Selasa, 12 Agustus 2008

PERJALANAN HIDUP ISLAM ANAK WAMENA

RIWAYAT HIDUP PENULIS

  • Nama : Isman Asso
  • Pangagilan : Ismail atau Asso saja
  • TTGL : Walesi 05 Mei 1975
  • Agama : Islam
  • Pekerjaan :
  1. Ketua Yayasan Bina Persaudaraan Muslim Irian Jaya (YBPMI)
  2. Koordinator Pelajar dan Mahasiswa Muslim (KO'MAMPU) Papua.
  3. Pendidikan :
  4. Madrasah Ibtidayyah Merasugun Asso, Walesi Wamena Papua tahun 1988,
  5. Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor
  6. tahun 1991.
  7. Madrasah Aliyah (MA) Darul Arqom Muhammadiyyah Sawangan Bogor 1995,
  8. Universitas Islam Negeri (UIN), Syarif Hidayatullah Jakarta 1995-sampai
  9. sekarang tidak selesai).
  10. Pengalaman Organisasi :
  11. Ketua Umum Yayasan Bina Persaudaraan Muslim Irianjaya 1995-sekarang,
  12. PMII cabang Ciputat 1995-1999,
  13. Forum Mahasiswa Syari’ah Indonesia (Formasi) 2001-2004,
  14. Ketua Departemen Study club Pelajar dan Mahasiswa Jayawi Jaya (HIPMAJA) 2002,
  15. Anggota Forum Kajian Global Korps 1998-2001,
  16. Sekretaris Forum Komunikasi Generasi Muda Papua 2003-2005,
  17. Koordinator Umum Pelajar/Santri Papua se-Jawa-Madura 2004-sekarang,
  18. Muballiqh Khusus Daerah Terasing DPP Muhammadiyah 2007-sekarang,
  19. Anggota Departemen Luar Negeri DPP PBB 2006-2007,
  20. Caleg DPR RI Partai Bulan Bintang (PBB) mewakili Propinsi Papua 2009-2003.

Masa Kanak-Kanak

Selama ini saya dikenal dengan nama Ismail Asso. Tapi saya terlahir dengan nama Nasike Asso, yang artinya dalam bahasa Suku Dani Lembah Balim adalah "Panahku". Namaku diberubah lagi, sekarang orang memanggilku dengan nama Ponogo Asso, yang artinya "Terjatuh". Karena ayah saya almarhum Lapok Asso, wafat dalam kecelakaan di hutan Kalelo pada musim kelapa hutan (tuke melapenem). Tapi saya kadangkala juga tetap dipanggil dengan Nasike. Demikian pemberian dan pergantian nama itu sebagaimana kebiasaan umum dalam tradisi Suku Dani Lembah Balim Wamena terjadi.

Saya menghabiskan masa kanak-kanak di kampung kelahiran saya di Distrik Assolipele Walesi, (Distrik Assolipele 100% warga penduduknya beragama Islam). Masa kanak-kanak saya pada tahun 1978-19988 dalam tradisi adat kuat. Tradisi adat di kampung ini, dan umumnya di Lembah Balim Jayawi Jaya, sampai hari ini lebih dominan. Disini orang lebih menghayati tradisi lama daripada agama. Hal ini tidak ketinggalan dengan tempat dimana saya lahir. Nilai-nilai Adat lebih mempengaruhi hidup masyarakat termasuk saya. Karena itu saya menghabiskan masa kecil saya dalam tradisi kepercayaan Adat kuat.

Sejak kecil saya mengalami tiga lingkungan keluarga sekaligus yakni lingkungan kelurga Katolik, Islam dan Kingmi atau GKI tapi masih dominan adat. Pada masa saya kecil, nama Nasike/Ponoga pernah ditulis guru dalam buku absensi di sekolah YPPK Hepuba. Saya merasakan duduk di bangku kelas satu SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) Hepuba. Saya datang tinggal selama beberapa bulan di Hepuba karena paman saya Bapak Amandus Asso, seorang Katekis (guru agama katolik) yang hidup dalam semangat keluarga katolik yang taat agama.

Hidup lama Hepuba sebenarnya saya tidak betah, tapi Paman di Welesi menginginkan saya tinggal di Hepuba daripada kampung halaman tempat saya lahir, Walesi. Selama beberapa waktu hidup disini (Hepuba) satu hal yang sulit saya dilupakan adalah, mandi pagi-pagi sekali pada hari minggu. Karena paman saya pengkhotbah tetap di Gereja Katolik, Paroki Hepuba, mengharuskan demikian agar bersamanya pergi ke Gereja.

Tapi tidak lama disini, saya pulang kembali ke Welesi karena tidak betah, walaupun paman saya menginginkan saya tetap tinggal disini sampai besar. Orang tua saya kedua-duanya meninggal saya masih kecil. Saya menjalani kehidupan yatim piatu. Pada masa ini saya sering makan dari tumbuhan alam seperti manisan atau asinan hanya tahan-tahan lapar. Waktu kecil saya menderita penyakit busung lapar alias kurang gizi. Jika diingat cukup sedih tanpa kasih sayang oleh orang tua. Pernah dipelihara paman tapi paman tidak punya isteri saya diasuh kelurga lain secara berpindah-pindah.

Kenal Sekolah

Nama Ponogo yang sering dipanggil orang sebelumnya rupanya di ganti diam-diam Pak Guru Bashori Alwi. Hal itu terlihat dalam pengisian raport oleh kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyyah (MI) dari Jawa ini. Nama raport baru; Isman Asso. Nama ini maknanya saya sendiri tidak tahu, tapi kemudian itu diikuti sampai dalam ijazah, SD (MI), SMP sampai SMA (Aliyah). Saya mulai dipanggil orang dengan nama Isman Asso, nama pemberian Pak Bashori Alwi, berasal dari Bantul, Jogjakarta.

Menggunakan nama ini (Isman Asso) kelak banyak mengubah perjalanan hidup. Saya tidak tahu persis apa arti sebuah nama, tapi kata orang Jawa, nama adalah harapan (doa). Dalam kliwon (ramal nasib) nama Isman Asso, mungkin sebenarnya baik. Tapi apa artinya? Saya sampai sekarang tidak mempersoalkan. Menggunakannya nama ini saya sebenarnya anak cerdas, prestasi tingkat nasional atas nama Papua, di kelas selalu rangking satu di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso Welesi.

Sebelum konfederasi Assolipele dari klan Asso dan Yelipele, mendirikan sekolah Islam, --(Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso, Walesi didirikan pada tahun 1978) --di Welesi sudah ada SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) dan Gereja dari Missi Katolik. Tapi jaraknya jauh dari kampung kami, Assolipele (Assolipele adalah nama confederasi perang tapi juga nama kamung/distrik).

Saya masih menggunakan nama Nasike pernah masuk beberapa hari sekolah Missi Katolik (SD YPPK). Tapi di tolak oleh guru wali kelas bernama Cosmas Asso. Alasan guru wali kelas jelas, saya dianggap belum cukup umur. Karena selain jarak sekolah jauh dari rumah tempat tinggal tapi juga karena pertumbuhan fisikn saya buruk akibat kurang makan alias menderita busung lapar sehingga tidak dianggap sama umur dengan teman sebaya yang diterima di sekolah itu.

Di kampung confederasi Assolipele dari clan Asso dan Yelipele Walesi, dimana tempat saya dilahirkan dalam tahun 1978, sudah mulai datang secara bergantian guru-guru agama Islam dari Fak-Fak. Pertama adalah Pak Guru Aroby Aituarau dari Kaimana dan kedua Pak Guru Jamaluddi Iribaram dari Kokas Bintuni. Yang disebut pertama tidak lama bertugas disini, hanya beberapa bulan, karena belum ada bangunan sekolah, juga rumah tempat tinggal guru belum dibuat.

Saya belum pernah mengalamai pendidikan dengan Pak guru asal Kaimana, Fak-Fak itu. Tapi konon katanya aktifis HMI, mahasiswa Uncen Jayapura Papua itu, mengajar pelajaran agama Islam pada anak-anak dari clan Assolipele dan Assoyaleget di lapangan terbuka beralaskan rumput. Beberapa waktu kemudian, sepeninggal Pak Guru Aroby Aituarau, rumah tempat tinggal guru pertama di bangun di lokasi Islamic Centre Walesi sekarang.

Barulah Pak Guru (Ustadz) Jamaluddin Iribaram dari Kokas didatangkan. Pak Jamaluddin Iribaram yang kelak hidup bertahun-tahun di Welesi itu didatangkan dari Jayapura oleh Islamic Centre. Organisasi ini sponsor utamanya Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari AL. Jamaluddin Iribaram sama dengan Aroby Aituarau, yaitu mahasiswa Uncen kala itu. Dia di bujuk agar agar meninggalkan kuliah untuk mengajar pelajaran Islam pertama disini. Beliau ini seorang pemuda ganteng dan usia muda yang datang pertama di kampung konfederasi suku Assolipele. Saya termasuk siswa ajaran pertama dari pak Guru kedua ini.

Mula-mula Pak Jamal tiba disini, pelajaran belum di mulai secara luas, terbatas hanya beberapa anak dan masih dilakukan himbauan-himbauan agar para orang tua memasukkan anak pada pelajaran Al-Qur’an sore hari. Disamping belum ada bangunan sekolah, untuk sementara tempat tinggal Pak Jamal (rumah guru) di jadikan sebagai ruang serba guna, misalnya ruang belajar agama Islam anak-anak sekaligus dijadikan tempat pengislaman seperti sunat, syahadat dan tempat belajar tata cara sholat kaum tua.

Kala Pak Guru Jamaluddin datang tiba pertama di kampung kami Assolipele, Walesi, saya baru berumur 5 tahun. Sebagai anak masih kecil dengan banyak ingus meleleh dan perut buncit besar, saya senang diajak datang menemui Pak Jamaluddin Iribaram. Saya berani tidak sebagaimana layaknya anak-anak se-kampung masih takut pada orang baru karena faktor paman, Heramon Asso. Beliau ini (paman saya) tidak kala ganteng juga dengan Ustadz (Pak Guru) Jamaluddin Iribaram muda.

Keluarga saya dan utamanya paman saya Heramon Asso, adalah pelopor Islam di Walesi. Selain Merasugun Asso (aslinya Yelipele) yang paling tahu bagaimana berjuang dan membesarkan Islam di Walesi adalah Firdaus Asso, masih keponan Heramon Asso, berarti kaka saya. Firdaus-lah sesungguhnya orang yang paling giat mendorong Islam Walesi, menjadi besar. Marga asso umumnya pelopor Islam Walesi adalah suatu fakta, tanpa mengurangi peran dan jasa fam lain.

Keluarga saya utamanya dari Konfederasi Assolipele paling awal menerima serta mendorong serta memberi tempat untuk tumbuh dan berkembangnya Islam di Walesi. Maka wajar Ustadz Jamaluddin sangat akrab dengan paman saya. Saya sering diajak Paman ketemu Pak Ustadz Jamal. Dirumah tempat bangunan pertama yang ditinggali Pak Jamal, banyak pakaian sumbangan dari Jayapura. Karena itu saya sudah lebih dulu dipakaikan baju oleh Pak Jamal dari kawan-kawan sebaya dikampung.

Dirumah bangunan (rumah guru) di mana tempat Pak Jamal tinggal setiap malam (ba'da maqhrib) diadakan pengajian al-qur'an. Karena itu kami (saya dan teman-teman sebaya pada tahun 1978) lebih dulu dikenalkan huruf hijaiyyah dari pada huruf latin. Kami sudah lebih dulu tahu menyebut; alif, ba, ta, sta …(abjad huruf arab) daripada huruf latin. Sebab memang di kampung ini saat itu, belum ada sekolah selain sekolah malam (belajar mengaji) yang tempatnya digunakan dari bangunan rumah tinggal guru. Bangunan itu dipakai sebagai tempat sholat, mengaji dan belajar pendidikan agama islam sekaligus. Bangunan rumah guru itu adalah satu-satunya dan paling pertama bangunan islam, dibangun pada tahun 1977-1978.

Kami belajar mengaji dan dikenalkan huruf arab duluan, tapi bukan sistem iqra’ sekarang. Kami belajar juz ‘amma dari surat An-Nas-Abasa watawallah hingga khatam pegang Al-Qur’an besar. Karena belum bisa baca awalnya dituntun. Lama-kelamaan surat-surat pendek ayat Al-Qur’an ini kami hafal diluar kepala. Kami diajarkan tajwid sekaligus dengan makharojul huruf. Karena itu kami sudah pandai menyebut huruf arab Al-Qur’an daripada menyebut huruf latin belakangan.

Saat itu (tahun 1978) di samping bangunan pertama (bangunan tempat tinggal guru yang serba fungsi), mulai dibangun sebuah bangunan megah yang kelak menjadi bangunan sekolah Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi pertama dan juga satu-satunya di kabupaten Jayawi jaya sampai hari ini. Sebelumnya kegiatan belajar mengajar di gunakan didalam rumah bangunan tempat tinggal guru, Pak Jamal.

Tapi setelah banguan sekolah Madrasah Ibtidaiyyah, sudah selesai lengkap dengan 6 ruangan kelas, maka kegiatan belajar mengajar mulai digunakan bangunan baru yang mewah ini. Banyak sumbangan mengalir disini dari Jepang, Jakarta , Jayapura juga tak ketinggalan dari kota Wamena sendiri. Sumbangan-sumbangan itu berupa pakaian dan alat-alat perlengkapan sholat. Sumbangan dari Jepang berupa alat-alat sekolah seperti buku, pensil, penghapus dll. Kami siswa paling modern tapi juga paling lengkap untuk ukuran pedalaman Papua kala itu.

Mulai Sekolah

Saya tercatat sebagai siswa kelas satu tahun 1982 di Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Nama Madrasah ini diambil dari nama pejuang Islam pertama Walesi. Kami sudah mulai dikenalkan dengan pelajaran berhitung dan huruf latin oleh seorang guru putra daerah ini yang sudah belajar di Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura tapi droup aout, pulang tinggal di Walesi bernama Muhammad Ali Asso, (nama lama, Emerekma Asso). Pak guru SD/Madrasah kelas satu ini sekaligus wali kelas kami. Dia sangat kecam, kalau kami nakal, tapi cara mengajarnya mudah dicerna dan enak untuk mudah memahami pengajarannya.

Dalam pembagian raport kenaikan kelas saya di catat sebagai juara kelas.. Demikian seterusnya setiap kenaikan kelas sampai kelas tiga. Pada kelas tiga selama enam bulan ada kejadian, saya tidak masuk sekolah alias minggat masuk kelas, karena kegiatan bermain dan berburu ke hutan, tapi oleh kepala sekolah Bashori Alwi (dari Bantul, Jogja), guru madrasah yang khusus dikirim dan di biayi Rabitah 'alam Islami kerja sama dengan Dewan Da'wah Islamiyyah Indonesia (DDII), saya tetap dinaikkan kelas empat. Padahal saya sama sekali tidak ikut ulangan dan tidak masuk kelas selama setengah tahun (6 bulan).

Kadang-kadang selama satu bulan dalam tahun 1984-1985 saya kawan-kawan yang lain sama seperti saya, jarang datang ke kelas untuk belajar. Karena selama beberapa bulan saya pergi bersama teman-teman sebaya keluyuran di hutan untuk berburu kus-kus dan burung. Pada saat saya baru naik dari kelas lima ke kelas enam di kota Wamena diadakan lomba Misabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten.

Pak Ustadz Bashori Alwi titip berita agar saya segera datang kembali masuk sekolah dan dibina khusus pelajaran Al-QUr'an setiap ba'da sholat maqhrib selama beberapa minggu untuk mengikuti evens ini. Saya dan anak-anak usia sebaya mengikuti lomba MTQ, dan saya dinyatakan oleh dewan juri keluar sebagai jura satu. Saya senang karena banyak dapat hadiah termasuk tabungan uang BRI yang saya sendiri tidak tahu mengurusnya hingga bagaimana nasib hadiah uang itu hingga sekarang saya tidak pernah tahu.

Dulu Pak Jamaluddin Iribaram sendirian mengajar kami pelajaran agama Islam. Tapi pada tahun 1980 dua orang guru/ustadz dari Jawa, datang membantu mengajar kami mengaji Al-Qur’an dan sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Walesi. Kedatangan dua orang guru/ustadz khusus dari Jogjakarta ini bantuan Rabithah 'Alam Islami yang berkedudukan kantornya di Suadi Arabia itu, menerapkan pola pendidikan semi pesantren.

Pada pagi hari kami sekolah madrasah biasa, dan sore harinya ba'da maqhrib biasanya belajar mengaji Al-Qur'an. Demikian setiap sore di sini, menerapkan sistem pendidikan pagi sekolah Madrasah biasa dan sore di lanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an. Karena itu alumni madrasah ibtidaiyyah Walesi tidak kalah sedikitpun dengan alumni Pesantren dalam hal mengaji Al-Qur'an terutama makhrojul huruf dan tajwidnya.

Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Desa Walesi, melahirkan alumni pertama tahun 1987, saya termasuk alumni ke-2 dari sekolah ini tamat tahun 1988. Bersama saya ada 6 orang siswa ikut ujian nasional. Banyak murid teman-teman kami yang tidak serius sekolah. Kesadaran pendidikan waktu itu sangat rendah, sehingga banyak siswa-siswi, teman-teman kami yang berhenti sekolah dan keluar-masuk secara tidak serius di sekolah Islam pertama di Wamena ini. Demikian ini sesungguhnya tidak hanya mereka yang lain tapi termasuk kami yang 6 orang ikut ujian lulus itu. Tapi hanya factor X kami masih sempat sampai ikut ujian nasional dan dinyatakan lulus.

Teman kelas kami yang perempuan semuanya di kawinkan oleh orang tua mereka. Demikian adalah suatu kebiasaan buruk yang saya kira masih berlaku sampai sekarang ini. Karena itu tidak heran jika sekarang ini, dari Walesi tidak ada mahasiswi atau lulusan SMA, adalah kenyataan pahit pola kebiasaan lama orang tua di kampung kami di Walesi yang masih berlaku. Sebab ada tradisi (kepercayaan) orang tua menganggap bahwa perempuan adalah lambang kesuburan, sehingga dipertahankan untuk tidak pergi merantau jauh.

Pada saat naik ke kelas 6 saya masih belum serius sekolah. Pada suatu hari, karena saya tidak sekolah beberapa hari sebelumnya saya dicari oleh guru kepala sekolah yang merangkap guru mengaji. Tujuan Kepala Sekolah yang bernama Pak Bashori Alwy itu agar saya dilatih qiro’ah pada seorang Qori asal Ternate di kota Wamena.

Saya diantar Pak Bashori setiap sore datang turun-naik ke Wamena kota dari Walesi sekitar 6 kilo arah selatan dari Wamena. Saya masih ingat seumur-umur naik motor pertama bersama Pak Guru ini duduk miring-miring. Padahal jalan Walesi-Wamena saat itu belum diaspal dan berkelok-kelok. Demikian juga pengalaman paling pertama saya dibelikan sikat gigi dan odol untuk gosok gigi yang hasilnya gigi saya berdarah-darah. Saya juga dibelikan sandal swallow dan saya kira pengalaman paling pertama saya mengenakan alas kaki. Kejadian itu semua terjadi pada tahun 1986.

Selama beberapa bulan dari minggu-keminggu menampakkan hasil dan kemajuan mengaji saya. Soal suara saya sudah ok, tajwid, maqhroj juga ok, tartil qur’an juga ok, tajwid juga sudah ok, tapi yang dilatih agar saya benar-benar bisa kuasai adalah irama lagu-lagu bacaan Al-Qu’an. Selama beberapa minggu saya dikarantina untuk dilatih terus-menerus dirumah Kasubdolog Jayawi Jaya. Dan hasilnya alhamdulillah saya sudah menguasai bacaan qiro'ah mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky dll dalam bvebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati diluar kepala karena sering diulang-ulang.

Saya kemudian diberangkatkan ke Jayapura diantar oleh seseorang yang saya belum kenal, tapi dia ditugaskan agar mengurus segala tetek bengek keperluan saya. Selama di Jayapura saya dipertemukan dengan para qori senior yang pernah mewakili Papua ditingkat nasional. Mereka menjadi pelatih ditingkat propinsi, difasilitasi oleh Pemda agar mendidik qori’-qori’ah yunoir seperti saya. Mereka oleh Pemda diberi tinggal berupa rumah tepatnya di LPTQ Kota Raja sekarang ini. Disana saya ketemu dengan Ustadz Hasan Basri asal Serang Banten dan Wahidin Purada dari Kaimana, Fak-Fak (kini Bupati Fak-Fak). Mereka dua adalah pelatih saya pertama dari propinsi. Karena pindah pelatih hafalan saya lagu-lagu dari Wamena agak menjadi kacau.

Saya di lataih dan tinggal di rumah pak Wahidin Puarada. Saya diperlakukan dengan istimewa sama Qori Nasional asal Kaimana Papua itu. Selama beberapa minggu saja saya di Jayapura, beberapa hari lagi saya harus berangkat ke Kabupaten Nabire untuk mengikuti MTQ tingkat Propinsi Papua (waktu itu Irian Jaya). Saya mewakili Kabpupaten Jayawi Jaya di even tingkat propinsi di Nabire ini. Tapi karena saya satu-satunya putra daerah dan memang dipersiapkan sejak awal, maka untuk mengikuti tingkat Propinsi itu saya sudah duluan di latih pelatih tingkat Propinsi.

Hasilnya saya menang dan keluar juara satu untuk tingkat anak-anak.Banyak orang memberi semangat dan gembira saya menang. Banyak petinggi propinsi yang beragama Islam senang pada saya, karena saya muallaf juga masih anak-anak tapi juga orang asli Papua adalah sejumlah pertimbangan mengapa saya banyak di gembirai umat islam Papua kala itu termasuk juga oleh para pejabatnya di tingkat propinsi.Setelah selesai even di Nabire saya di bawa pulang membawa kemenangan dengan berbagai hadiah, tapi tidak ke Wamena, kampung saya tapi saya di bawa ke Jayapura. Ternyata saya sufdah ditangani dan dipersiapkan untuk mengikuti MTQ tingkat Nasional di Bandar Lampung.

Sejak pulang dari Nabire saya dilatioh oleh para pelatih tingkat Propinsi, tapi tidak segiat dan seserius di Wamena dulu. Disini saya dianggap sudfah bisa atau kalau dilatihpun iramanya beda dari pelatih saya pertama di Wamena sehingga hafalan saya menjadi kacau balau. Tidak berapa lama kami peserta rombongan (kafilah) Irian Jaya (IRJA), yang terdiri dari para pejabat Pemda Propinsi dan rombongan qori-Qoriah berbagai tingkatan itu tiba di Jakarta pada malam hari, dari berangkat jam lima pagi Bandara Sentani Jayapura menggunakan pesawat Garuda Airways. Dari Bandara Cengkareng kami menuju kota Jakarta untuk transit beberapa lama di Royal Hotel di Jalan Gajah Mada. Beberapa hari saja di Royal Hotel besoknya kami lewat darat menuju Merak Banten untuk diteruskan ke Bakahuni Lampung.

Di lampung kami diberi tempat oleh panitia tuan rumah di APDN, kota metro Bandar Lampung. Disni kafilah Papua tinggal sederetan dengan kafilah dari Kalimantan Selatan. Terus terang saya tidak di dampingi oleh orang-orang dari Kabupaten Jayawi Jaya tapi dengan orang-orang baru saya kenal dari Propinsi. Tapi hanya beberapa hari saja bersama rombongan orang-orang yang mendampingi saya dari berbagai kota Kabupaten Papua, kami sudah saling akrab satu sama lain.

Saya orang Papua Asli menjadi perhatian utama peserta MTQ dari berbagai Propinsi Indonesia. Di Lampung saya hanya juara harapan dua untuk tingkat anak-anak. Selesai itu saya bersama rombongan pulang ke Papua dan sebagai duta yang membawa nama baik daerah. Untuk itu kami di pertemukan dengan Gubernur Isak Hindom.

Selanjutnya diantar Ustadz Wahidin Puarada saya pulang ke Walesi. Di sana sudah banyak orang kumpul menanti kami (saya dan Pak Wahidin Puarada). Rupanya mereka menunggu kedatangan kami sejak dari tadi. Mereka adalah orang-orang yang sudah saya kenal, ya keluarga besar muslim kampung Walesi, diantaranya orang tua asuh yang membesarkan saya dulu (keluarga dekat almarhum ayah saya). Mereka berkumpul persis dihalaman depan sekolah (MI) Merasugun Asso Walesi.

Dihadapan mereka saya diberi waktu untuk ceritera tentang perjalanan saya selama 6 bulan ikut Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ), dari tingkat Kabupaten-Propinsi sampai Nasional di Bandar Lampung. Saat itu saya belum biasa bicara dihadapan banyak orang, saya kaku, tidak bisa, malu. Tapi mereka sangat senang saya membawa pulang prestasi atas nama kampung Islam baru ini. Terutama Ustadz Bashori ALwy, beliau sangat senang muridnya bisa sampai mewakili Papua sampai ke tingkat Nasional.

Orang tua, terutama Paman saya bangga dengan kepulangan saya dengan beragam hadiah. Dia sangat puas dengan hasil perjalanan saya. Saya tahu itu tapi saya bersikap biasa pada saat pertama tiba disini, karena banyak orang, malu. Banyak saudara-saudara dan para orangtuaku di kampung ini menanti dengan gembira akan prestasi saya mewakili mereka di tingkat nasional berjumpa kembali disini setelah perjalanan saya selama 6 bulan meninggalkan mereka di Kampung Walesi.

*** ***

Saya sudah banyak ketinggalan pelajaran. Esok harinya saya sudah harus ikut persiapan EBTANAS, terus terang saya banyak sekali ketinggalan pelajaran. Saya pergi selama 6 bulan, berarti setengah tahun tidak mengikuti pelajaran. Tidak lama saya pulang di kampung halaman sudah harus ikut ujian Nasional. Tapi alhamdulillah lulus ujian lokal Madrasah dan ujian Nasional sekaligus.

Beberapa minggu saya tiba Walesi tidak begitu lama pecah perang suku antara Walesi dan Woma di satu pihak dan Kurima dan Assolokowal pihak lain. Pada waktu itu kami di jemput dengan kawalan seorang polisi dengan senjata lengkap dari Walesi turun ke kota Wamena sekitar 6 km jaraknya. Dari 6 orang anak siswa yang lulus angkatan ke- II lulusan Madarasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi, hanya 4 orang saja, dua orang dilarang oleh orang tua mereka.

Kami selanjutnya diberangkatkan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Rupanya pilihan dan undangan sekolah disini dipesan oleh Wapres RI pada waktu, Sudharmono. Sebab rupanya pada waktu saya datang ikut MTQ di Bandar Lampung dulu (dua bulan sebelumnya), acara penutupannya di lakukan oleh Wapres RI , Sudharmono. Kemudian banyak peliputan dan tersiar berita di berbagai media massa pada waktu itu.

Ada yang kastau dan sampai ke telinga Wapres RI , bahwa saya satu-satunya peserta dari Papua Asli, juga dari komunitas muallaf (daerah baru islam berkembang). Karena itu tergerak hatinya, agar saya dan kawan-kawan berkesempatan belajar disini (pondok Pesantren Al-Mukhlisin). Beliau sponsor utama Pondok Pesantren Al-Mukhlisin yang pemiliknya staf pribadinya sendiri (Haji Zaenal Abidin). Karena itu ketika kami tiba pertama di Pondok Pesantren yang letaknya arah Barat diluar kota Bogor ini, kami di pungut anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Sekretariat Negara RI , sebagai anak asuh.

Tiba di Tanah Jawa

Kami menginjakkan kaki di Tanah Jawa pada bulan Agustus tahun 1988 di Tanjung Priuk. Bagi tiga orang kawan saya adalah pertamakalinya menginjakkan kaki di sini ( Jakarta ). Kami berangkat dari Jayapura menggunakan kapal laut, KM Umsini. Perjalanan laut memakan waktu satu minggu. Lama-lama diatas laut membosankan, apalagi makanannya tidak enak. Walaupun di atas kapal ada hiburan, kami orang baru, disamping itu ada pengantar yang terus mengawasi, agar kami tidak hilang, terus membatasi.

Begitu tiba pada sore hari di Tanjung Periuk, kami langsung di jemput oleh Kiay, pimpinan Pondok Pesantren, tempat dimana kami akan belajar didalam pola pendidikan system asrama. Kami dari Tanjung Priuk dibawa langsung ke Pesantren waktu sholat maqrib tiba. Kami sholat maqhrib berjama’ah di Mesjid dan diperkenalkan oleh Pimpinan Pondok kepada kawan-kawan baru kami dan seluruh staf pengajar Pondok.

Kami terlambat tiba di tempat baru kami yang kelak akan merubah jalan dan hidup masa depan kami itu. Penerimaan siswa-siswi baru sesuai jadwal Depdiknas RI sudah lama lewat. Siswa-siswi disini yang kelak menjadi teman-teman kami itu sudah sekolah beberapa minggu sebelum kami tiba. Disana sebelumnya sudah ada siswa-siswi (Santriwan/Santriwati) yang terdiri dari berbagai daerah seluruh Indonesia . Disini, tempat sekolah baru kami, menerapkan system pendidikan Islam dan umum sekaligus.

Tidak ada komentar: