Senin, 27 Juli 2009

MENATA ULANG PAPUA

A. Integrasi dan Akar Masalah


Propinsi Papua dan Papua Barat sejak diintegrasikan dengan Indonesia melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979. Anggapan umum kebanyakan Rakyat Papua selama ini bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Sebab Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin condong ke Blok Timur. Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno, maka Amerika yang ingin mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia umumnya dan Asia Tenggara pada khususnya, maka tawarannya Papua dikorbankan kemudian “dititipkan” dulu untuk di kontrol oleh Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak dikemudian hari. Namun proses waktu dan pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk, persetujuan izin penambangan sudah lebih dulu ditandatangani pada tahun 1967, sebelum status Papua resmi ditetapkan di dewan PBB tahun 1979 bergabung dengan Indonesia. Kemudian Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi (bagi rakyat Papua, aneksasi) dibungkam habis. Tidak boleh ada yang bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final bagian tak terpisahkan dari Indonesia.


Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring adanya jaminan kebebasan berbicara, rakyat Papua yang dibungkam lama mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto: pertama, bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan; kedua, bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962; ketiga, bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan; keempat, bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum. Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik.


Dari sinilah pada mulanya konflik berkepanjangan dan berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) melakukan suatu tindakan pembiaran dan sengaja terjadinya proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu terselubung melalui HIV/AIDS, alcohol, KB, transmigmigrasi maupun secara terencana melalui Otsus Papua banyak mendatangkan militer organik dan non organik ke wilayah Papua. Sehingga ada konfrontasi bersenjata antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).


2. Otsus Papua dan Permasalahannya


Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. TPN/OPM di rimba raya Papua juga tak henti-hentinya terus berkonfrontasi dengan TNI/POLRI, dan para pejuang kemerdekaan Papua di pengasingan menggangap bahwa Otsus Papua bukan solusi. Jargon TPN/OPM di rimba raya Papua dan dipengansingan sudah jelas, bagi mereka, Papua Merdeka, harga mati! sebagaimana NKRI, harga mati! bagi TNI/POLRI. Pada selama ini kedua pihak seteru selalu mengganggu aktivitas pembangunan di Papua selam puluhan tahun belakangan ini terutama sejak tahun 1998 dan tahun 2001 desakan hasrat melepaskan diri sangat tinggi dirasakan hingga UU kebijakan Otonomi Khusus No. 21 tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 di kelurkan oleh Pemerintah Pusat. Namun ini bukannya menghentikan hasrat rakyat Papua menghentikan aktifitas gerilya untuk melepaskan diri, malah akhir-akhir ini eskalasinya cukup tinggi terutama menjelang Pemilu tahun 2009.


Dan harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat. Sebelum ini yang terlibat menerima Otsus Papua terlihat hanya Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya pada Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.


Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut hak bereksistensi yang terkait langsung dengan harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Untuk itu dalam UU Otsus No. 21. Tahun 1999 point C disebutkan : “bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri”. Kemudian UU Otsus Bab II tentang lambang-lamabang dalam pasala 2 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Tapi itu dikhianati oleh pemerintah Pusat dan itu hanya bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua. Dan memang ada sesuatu yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memaikainya sekarang ini dianggap subversip sehingga ada pasal-pasal karet terorisme, yang siap membungkam atau dengan alasan teroris kapan saja aparat militer Indonesia menangkap, menyiksa, menembak dan bahkan boleh memukul orang Papua sampai mati di penjara. Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui ada dimana, hilang begitu saja tanpa jejak dan pesan kalau dimakamkan dimana dan oleh siapa kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati yang sangat buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK. Dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini terus menyisakan luka mendalam bagi beberapa kalangan rakyat Papua.


Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Itu sekedar menyebut beberapa contoh inkonsistensi pemerintah pusat selama Otsus Papua berjalan tidaka ada kemauan baik politik untuk secara konsisten Otsus bisa berjalan baik misalnya UU Otsus BAB XII tentang HAM Pasal 46 yang didalamnya mnyebutkan bahwa : “Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi”. Yang tugasnya : (a). “ melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b). “merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi”. Tapi itu semua selama 10 tahun terkahir Otsus berlakukan di Tanah Papua sama sekali tidak pernha dijalankan.


Anehnyaakhir-akhir dan itu sejak awal Otsus berjalan mulai terasa ada gejala baru dan lain bersamaan kebijakan Otsus berjalan ini ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual independent Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu adanya gejala genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis Indonesia berusaha melakukan proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan. Itu berarti pembunuhan etnis Papua sebagaimana dilakukan orang-orang bekas narapidana yang datang dari Inggris kini menguasai benua Australia. Suku Asli (Aborigin) kini hanya dijadikan sebagai museum hidup karena proses pemusnahan etnis Suku itu dilakukan orang-orang Anglo-Saxons. Gejala demikian banyak dikatakan para pemuka inteletual Papua sedang dipraktekken oleh kebijakan negara yang tidak seimbang dengan perjanjian Otsus yang ditetapkannya sendiri oleh pemerintah Indonesia. Upaya demikian bukan kebijakan negara namun aparat pelaksana kebijakan di lapangan yang sudah kehilangan akal untuk meredam dan mengatasi hasrat keinginan rakyat Papua mau merdeka bisa saja terjadi dan dibiarkan berlangsung upaya meredam habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika demikian provokasinya para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya menyakut harga diri bangsa Papua untuk mempertahankan hak kedaulatannya saja akan tetapi juga ada hal lain yang lebih hakiki dan mendasar yakni hak bereksistensi diri didunia habitatnya.


Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa selesai, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga harapannya dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme bisa diselesaaikan maka banyak uang dikucurkan didaerah itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini. Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat kesana, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentalilitas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Untuk itu –dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya menyebut satu, PT Freeport saja –pemerintah pusat banyak mengucurkan uang dan menganggap itu sudah cukup. Tanpa memikirkan solusi lain dan tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus. Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.

3। Harapan

  1. Sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2004 silam, SBY datang ke Papua dalam program 100 hari dan melakukan hal-hal menadasar yang itu cukup memberi arti besar bagi kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Adalah komitmen besar SBY terhadap penyelesaian kasus Papua. Pertama, Pengesahan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada bulan Desember tahun 2004 dengan PP 54, yang selama tiga tahun terbengkalai, sebagai hadiah Natal kepada rakyat Papua. Kedua, komitmen politik anggaran, SBY memperbesar alokasi anggaran pembangunan dari tahun 2004 sampai 2008 sekitar 28 trilyun kepada Propinsi Papua dan Papua Barat. Ketiga, tatkala rakyat Papua mendesak mengembalikan Otsus Papua dan mengkritik Otsus tidak efektif. Presiden SBY mengeluarkan kebijakan khusus tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (new deal for Papua), Inpres No. 5 tahun 2007 dengan prioritas pada lima deal, yakni :


    • (1), peningkatan ketahanan pangan,

    • (2), pengentasan kemiskinan,

    • (3), peningkatan penyelenggaraan pendidikan yang merata,

    • (4), peningkatan pelayanan kesehatan,

    • (5), peningkatan pembanguanan infrastructur dasar di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan.


Serta perlakuan khusus terhadap pengembangan SDM Papua (affirmatif action). Yakni pemberian peluang kepada rakyat Papua agar mendapatkan pendididikan secara luas dan berkarir dibirokrasi maupaun TNI dan POLRI. Kemudian tokoh-tokoh Papua diakomodasi didalam Kabinet, seperti Fredy Numberi (Menteri Kelautan RI). Mengangkat Duta Besar, seperti Michael Manufandu. Maka harapan kita tetap kepada SBY agar dapat melanjutkan politik akomodisi bagi orang Papua, dan melanjutkan new deal for papua.


Namun konflik dan anasir-anasir separaitisme belakangan ini tetap saja terjadi. Terutama hal itu terjadi sepanjang pelaksaan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2009. Terlepas apakah pelaku terror dilakukan oleh rakyat Papua atau kelompok kriminal bersenjata dari pihak lain yang bermain disana. Namun kenyataannya bahwa program affirmatif action selama akhir pemerintahan SBY terutama menjelang Pemilu tahun 2009, Papua tetap bergejolak dengan tensi dan eskalasinya cukup tinggi. Maka dalam rangka usaha normalisasi keadaan dari konflik berketerusan serta mengeliminir potensi-potensi konflik dan issu-issu separatisme gerakan TPN/OPM di wilayah Papua dan Papua Barat. Maka pemerintahan SBY-BUDIONO yang terpilih secara jujur, adil, dan demokratis perlu mengambil langkah-langkah penting dalam penysusunan Kabinet 2009-2014 kedepan ini. Terutama hal ini terkait dengan usaha integrasi Papua kedalam NKRI secara menyeluruh adalah suatu upaya senantiasa. Untuk itu langkah-langkah kedepan yang harus dilakukan kabinet pemerintahan SBY-BUDIONO adalah mengakomodasi beberapa permasalahan mendasar yang nyata ada dalam era Otonomi Khusus Papua tapi tetap bergejolak dengan langkah-langkah sebagai berilkut :


1. Perlu adanya sebuah lembaga Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat। Tujuannya adalah guna membantu pemerintah daerah Propinsi Papua dan Papua Barat sehingga membantu proses percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat dalam kerangka NKRI. Meningingat dana-dana Otsus yang cukup besar dikucurkan pemerintah Pusat selama Otsus Papua berjalan belum mencapai sasaran sampai ketingkat masyarakat bawah. Sehingga dengan adanya Lembaga Kementerian Urusan Khusus Papua dan Papua Barat dapat mengontrol, mengawasi dan membantu baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam mengarahkan dan kebijakan Otonomi Khusus benar-benar mencapai sasaran diseluruh kalangan pelosok Papua dan Papua Barat. Mengingat pemberian Otonomi Khusus sebelum ini tanpa persiapan dan mempersiapkan orang-orang Papua melaksanakan Otsus. Pada akhirnya banyak kalangan menilai bahwa Otsus telah gagal.


  1. atau Membentuk Badan khusus urusan Papua dan Papua Barat dibawah pengawasan presiden langsung yang tujuannya sama yakni membantu dan mengawasi agar proses pelaksanaan Otsus sesuai target dan mencapai hasil sesuai UU Otsus Papua dan Papua Barat.

  2. Mengangkat putra-putri terbaik Papua sebagai Duta Besar terutama di wilayah Fasifik yang sementara ini lebih dikuasai dan didominasi kelompok Pro Merdeka.

  3. Mendorong Pemerintah daerah serta lebih banyak melibatkan kelompok masyakat diluar pemerintahan terutama LSM-LSM yang selama ini bersuar sumbang agar masuk dalam sturktur lembaga yang akan dibentuk oleh presiden yakni Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat, Sebab selama ini komponent masyarakat mantan aktivis pro Merdeka banyak berdomisili di Ibukota negara dapat terakomodasi dibawah lembaga ini.

  4. Melaksanakan Otonomi secara konsisten dengan terus memperhatikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua.

  5. Untuk itu UU Otsus BAB XII tentang Pasal 46 tentang perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi segera dilaksanakan bersama Majelis Rakyat Papua MRP, guna merehabilitasi korban-korban pelanggaran HAM selama ini..

  6. Mendorong MRP agar segera membuat aturan-aturan teknis pelaksnaan Otsus maka Peraturana Asli Propinsi (PERDASI) dan Peraturan Asli Khusus Daerah (PERDASUS) Papua segera dibuat penyusunan aturannya.

  7. Menarik seluruh aparat kemanan TNI/POLRI dari seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, agar impian Papua Zona Damai benar-benar terwujud sebagaimana hal sama dilaksanakan di Aceh.

  8. Mengangkat bebrapa Putra terbaik menjadi menteri dalam kabinet SBY-BUDIONO tahun 2009-2014 mendatang

  9. Melakukan dialog terbatas dengan mengundang kelompok TPN/OPM dan pentolan OPM yang berada di luar negeri di salah satu negara tetangga ASEAN.


Tujuannnya adalah guna terciptanya suasana berkedamaianan, berkeadilan, berkesejahteraan dan bermartabat merupakan suatu keharusan dilakukan oleh Pemerintahan Pusat yakni dalam penyusunan Kabinet SBY-BUDIONO mendatang. Serta memasuki tahapan pembangunan Papua Baru. Wujud Papua baru adalah dengan prorgram affirmatif selama ini tetap dipertahankan tapi dengan menigkatkan pelibatan kalangan lebih luas secara terarah dan terprogram. Untuk itu maka kedepan perlu mengakomodasi generasi muda Papua saat ini sebagai canel-canel baru demi terwujudnya stabilitas keamanan nasional secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat sehingga tercipta suasana aman, nyaman, damai dan sejehtera.


Papua baru yang dimaksud adalah sebuah bangunan kebangsaan dan berkenegaraan yang sesuai dengan amanah dan cita-cita kita semua। Mengingat kemerdekaan adalah sebuah pilihan untuk membawa rakyat Papua keluar dari krisis kedamaian karena terbukti makin kehilangan arah dan tujuannya. Bahkan selama 10 tahun terakhir kelangsungan Otsus secara mencolok telah dimanfaatkan oleh segelintir elit penguasa daerah dengan mengorbankan hak-hak rakyat banyak. Estafet kepemimpinan Papua harus dihasilkan melalui kebijakan khusus dalam kurun waktu


lima tahun kedepan, karena generasi tua terbukti terjebak dalam distorsi dan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara secara serius. Keberadaan kepemimpinan nasional Papua yang dihasilkan selama ini dirasakan belum memberikan perubahan secara substansial dan mendasar dikalangan rakyat Papua dewasa ini. Kebuntuan ini suka tidak suka peran dan eksistensi generasi muda Papua wajib tampil ke depan guna membela kepentingan rakyat Papua menyeluruh secara cerdas dan rovolusioner. Sebagai sebuah Propinsi yang luas dengan kekayaan alam yang besar maka Papua membutuhkan kepemimpinan baru dari generasi muda mendorong percepatan perubahan guna menyongsong peradaban baru. Agenda Papua tahun 2009-2014 ini dan kedepan harus dikritisi oleh berbagai kalangan. Otsus Papua yang menyita puluhan trilyun uang dinilai mubazir dan berpotensi gagal tanpa membawa kemajuan apa-apa selama 10 tahun (1999-2009) terakhir ini. Selebihnya Otsus Papua hanya menjadi sarana legitimasi bagi kepentingan status quo segelintir elit daerah.

Tidak ada komentar: