh meninggalkan semua karena hanya semata-mata tujuan ideal.




Pemerintah Pusat hampir 40 tahun mengalami kesulitan komunikasi menyelesaikan masalah Papua. Selama itupula tokoh-tokoh senior dijadikan kiperson penyelesaian masalah. Berbagai lobby tokoh senior, kenyataannya tidak pernah bisa membantu menyelesaikan masalah. Justeru membohongi pemrintah pusat supaya dapat jabatan Duta Besar, Gubernur, DPRP, Voice Presiden Freeport, Deputi-Deputi, DPR RI dan Menteri Kelautan. Tapi apa kontribusi mereka sebagai wakil/representasi Papua? Berarti Pemerintah Pusat salah mengambil orang-orang senior itu. (Natalis Pigay, Wawancara, Jum’at, 5 Juli 2008).




Dalam sejarahnya akomodasi politik Papua oleh Pemerintah Pusat biasanya hanya dilibatkan beberapa oknum Papua dan itu dilakukan melalui segelintir orang Papua dari clan tertentu mengatasnamakan Papua. Masalahnya adalah apakah mereka ini memenuhi aspek keterwakilan semua suku bahasa dan adat-budaya Papua yang sangat majemuk melampaui kemajemukan Indonesia sendiri, sebagai bergaining politik bagi seluruh rakyat Papua? Apakah patut akomodasi politik bagi semua unsur suku bangsa dan bahasa Papua dianggap sudah cukup melalui lobby-lobby partial segelintir orang Papua di Jakarta? Jawabannya tidak! Demikian itu sesungguhnya hanya mewakili segelintir clan dari wilayah tertentu Papua yang sangat luas dengan keragaman adat-budaya dan bahasa. Papua ada 270 bahasa dari 360 bahasa suku Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia).




Kalau demikian sangat ragam adat-budaya dan bahasa Papua melampaui bahasa Indonesia itu sendiri. Maka wajarkah Papua hanya bisa di wakili oleh orang-orang seperti Kepala Suku Haji Abunawas dari Suku Dani Lembah Baliem Wamena? Pendeta binaan BIN serta OPM abu-abu atau pejuang NKRI dari Ibukota Jakarta? Dan itu sebelum ini biasanya dilakukan oleh segelintir kelompok pragmatis orang Papua yang punya ases ke Istana. Maka dengan sendirinya tidak mewakili seluruh aspirasi komponen komunitas semua unsur Papua. Sebagai akibatnya menjadi wajar dan masuk akal bahwa selama Otsus diberlakukan dari tahun 1999-2009, maka selama itupula sama sekali tidak mampu meredam gejolak separatisme.




Sehingga menjadi wajar juga kalau kemudian kita merasa sangsi kepada tokoh-tokoh tua selama ini kembali dilibatkan untuk kalkulasi politik Papua pada pundak mereka lagi. Skeptisme kita pada tokoh-tokoh tua Papua bahwa kalau benar mereka punya kemampuan mengatasi masalah Papua. Maka harusnya selama Otsus 10 tahun berjalan sejauh ini tidak terlihat kapabilitas itu, malah sebaliknya masalah konflik Papua semakin rumit bukan semakin padam, sebaliknya tetap aktif, malah semakin gila dan tidak waras. Kalau begitu apa yang salah selama ini, dan bagaimana solusi yang tepat agar kedepan kita bisa mengantisipasi banyak korban nyawa sia-sia rakyat Papua? Kemudian jangan lupa bahwa dana trilyunan rupiah menjadi tiada arti sebelum ini yang dikucurkan bisa mencapai sasaran sesuai yang diinginkan?




Harus Libatkan Tokoh Muda




Tidak bisa tidak, Pemerintah Pusat dan lebih khusus Kabinet SBY-BUDIONO mendatang harus melibatkan tokoh-tokoh muda terdidik guna mencari solusi akar persoalan tentang apa sesungguhnya masalah dasar Papua, dan mengapa selama ini Papua tidak pernah sepi dari letupan-letupan separatisme menjadi urgen agenda kedepan ini. Untuk itu penulis disini merekomendasikan bahwa kedepan Pemerintahan SBY-BUDIONO tidak bisa tidak, jadi maksudnya wajib, bahwa dalam penyusunan kabinet mendatang harus melibatkan tokoh-tokoh muda Papua guna mencari solusi jitu dan cerdas agar anak-anak muda Papua yang lebih energik mengerahkan intelektualitas mereka dalam penyelesaian Papua secara menyeluruh dengan berbagai pendekatan baru.




Mengingat sebelum ini dan itu sudah terbukti dan kita saksikan bersama bahwa tokoh-tokoh senior Papua selama ini yang dianggap sanggup membantu menyelesaikan masalah Papua kenyataannya gagal total. Dan itu artinya jika kedepan masih juga kepercayaan diberikan mereka maka itu berarti persoalan Papua tetap belum sanggup diselesaikan oleh para tokoh-tokoh tua yang dilibatkan selama ini dimasa lalu untuk menyelesaikan masalah masa akan datang. Malah kalau kembali dipercayakan pada mereka justeru menambah masalah baru (problem maker). Pada akhirnya masalah Papua jadi berlarut-larut sehingga proses integrasi itu selalu menjadi belum selesai dan hasil experimentnya selalu gagal.




Tokoh-tokoh tua selama ini terlihat tidak punya kualitas problem solving, harusnya tidak perlu dilibatkan lagi. Karena menurut saya (subyektif) bahwa mereka tidak mampu bahkan secara moralitas (maaf) moralitas “kita” orang Papua rendah, “kita” tidak memiliki self of crisis, indikasinya adalah limpahan kucuran uang trilyunan rupiah yang diberi tanggungjawab dipundak “kita” bukan untuk membangun rakyat kita sendiri agar makmur dan sejahtera, tapi malah uang-uang itu dibawa kabur keluar Papua dan sering terlihat para pejabatnya berkeliaran diluar Papua, misalnya dikota Menado, Jogjakarta, Makasar, Jakarta, Surabaya dan Bandung. Cari apa? Nah ini yang saya tidak bisa jawab. Tapi ada orang bilang pada saya bahwa OPM itu sekarang akronim dari Operasi Paha Menado.




Artinya bahwa uang-uang trilyunan rupiah dikucurkan pemrintah pusat untuk meredam aspirasi M orang Papua itu dibawa kabur segelintir orang Papua dari pejabatnya selama ini dan itu sering pergi bolak-balik Jakarta-Bandung-Jogjakarta-Surabaya-Makasar-Menado-Jayapura dan uang hanya dihabiskan dengan minuman alkohol dan “cuki” (halusnya, jajan) WTS dikota-kota tersebut. Akhirnya dinilai orang tidak serius apalagi secara sanggup menyelesaikan masalah konflik Papua melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi, sebagaimana diinginkan pemerintah pusat dan kita semua, malah dimana-mana dinilai orang terlihat demikian orang Papua dengan banyaknya uang Otsus saat ini.




Kalau begitu elit politik Papua dewasa ini belum bisa dipercaya pertanggungjawabannya atas kepemimpinan bagi rakyat Papua bahwa kucuran dana besar mengalir di Papua belum bisa mensejahterakan rakyat Papua, disisi lain konflik dan letupan-letupan separatisme tetap menyala di kawasan ini. Oleh karena itu kedepan dan untuk itu kita semua berharap bahwa akomodasi politik SBY-Budiono dalam Kabinet akan datang harus lebih rasional untuk memenuhi semua aspek keterwakilan unsur Papua dengan berbagai latar belakang keunikannya dan itu sekiranya dapat membantu good will pemerintahan SBY 5 tahun kedepan, agar Papua lebih baik dari sebelumnya. Konsekuensinya adalah bahwa Pemerintahan SBY-BUDIONO, dalam menyusun kabinet 2009-2014 harus melibatkan tokoh-tokoh muda yang lebih energik, terdidik, intelektual dan punya latar belakangan organisasi nasional dan internasional.




Untuk mencari tokoh-tokoh muda demikian anak-anak muda Papua tidak sulit bahkan anak-anak muda Papua saat ini lebih siap dan lebih cerdas dari pendahulu mereka yang selama ini dipercaya pemerintah yang terbukti gagal. Anak-anak muda Papua banyak dan mereka siap untuk dilibatkan guna membantu menyelesaikan persoalan Papua yang kadang itu diserahkan pada tokoh-tokoh tua yang seringkali lamban dan bahkan tidak berdaya sama sekali menyelesaikan solusi terbaik bagi Papua sebagaimana sebelum ini.




Papua saat ini sudah banyak memiliki tokoh-tokoh muda intelektual untuk bisa dimajukan menjadi kiperson-kiperson baru guna membantu pemerintah pusat (baca, Kabinet SBY-BUDIONO 2009-2014), guna membantu menyelesaikan persoalan konflik berkepenjangan Papua secara konprehenshif dan membantu memajukan rakyat Papua agar bangkit dari ketertinggalan dalam berbagai aspek pembangunan sekaligus guna mengatasi persoalan konflik Papua, dan yang paling utama adalah membantu proses pelaksanaan Otsus yang sebahagian orang berharap pada Otsus Papua dan lain menganggap gagal sejak diundangkannya tahun 1999 lalu.




Papua bukan tidak punya sama sekali kader-kader cerdas dan terdidik. Anak-anak muda Papua seperti Velix Vernando Wanggai, Natalis Pigay, Ali Mucktar Ngabalin adalah sederet nama tokoh intelektual muda terdepan dan berpendidikan luar negeri yang siap di akomodasi guna membantu menyelesaikan persoalan Papua untuk menjawab persoalan Papua. Untuk itu lewat artikel ini kita berbaik sangka (hussu’udhon) pemrintah SBY mendatang selain kita menyadari bahwa persoalan pembantu Presiden adalah hak prerogatif presiden terpilih, namun yang menjadi catatan kita disini yang harus diperhatikan tanpa menafikan kenyataan sebagaimana disinggung diatas adalah bahwa dengan mengambil kiperson-kiperson baru dari kalangan generasi muda papua ada harapan. Kalau tujuan adalah akomodasi politik Papua sebagai bagian dari NKRI misalnya persoalan konflik disintegrasi yang berlarut-larut selama ini dengan aspek keunikannya dari berbagai segi misalnya ras, budaya, atau singkatnya antropologi, sosiologi dan geografis dapat segera dituntaskan kalau tidak minimal diminimalisir nantinya.




Sejauh ini diketahui dan itu masih terus terjadi adalah bahwa untuk mewakili 2 juta jiwa penduduk Papua dengan aneka ragam suku dan budaya dan agama tidak boleh hanya dilakukan oleh beberapa orang saja melalui lobby-lobby secara individual segelintir orang dengan claim bahwa kehadirannya dihadapan penguasa, sebagai bagian dari lobby resmi dan wakil resmi rakyat Papua. Demikian itu sudah lama berlangsung selama puluhan tahun Papua berintegrasi kedalam NKRI.




Padahal seharusnya dalam segala hal persoalan Papua, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak dan terpenting aspek keterwakilan Papua ditingkat nasional tidak seharusnya hanya beberapa clan dengan mengatasnamakan Papua. Mengingat bahwa masyarakat Papua benar-benar majemuk dengan 270 suku bahasa dan pola penyebaran penduduk terpencar luas didaratan dan pesisir, maka pola-pola lobby partial tradisional dan ekslusive sudah harus ditinggalkan demi perbaikan kedepan, apalagi untuk tujuan mengakomodasi semua aspek refresentasi cultural Papua sesuai stuktur antropologi masyarakat Papua.




Untuk itu dari sekarang dan kedepan lobby-lobby tradisional segelintir clan mengatasnamakan Papua sebagaimana sering dilakukan segelintir clan dari orang Papua sebelum ini sudah harus ditinggalkan, mengingat hal demikian sesungguhnya sejauh ini tidak membantu pemerintah pusat menyelesaikan persoalan Papua. Dan kegiatan demikian untuk dan atas anama Papua sudah harus ditinggalkan oleh kedua kelompok berkompromi dengan memperluas pelibatan semua keterwakilan sesuai structur antropologi kemajemukan budaya Papua.




Oleh sebab itu pemerintahan SBY-Budiono yang terpilih secara demokratis dan mutlak semua wilayah Indonesia dari Sabang-Merauke dan khusus di Papua 99% suara di menangkan pasangan ini. Berarti itu artinya kebijakan 5 tahun SBY dirasakan manfaatnya rakyat Indonesia dan Papua maka politk etis atau istilah SBY, New Deal For Papua, kedepan harus lebih rasional merekrut keterwakilan orang Papua dalam kabinetnya tanpa menafikan bahwa semuanya berpulang kepada Presiden RI terpilih mengingat pengangkatan pembantu presiden adalah hak prerogatifnya.










*Penulis adalah Muslim Papua Putera Kelahiran Walesi, Wamena Papua.

Tidak ada komentar: